Senin, 03 Mei 2010

Hadiah Dari Wendy

by: (Robert Pettersen)

Anak perempuan ini berumur eman tahun ketika saya pertama kali menemuinya di tepi pantai dekat tempat tinggal saya.
Pantai ini berjarak sekitar empat mil dari rumah saya.
Dia sedang membuat sesuatu seperti istana pasir dan kemudian melihat saya, matanya biru seperti laut.
“Hai”, katanya.
Saya menjawab acuh tak acuh, hati saya sedang tidak enak dan tidak mau diganggu oleh seorang anak kecil.
“Aku sedang membangun,” katanya.
“Saya tahu. Apa itu ?” saya bertanya sekedarnya, tidak peduli.
“Oh, tidak tahu, aku cuma senang main pasir.”
Kelihatannya baik, saya berpikir, kemudian melepaskan sepatu saya.
Seekor burung laut terbang melintas.
“Itu kebahagiaan”
“Itu apa?”
“Itu kebahagiaan. Mama berkata burung laut membawa kebahagiaan untuk kita”
Burung itu terbang menjauhi pantai.
“Selamat tinggal kebahagiaan,” saya bergumam kepada diri sendiri, “Halo kepedihan,” dan berbalik untuk meneruskan perjalanan.
Saya sedang depresi; hidup saya kelihatannya benar-benar kacau.
“Siapa namamu?” anak itu tidak menyerah.
“Robert,” saya menjawab. “Saya Robert Peterson.”
“Namaku Wendy ? aku umur enam.”
“Hai, Wendy.”
Dia tertawa geli. “Kamu lucu,” katanya.
Dengan mengabaikan perasaan saya, saya ikut tertawa dan kemudian berjalan pergi.
Irama tertawa geli anak itu mengikuti saya.
“Datang lagi ya, Pak Peter” dia memanggil.
“Kita masih punya hari menyenangkan yang lain.”
Hari dan minggu-minggu berikut bukan milik saya: sekelompok anak yang tidak dapat diatur, pertemuan orang-tua dan guru, ibu yang sakit. Matahari bersinar cerah ketika suatu pagi saya sedang mencuci tangan.
“Saya butuh burung laut”, saya berkata kepada diri sendiri, sambil mengambil jaket.
Suasana pantai sedang menunggu. Angin terasa dingin, tapi saya terus melanjutkan, mencoba untuk memperoleh kedamaian yang saya butuhkan. Saya sudah melupakan anak kecil itu dan terkejut ketika menjumpai dia.
“Halo pak Peter,” dia berkata.
“Mau main ?”
“Kamu mau main apa sih ?” saya berkata dengan sedikit terganggu.
“Aku tidak tahu? Terserah.”
“Bagaimana kalau kita main pura-pura?” saya bertanya dengan kasar.
Suara tertawa terdengar lagi.
“Aku tak tahu apa itu.”
“Kalau begitu kita jalan saja.”
Sambil memandangnya, saya mengenali wajah lembutnya yang tulus.
“Kamu tinggal dimana?” saya bertanya.
“Di sana.” Dia menunjuk ke barisan cottage untuk musim panas di depan.
Aneh, saya berpikir, ini musim dingin.
“Kamu sekolah dimana?”
“Aku tidak sekolah. Mama bilang kita sedang liburan”
Dia berceloteh seperti layaknya seorang anak perempuan kecil sepanjang perjalanan menyusur pantai, tapi saya sedang memikirkan hal yang lain. Wendy berkata bahwa ia menikmati hari menyenangkan. Aneh, sekarang saya merasa lebih baik, saya tersenyum padanya dan menyetujuinya.
Tiga minggu berikut, saya terburu-buru pergi ke pantai dalam keadaan yang boleh dibilang panik. Saya sama sekali sedang tidak ‘in the mood’ sekalipun hanya untuk memberi salam kepada Wendy.
“Lihat, kalau kamu tidak berkeberatan,” saya berkata dengan gusar ketika Wendy menangkap saya, “Saya ingin sendirian hari ini.”
Dia kelihatannya lebih pucat dari biasanya dan tampak kelelahan.
“Kenapa ?” dia bertanya.
Saya berbalik kepadanya dan berteriak, “Karena ibu saya meninggal !!!” dan tersentak sendiri, ya Tuhan, kenapa saya berkata seperti ini kepada seorang anak kecil?
“Oh,” dia berkata perlahan, “Kalau begitu ini hari buruk.”
“Ya,” kata saya, “Dan kemarin dan kemarin lagi dan? ah semuanya sudah berlalu!”
“Apa kamu sedih?” anak ini terus bertanya.
“Sedih?” saya kecewa terhadapnya dan terhadap diri saya sendiri.
“Kapan dia meninggal ?”
“Tentu saja itu menyedihkan !!!!” saya berseru, salah mengerti, perasaan saya campur aduk dalam diri saya.
Saya pergi meninggalkannya begitu saja.
Satu bulan setelah itu, ketika saya datang lagi ke pantai itu, Wendy, anak perempuan kecil itu tidak ada di sana.
Dengan merasa bersalah, malu dan harus mengakui bahwa sebenarnya saya kehilangan dia, saya pergi ke cottage setelah berjalan-jalan dan mengetuk pintu.
Seorang wanita muda yang menarik perhatian dengan rambut berwarna kuning-madu membuka pintu.
“Halo,” saya berkata. “Saya Robert Peterson. Saya kehilangan anak perempuan kecilmu dan ingin tahu dimana dia sekarang.”
“Oh ya, Pak Peterson, silahkan masuk. Wendy banyak bercerita tentang dirimu. Saya khawatir kalau saya telah membiarkannya mengganggumu. Kalau dia telah sudah mengganggu, terimalah permohonan maaf saya.”
“Tidak juga - dia anak yang menyenangkan,” saya berkata, tiba-tiba saya menyadari bahwa benarlah demikian adanya.
“Dimana dia?”
“Wendy meninggal minggu lalu, Pak Peterson. Dia menderita leukemia. Mungkin dia belum memberitahu anda.”
Seperti dipukul, saya segera mencari pegangan pada kursi. Napas saya seperti berhenti.
“Dia suka sekali pantai ini; maka ketika dia meminta untuk datang ke tempat ini, kami tidak dapat menolaknya. Dia kelihatannya menjadi lebih baik di sini dan mempunyai banyak hari yang disebutnya sebagai hari menyenangkan. Tetapi minggu-minggu terakhir, kondisinya menurun dengan cepat?” suaranya melemah,
“Dia meninggalkan sesuatu untukmu. Kalau saja saya dapat menemukannya. Dapatkah anda menunggu sebentar sementara saya mencari?”
Saya mengangguk, pikiran saya bekerja keras mencari sesuatu, apa saja, untuk diucapkan kepada wanita muda terkasih ini.
Dia memberikan saya sebuah amplop agak kotor, dengan tulisan tebal Pak Peter, tulisan anak-anak.
Didalamnya ada sebuah gambar dibuat dari krayon cerah - gambar satu pantai bewarna kuning, laut biru, dan seekor burung coklat.
Dibawahnya tertulis dengan rapi : BURUNG LAUT MEMBAWA KEBAHAGIAAN UNTUK KAMU
Mata saya terasa basah, dan satu bagian hati yang hampir terlupakan selama ini terbuka lebar untuk mengasihi. Saya menggenggam tangan ibu Wendy.
“Saya sangat menyesal, saya menyesal, saya menyesal, ” saya menggumamkannya berkali-kali dan kita menangis bersama.
Gambar kecil yang sangat berharga itu sekarang diberi bingkai dan digantung di kamar belajar saya.
Enam kata - satu untuk setiap tahun kehidupannya - telah berbicara kepada saya tentang harmoni, kekuatan, kasih yang tidak menuntut.
Hadiah dari seorang anak kecil dengan mata biru dan rambut pasir telah mengajar saya arti pemberian kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar