Pernah nggak sih kamu ngerasain kalo hidup itu bener-bener ‘bad’ dan nggak berarti lagi dan berharap, coba kalo kita bisa ada di kehidupan yang lain! Saya akui, saya cukup sering merasa begitu.
Saya pikir, hidup ini kayanya cuma nambahin kesulitan-kesulitan saya aja! ‘Kerja menyebalkan’, hidup tak berguna’, dan nggak ada sesuatu yang beres!
Tapi semua itu berubah… sejak kemarin…
Pandangan saya tentang hidup ini benar-benar telah berubah! Tepatnya terjadi setelah saya bercakap-cakap dengan teman saya. Ia mengatakan kepada saya bahwa walau ia mempunyai 2 pekerjaan dan berpenghasilan sangat minim setiap bulannya, namun ia tetap merasa bahagia dan senantiasa bersukacita.
Saya pun jadi bingung, bagaimana bisa ia bersukacita selalu dengan gajinya yang minim itu untuk menyokong kedua orangtuanya, mertuanya, istrinya, 2 putrinya, ditambah lagi tagihan-tagihan rumah tangga yang numpuk!
Kemudian ia menjelaskan bahwa itu semua karena suatu kejadian yang ia alami di India. Hal ini dialaminya beberapa tahun yang lalu saat ia sedang berada dalam situasi yang berat.
Setelah banyak kemunduran yang ia alami itu, ia memutuskan untuk menarik nafas sejenak dan mengikuti tur ke India. Ia mengatakan bahwa di India, ia melihat tepat di depan matanya sendiri bagaimana seorang ibu MEMOTONG tangan kanan anaknya sendiri dengan sebuah golok!!
Keputusasaan dalam mata sang ibu, jeritan kesakitan dari seorang anak yang tidak berdosa yang saat itu masih berumur 4 tahun! terus menghantuinya sampai sekarang.
Kamu mungkin sekarang bertanya-tanya, kenapa ibu itu begitu tega melakukan hal itu? Apa anaknya itu ’so naughty’ atau tangannya itu terkena suatu penyakit sampai harus dipotong? Ternyata tidak!
Semua itu dilakukan sang ibu hanya agar anaknya dapat …MENGEMIS…!
Ibu itu sengaja menyebabkan anaknya cacat agar dikasihani orang-orang saat mengemis di jalanan! Saya benar-benar tidak dapat menerima hal ini, tetapi ini adalah KENYATAAN!
Hanya saja hal mengerikan seperti ini terjadi di belahan dunia yang lain yang tidak dapat saya lihat sendiri!
Kembali pada pengalaman sahabat saya itu, ia juga mengatakan bahwa setelah itu ketika ia sedang berjalan-jalan sambil memakan sepotong roti, ia tidak sengaja menjatuhkan potongan kecil dari roti yang ia makan itu ke tanah. Kemudian dalam sekejap mata, segerombolan anak kira-kira 6 orang anak sudah mengerubungi potongan kecil dari roti yang sudah kotor itu… mereka berebutan untuk memakannya! (suatu reaksi yang alami dari kelaparan).
Terkejut dengan apa yang baru saja ia alami, kemudian sahabatku itu menyuruh guidenya untuk mengantarkannya ke toko roti terdekat.
Ia menemukan 2 toko roti dan kemudian membeli semua roti yang ada di kedua toko itu! Pemilik toko sampai kebingungan, tetapi ia bersedia menjual semua rotinya. Kurang dari $100 dihabiskan untuk memperoleh 400 potong roti (jadi tidak sampai $0,25 / potong) dan ia juga meng- habiskan kurang lebih $ 100 lagi untuk membeli barang keperluan sehari-hari. Kemudian ia pun berangkat kembali ke jalan yang tadi dengan membawa satu truk yang dipenuhi dengan roti dan barang-barang keperluan sehari-hari kepada anak-anak (yang kebanyakan CACAT) dan beberapa orang-orang dewasa disitu! Ia pun mendapatkan imbalan yang sungguh tak ternilai harganya, yaitu kegembiraan dan rasa hormat dari orang-orang yang kurang beruntung ini!
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa heran bagaimana seseorang bisa melepaskan kehormatan dirinya hanya untuk sepotong roti yang tidak sampai $ 0,25! Ia mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri, betapa beruntungnya ia masih mempunyai tubuh yang sempurna, pekerjaan yang baik, juga keluarga yang hangat. Juga untuk setiap kesempatan dimana ia masih dapat berkomentar mana makanan yang enak, mempunyai kesempatan untuk berpakaian rapi, punya begitu banyak hal dimana orang-orang yang ada di hadapannya ini AMAT KEKURANGAN!
Sekarang aku pun mulai berpikir seperti itu juga! Sebenarnya, apakah hidup saya ini sedemikian buruknya? TIDAK, sebenarnya tidak buruk sama sekali!! Nah, bagaimana dengan kamu?
Mungkin di waktu lain saat kamu mulai berpikir seperti aku, cobalah ingat kembali tentang seorang anak kecil yang HARUS KEHILANGAN sebelah tangannya hanya untuk mengemis di pinggir jalan!
Saudara, banyak hal yang sudah kita alami dalam menjalani kehidupan kita selama ini, sudahkah kita BERSYUKUR? Apakah kita mengeluh saja dan selalu merasa tidak puas dengan apa yang sudah kita miliki?
Hadiah Dari Wendy0
Posted by Administrator in H (Tuesday July 11, 2006 at 10:57 pm)
(Robert Pettersen)
Anak perempuan ini berumur eman tahun ketika saya pertama kali menemuinya di tepi pantai dekat tempat tinggal saya.
Pantai ini berjarak sekitar empat mil dari rumah saya.
Dia sedang membuat sesuatu seperti istana pasir dan kemudian melihat saya, matanya biru seperti laut.
“Hai”, katanya.
Saya menjawab acuh tak acuh, hati saya sedang tidak enak dan tidak mau diganggu oleh seorang anak kecil.
“Aku sedang membangun,” katanya.
“Saya tahu. Apa itu ?” saya bertanya sekedarnya, tidak peduli.
“Oh, tidak tahu, aku cuma senang main pasir.”
Kelihatannya baik, saya berpikir, kemudian melepaskan sepatu saya.
Seekor burung laut terbang melintas.
“Itu kebahagiaan”
“Itu apa?”
“Itu kebahagiaan. Mama berkata burung laut membawa kebahagiaan untuk kita”
Burung itu terbang menjauhi pantai.
“Selamat tinggal kebahagiaan,” saya bergumam kepada diri sendiri, “Halo kepedihan,” dan berbalik untuk meneruskan perjalanan.
Saya sedang depresi; hidup saya kelihatannya benar-benar kacau.
“Siapa namamu?” anak itu tidak menyerah.
“Robert,” saya menjawab. “Saya Robert Peterson.”
“Namaku Wendy ? aku umur enam.”
“Hai, Wendy.”
Dia tertawa geli. “Kamu lucu,” katanya.
Dengan mengabaikan perasaan saya, saya ikut tertawa dan kemudian berjalan pergi.
Irama tertawa geli anak itu mengikuti saya.
“Datang lagi ya, Pak Peter” dia memanggil.
“Kita masih punya hari menyenangkan yang lain.”
Hari dan minggu-minggu berikut bukan milik saya: sekelompok anak yang tidak dapat diatur, pertemuan orang-tua dan guru, ibu yang sakit. Matahari bersinar cerah ketika suatu pagi saya sedang mencuci tangan.
“Saya butuh burung laut”, saya berkata kepada diri sendiri, sambil mengambil jaket.
Suasana pantai sedang menunggu. Angin terasa dingin, tapi saya terus melanjutkan, mencoba untuk memperoleh kedamaian yang saya butuhkan. Saya sudah melupakan anak kecil itu dan terkejut ketika menjumpai dia.
“Halo pak Peter,” dia berkata.
“Mau main ?”
“Kamu mau main apa sih ?” saya berkata dengan sedikit terganggu.
“Aku tidak tahu? Terserah.”
“Bagaimana kalau kita main pura-pura?” saya bertanya dengan kasar.
Suara tertawa terdengar lagi.
“Aku tak tahu apa itu.”
“Kalau begitu kita jalan saja.”
Sambil memandangnya, saya mengenali wajah lembutnya yang tulus.
“Kamu tinggal dimana?” saya bertanya.
“Di sana.” Dia menunjuk ke barisan cottage untuk musim panas di depan.
Aneh, saya berpikir, ini musim dingin.
“Kamu sekolah dimana?”
“Aku tidak sekolah. Mama bilang kita sedang liburan”
Dia berceloteh seperti layaknya seorang anak perempuan kecil sepanjang perjalanan menyusur pantai, tapi saya sedang memikirkan hal yang lain. Wendy berkata bahwa ia menikmati hari menyenangkan. Aneh, sekarang saya merasa lebih baik, saya tersenyum padanya dan menyetujuinya.
Tiga minggu berikut, saya terburu-buru pergi ke pantai dalam keadaan yang boleh dibilang panik. Saya sama sekali sedang tidak ‘in the mood’ sekalipun hanya untuk memberi salam kepada Wendy.
“Lihat, kalau kamu tidak berkeberatan,” saya berkata dengan gusar ketika Wendy menangkap saya, “Saya ingin sendirian hari ini.”
Dia kelihatannya lebih pucat dari biasanya dan tampak kelelahan.
“Kenapa ?” dia bertanya.
Saya berbalik kepadanya dan berteriak, “Karena ibu saya meninggal !!!” dan tersentak sendiri, ya Tuhan, kenapa saya berkata seperti ini kepada seorang anak kecil?
“Oh,” dia berkata perlahan, “Kalau begitu ini hari buruk.”
“Ya,” kata saya, “Dan kemarin dan kemarin lagi dan? ah semuanya sudah berlalu!”
“Apa kamu sedih?” anak ini terus bertanya.
“Sedih?” saya kecewa terhadapnya dan terhadap diri saya sendiri.
“Kapan dia meninggal ?”
“Tentu saja itu menyedihkan !!!!” saya berseru, salah mengerti, perasaan saya campur aduk dalam diri saya.
Saya pergi meninggalkannya begitu saja.
Satu bulan setelah itu, ketika saya datang lagi ke pantai itu, Wendy, anak perempuan kecil itu tidak ada di sana.
Dengan merasa bersalah, malu dan harus mengakui bahwa sebenarnya saya kehilangan dia, saya pergi ke cottage setelah berjalan-jalan dan mengetuk pintu.
Seorang wanita muda yang menarik perhatian dengan rambut berwarna kuning-madu membuka pintu.
“Halo,” saya berkata. “Saya Robert Peterson. Saya kehilangan anak perempuan kecilmu dan ingin tahu dimana dia sekarang.”
“Oh ya, Pak Peterson, silahkan masuk. Wendy banyak bercerita tentang dirimu. Saya khawatir kalau saya telah membiarkannya mengganggumu. Kalau dia telah sudah mengganggu, terimalah permohonan maaf saya.”
“Tidak juga - dia anak yang menyenangkan,” saya berkata, tiba-tiba saya menyadari bahwa benarlah demikian adanya.
“Dimana dia?”
“Wendy meninggal minggu lalu, Pak Peterson. Dia menderita leukemia. Mungkin dia belum memberitahu anda.”
Seperti dipukul, saya segera mencari pegangan pada kursi. Napas saya seperti berhenti.
“Dia suka sekali pantai ini; maka ketika dia meminta untuk datang ke tempat ini, kami tidak dapat menolaknya. Dia kelihatannya menjadi lebih baik disini dan mempunyai banyak hari yang disebutnya sebagai hari menyenangkan. Tetapi minggu-minggu terakhir, kondisinya menurun dengan cepat?” suaranya melemah,
“Dia meninggalkan sesuatu untukmu. Kalau saja saya dapat menemukannya. Dapatkah anda menunggu sebentar sementara saya mencari?”
Saya mengangguk, pikiran saya bekerja keras mencari sesuatu, apa saja, untuk diucapkan kepada wanita muda terkasih ini.
Dia memberikan saya sebuah amplop agak kotor, dengan tulisan tebal Pak Peter, tulisan anak-anak.
Didalamnya ada sebuah gambar dibuat dari krayon cerah - gambar satu pantai bewarna kuning, laut biru, dan seekor burung coklat.
Dibawahnya tertulis dengan rapi : BURUNG LAUT MEMBAWA KEBAHAGIAAN UNTUK KAMU
Mata saya terasa basah, dan satu bagian hati yang hampir terlupakan selama ini terbuka lebar untuk mengasihi. Saya menggenggam tengan ibu Wendy.
“Saya sangat menyesal, saya menyesal, saya menyesal, ” saya menggumamkannya berkali-kali dan kita menangis bersama.
Gambar kecil yang sangat berharga itu sekarang diberi bingkai dan digantung di kamar belajar saya.
Enam kata - satu untuk setiap tahun kehidupannya - telah berbicara kepada saya tentang harmoni, kekuatan, kasih yang tidak menuntut.
Hadiah dari seorang ank kecil dengan mata biru dan rambut pasir telah mengajar saya arti pemberian kasih.
Mengenal, Lebih Penting!0
Posted by Administrator in M (Tuesday July 11, 2006 at 4:08 pm)
Alkisah, pada suatu hari, diadakan sebuah pesta emas peringatan 50 tahun pernikahan sepasang kakek -nenek. Pesta ini pun dihadiri oleh keluarga besar kakek dan nenek tersebut beserta kerabat dekat dan kenalan.
Pasangan kakek-nenek ini dikenal sangat rukun, tidak pernah terdengar oleh siapapun bahkan pihak keluarga mengenai berita mereka perang mulut. Singkat kata, mereka telah mengarungi bahtera pernikahan yang cukup lama bagi kebanyakan orang. Mereka telah dikaruniai anak-anak yang sudah dewasa dan mandiri baik secara ekonomi maupun pribadi. Pasangan tersebut merupakan gambaran sebuah keluarga yang sangat ideal.
Di sela-sela acara makan malam yang telah tersedia, pasangan yang merayakan peringatan ulang tahun pernikahan mereka ini pun terlihat masih sangat romantis. Di meja makan, telah tersedia hidangan ikan yang sangat menggiurkan yang merupakan kegemaran pasangan tersebut.
Sang kakek pun, pertama kali melayani sang nenek dengan mengambil kepala ikan dan memberikannya kepada sang nenek, kemudian mengambil sisa ikan tersebut untuknya sendiri.
Sang nenek melihat hal ini, perasaannya terharu bercampur kecewa dan heran. Akhirnya sang nenek berkata kepada sang kakek: “Suamiku, kita telah melewati 50 tahun bahtera pernikahan kita. Ketika engkau memutuskan untuk melamarku, aku memutuskan untuk hidup bersamamu dan menerima dengan segala kekurangan yang ada untuk hidup sengsara denganmu walaupun aku tahu waktu itu kondisi keuangan engkau pas-pasan. Aku menerima hal tersebut karena aku sangat mencintaimu. Sejak awal pernikahan kita, ketika kita mendapatkan keberuntungan untuk dapat menyantap hidangan ikan, engkau selalu hanya memberiku kepala ikan yang sebetulnya sangat tidak aku suka, namun aku tetap menerimanya dengan mengabaikan ketidaksukaanku tersebut karena aku ingin membahagiakanmu. Aku tidak pernah lagi menikmati daging ikan yang sangat aku suka selama masa pernikahan kita. Sekarangpun, setelah kita berkecukupan, engkau tetap memberiku hidangan kepala ikan ini. Aku sangat kecewa, suamiku. Aku tidak tahan lagi untuk mengungkapkan hal ini.”
Sang kakek pun terkejut dan bersedihlah hatinya mendengarkan penuturan Sang nenek. Akhirnya, sang kakek pun menjawab, “Istriku, ketika engkau memutuskan untuk menikah denganku, aku sangat bahagia dan aku pun bertekad untuk selalu membahagiakanmu dengan memberikan yang terbaik untukmu. Sejujurnya, hidangan kepala ikan ini adalah hidangan yang sangat aku suka. Namun, aku selalu menyisihkan hidangan kepala ikan ini untukmu, karena aku ingin memberikan yang terbaik bagimu. Semenjak menikah denganmu, tidak pernah lagi aku menikmati hidangan kepala ikan yang sangat aku suka itu. Aku hanya bisa menikmati daging ikan yang tidak aku suka karena banyak tulangnya itu. Aku minta maaf, istriku.”
Mendengar hal tersebut, sang nenek pun menangis. Merekapun akhirnya berpelukan. Percakapan pasangan ini didengar oleh sebagian undangan yang hadir sehingga akhirnya merekapun ikut terharu.
Kadang kala kita terkejut mendengar atau mengalami sendiri suatu hubungan yang sudah berjalan cukup lama dan tidak mengalami masalah yang berarti, kandas di tengah-tengah karena hal yang sepele, seperti masalah pada cerita di atas.
Kualitas suatu hubungan tidak terletak pada lamanya hubungan tersebut, melainkan terletak sejauh mana kita mengenali pasangan kita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar