Dr. Charles Gerkin, seorang psikolog, mengatakan, “Seorang hamba Tuhan yang tidak rela menyentuh secara jasmani tak mungkin dapat menjamah secara rohani. Bila Anda tidak bersedia menyentuh seseorang yang tidak mempunyai tempat kediaman karena sangat miskin, atau seorang pemabuk, atau seorang yang berpakaian kotor dan berpenampilan tidak menarik, Anda sesungguhnya tidak siap secara batin untuk melayani!" Ia menceritakan pengalaman seorang Pendeta saat menghadapi seorang anggota jemaatnya yang kena penyakit AIDS. Pada suatu saat ia mengunjunginya di rumah sakit dan perawat yang sedang bertugas memberikan kepadanya sepasang sarung tangan untuk dipakai sebelum dia masuk kamar pasien. Orang sakit itu begitu bergembira saat melihat siapa yang datang membesuknya dan segera mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Namun saat pendetanya itu mengulurkan tangannya sendiri, yang ia melihat hanyalah sarung tangan! Tiba-tiba perasaan gembira dan sukacita yang ada pada awalnya berubah menjadi keadaan memalukan bagi mereka berdua! Si pendeta langsung meminta maaf. Setelah pengalamannya itu, dalam tiap pelayanannya mengunjungi orang-orang di rumah sakit, ia tak pernah memakai sarung tangan lagi. Katanya, “Saya hanya merasa tidak dapat membawa Kristus kepada mereka tanpa hubungan pribadi dan sentuhan yang langsung.”
Sentuhan, sama dengan pelukan dan berbagai bahasa tubuh tertentu merupakan ungkapan kasih dan kerelaan kita menerima sesama apa adanya dengan cara yang unik dan tak terungkap dengan kata-kata. Namun sentuhan itu adalah komunikasi dua-arah: ia mempengaruhi baik orang yang disentuh maupun orang yang menyentuh. Berbagai tradisi dan budaya mempunyai peraturan-peraturan mengenai apa dan siapa yang boleh dan tak boleh menyentuh atau disentuh. Bahkan ada kepercayaan bahwa dengan menyentuh orang atau benda yang salah, orang yang menyentuh itu langsung menjadi najis! Jadi bayangkan kagetnya orang-orang Yahudi, terutama para ahli Taurat dan Farisi, karena Yesus berkali-kali melanggar semua tradisi itu! Dengan melakukan hal-hal yang “dilarang,” yakni menyentuh dan membiarkan Diri-Nya disentuh oleh mereka yang dianggap najis oleh hukum dan peraturan, justru Yesus menyelamatkan mereka.
Pada suatu saat, sambil orang-orang berbondong-bondong mengelilingi Yesus dan berdesak-desakan dekat-Nya, tiba-tiba Ia berpaling dan bertanya, “Siapa yang menjamah Aku?” Ia mengetahui dan merasakan ada yang menyentuh-Nya secara berbeda sehingga ada tenaga yang keluar dari Diri-Nya! Berarti adalah dua macam sentuhan yang sedang terjadi pada peristiwa itu: sentuhan orang-orang yang berdesak-desakan dekat-Nya yang tidak menyebabkan apa-apa dan sentuhan seorang perempuan yang sudah lama menderita pendarahan yang menyebabkan mukjizat. Apa bedanya di antara sentuhan-sentuhan dari orang banyak dan sentuhan dari seorang wanita itu? Dia yang sedang sakit pendarahan itu menyentuh Yesus dengan Iman yang berpengharapan. Dia begitu yakin bahwa “ada sesuatu yang akan terjadi” asal dia dapat menyentuh Yesus!
Jika Yesus sedang lewat di sini, sekarang, dan kamu ada kesempatan untuk menyentuh jubah-Nya, apakah kamu akan menyentuh-Nya karena penasaran ataukah dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa kamu akan disembuhkan dan dipulihkan? Sesungguhnya di dalam Perayaan Ekaristi, pada saat Komuni Kudus, kamu tidak hanya menyentuh Yesus; kamu menyantap Tubuh dan Darah-Nya. Ucapkanlah dengan penuh iman dan harapan doa kita itu sebelum menyambut-Nya: “Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya, tetapi bersabdalah saja maka saya akan sembuh!” (P.Noel,SDB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar