Jumat, 08 Oktober 2010

Aku Punya Allah yang Hidup

Haleluya! Dalam nama Tuhan Yesus saya bersaksi,

Kemurahan Bapa di Sorga telah membuat saya lepas dari belenggu depresi yang tiada henti menimpa saya dalam tiga tahun terakhir. Masa lalu saya memang kelam, namun Allah Bapa yang maha kasih melalui RohNya menanamkan kepada saya bahwa dalam namaNya semua kenangan buruk itu mengantarkan saya kepada pengenalan yang dalam akan Yesus Kristus. Kiranya kesaksian saya ini memberikan harapan kepada mereka yang sedang dalam pencarian akan hidup yang berarti.


Tiga Tahun yang Sukar

Pikiran bunuh diri itu mulai menganggu saya di pertengahan tahun 2005. Saat itu segala kekuatiran saya mencapai puncaknya. Saya merasa hidup ini tidak berarti lagi karena hubungan saya dengan orang tua dan saudara-saudara yang sedang memburuk, juga saya tidak suka berhadapan dengan teori-teori mengajar yang menurut saya tidak ada gunanya. Selain itu saya merasa sangat kesepian, kehidupan bergerejapun terasa seperti rutinitas belaka. Perkuliahan yang menurut saya semakin lama semakin berat dan perasaan akan tidak berguna yang menyelimuti saya karena saya tidak seperti teman-teman kuliah saya yang sebagian besar telah memperoleh uang dari hasil mengajar membuat saya tenggelama dalam perasaan yang tak menentu. Awalnya saya merasa suara-suara yang menyuruh saya untuk bunuh diri itu merupakan bagian dari pencobaan yang harus saya kalahkan karena sebelumnya saya sering sekali memperoleh penglihatan-penglihatan di mana dalam penglihatan-penglihatan itu saya melihat bagaimana Tuhan Yesus mengalahkan iblis yang sedang memburu jiwa saya.

Saya harus masuk rumah sakit untuk memperoleh perawatan di akhir tahun 2005. Pada saat itu saya sungguh tidak mengerti mengapa tidak seperti biasanya Tuhan Yesus melepaskan saya dari kuasa kegelapan. Kali ini Tuhan seolah tinggal diam dan membiarkan jiwa saya kosong, berada dalam jerat iblis. Dengan berat hati saya terpaksa minum obat yang diberikan oleh psikiater. Dalam hati saya merasa benci sekali dengan keharusan saya untuk mengkonsumsi obat, tetapi saya sungguh tidak tahu bagaimana mengisi kekosongan dalam hidup saya. Lagipula, orang tua saya sepertinya sangat mempercayai setiap perkataan dari psikiater. Bagaimanapun juga, karena keharusan untuk minum obat secara teratur, saya merasa bagai orang yang sakit; saya takut sekali orang lain tahu bahwa saya pernah dirawat di rumah sakit akibat kehilangan pengendalian diri dan bahwa hidup saya kini tergantung pada obat.

Sejak saya keluar dari rumah sakit, saya sangat aktif dalam berbagai pelayanan di gereja. Namun demikian, hal tersebut tidak dapat memuaskan hati saya; saya tetap hidup dalam ketidakpastian, seolah hidup ini tidak bertujuan bagi saya. Dengan sangat terpaksa saya terus melanjutkan kuliah; perasaan ingin bunuh diri itu semakin menguat dari hari ke hari, ditambah lagi di saat saya mulai putus asa ada banyak sekali suara-suara yang meyakinkan saya bahwa bunuh diri adalah jalan terbaik bagi saya. Saya selalu ingin menghindar bertemu teman-teman kuliah saya; sayapun juga merasa rendah dibandingkan dengan saudara-saudara saya. Ketakutan akan uang terus mendera saya, apalagi ayah saya terus-menerus memaksa saya untuk menjadi seorang yang pandai berbisnis. Saya tahu pasti bahwa saya tidak suka bisnis tetapi di sisi lain saya juga tidak tahu saya ingin menjadi apa. Saya hanya bisa diam dan merasa sedih dalam hati ketika ayah saya terus membanggakan dirinya yang sangat pandai berbisnis. Di awal tahun 2007 atas perintah suara-suara, saya memutuskan untuk berhenti kuliah. Saya merasa meledak, semakin lama semuanya makin suram bagi saya. Bagi saya gelar S1 tidak lagi penting; saya merasa saya pasti akan menangis di hari wisuda saya karena saya merasa semua teman kuliah saya jahat, dan tentunya tidak ada yang dapat saya banggakan dari apa yang telah saya pelajari selama kuliah.

Ketika semuanya serba tak menentu, tiba-tiba suara-suara yang saya anggap sebagai suara Tuhan itu menyuruh saya untuk kembali kuliah. Suara-suara tersebut juga mengatakan kepada saya bahwa saya sangat membutuhkan pertolongan psikiater juga psikolog, bahkan suara-suara tersebut menjamin bahwa saya boleh terbuka pada mereka karena mereka pasti dapat menolong saya. Perkuliahan itu membuat saya semakin depresi, dan tak henti-hentinya saya meminta Tuhan untuk lebih baik membunuh saya daripada saya harus menyelesaikan kuliah saya. Psikiater menyarankan saya untuk minum obat teratur untuk membuat pikiran saya jernih sehingga saya dapat berpikir jernih. Saya sangat mempercayai perkataan psikiater pada mulanya, namun seiring dengan berjalannya waktu, saya merasa obat yang diberikan psikiater itu tidak cocok bagi saya karena bukan hanya saya tetap kehilangan semangat hidup, yang pasti pikiran bunuh diri itu makin lama makin menguasai diri saya. Terhadap psikolog saya juga menaruh harapan untuk bisa beraktivitas dengan normal setelah melalui beberapa sesi. Namun, dari sesi ke sesi saya merasa psikolog itu semakin menuduh saya sebagai orang yang ragu-ragu, selalu menyesali keputusan yang telah saya ambil, dan yang terutama takut menghadapi tantangan. Saya sadar bahwa saya memang butuh teman bicara, tetapi sepertinya psikolog itu cenderung untuk memarahi saya karena saya selalu datang dengan keluhan yang hampir sama. Sementara itu, saya juga tidak berani berterus-terang kepada psikiater mengenai pergumulan yang sedang saya alami karena takut ia akan memberi saya obat tambahan, padahal saya tahu pasti bahwa obat anti depresi itu akan membuat saya sakit maag dan tatapan mata saya kosong.

Pada akhirnya saya memang dapat menyelesaikan kuliah, tetapi ketakutan memasuki dunia kerja tidak dapat lepas dari pikiran saya. Setelah dinyatakan lulus pada pertengahan tahun 2008, sesungguhnya saya berada dalam kebingungan yang amat sangat. Hati saya ingin meninggalkan Indonesia secepatnya karena saya merasa tidak ada pekerjaan yang cocok bagi saya di sini tetapi bukan hanya karena orang tua tidak akan mengizinkan saya pergi jauh, namun juga peluang saya untuk pergi akan sangat kecil jika saya tidak menggunakan uang saya sendiri. Hal itu berarti saya harus bekerja, tetapi saya ingin hasil yang instan, saya ingin memperoleh banyak uang segera agar saya dapat segera keluar negeri. Karenanya, saya merasa terjebak; saya tahu saya membutuhkan pekerjaan tetapi saya pikir saya akan merasa sangat tersiksa dengan pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat saya. Setelah melalui berbagai proses, sayapun diterima sebagai guru bahasa inggris di suatu lembaga kursus. Saya sering merasa saya salah masuk ke sana karena sejak training saya tidak pernah nyambung dengan berbagai teknik mengajar yang disampaikan. Lagipula, saya teringat pengalaman buruk saya saat praktek ngajar di suatu SMU pada waktu kuliah. Waktu itu murid-murid sama sekali tidak mendengarkan saya, suasana kelas sangat tidak terkendali. Saya ingin sekali mundur tetapi saya sudah terlanjur menandatangani kontrak selama 1 tahun. Berulang kali saya minta kepada Tuhan agar saya bisa keluar dari sana, saya katakan kepadaNya lebih baik saya mati daripada saya harus mengajar.


Mujizat Allah Nyata

Berkat pertolongan Tuhan dan jamahan kuasa Roh Kudus, segala macam suara dan penglihatan itu pada akhirnya hilang. Saya katakan pada Tuhan bahwa sesungguhnya saya sangat memerlukan psikiater dan psikolog dalam diriNya karena terbukti psikiater dan psikolog yang menangani saya tidak dapat menolong saya lagi. Hari-hari saya sangat kosong, saya sungguh tidak mengerti mengapa segala sesuatu yang saya lakukan sepertinya serba salah, seolah membuktikan bahwa diagnosa psikolog terhadap saya itu benar dan bahwa perkataan psikiater adalah benar bahwa saya harus mencari banyak kegiatan dan tidak boleh terlalu banyak sendirian. Seringkali saya takut sendiri bahwa suatu hari nanti saya akan menjadi gila karena masih hidup di Jakarta. Setiap bangun pagi saya selalu merasa letih dan tidak semangat. Saya tidak tahu untuk apa saya hidup pada hari itu. Selain itu hati saya senantiasa dipenuhi dengan duka, dan saya tidak tahu sebabnya.

Di saat saya sedang putus asa dan tidak tahu apa yang harus saya perbuat, saya teringat bahwa Tuhan Yesus itu jauh lebih berharga dari teman-teman yang saya miliki bahkan dari seluruh hidup saya. Suatu lagu hymn juga mengingatkan saya bahwa hanya Tuhan Yesus seorang yang dapat menolong saya. Sebenarnya saya sudah bosan sekali dengan keinginan saya untuk bunuh diri tetapi saya tidak punya kekuatan untuk lepas darinya. Saya sering bertanya-tanya dalam diri saya, apa Tuhan tidak kasihan terhadap saya karena sudah tiga tahun saya terus hidup dalam kekelaman, seolah pikiran mau bunuh diri itu telah menjadi bagian dari hidup saya. Orang-orang yang mendengar keluhan saya ini pasti juga telah bosan, maka saya penuh keraguan apa Tuhan masih mengasihi jiwa saya. Saya merasa bagai penjahat yang pantas mati karena saya tak dapat mengasihi orang-orang di sekeliling saya. Saya juga telah merepotkan Tuhan karena kemauan saya yang kuat untuk mengakhiri hidup saya. Ketika jalan yang saya tempuh makin lama makin terjal, saya dapat merasakan bahwa Tuhan Yesus mempunyai kasih yang sangat besar terhadap saya; Ia mencari saya yang sedang berada dalam dosa. Di saat saya tak lagi bersemangat untuk berdoa, memuji Tuhan ataupun membaca Alkitab, saya dapat merasakan pengampunanNya yang sempurna, namaNya yang indah menghapus segala ketidaknyamanan dalam hati saya, dan mengantarkan jiwa saya yang telah hancur kepada kebenaran sejati.

Tuhan Yesus telah memberikan saya pengharapan di dunia dan sukacita dari Sorga sehingga saya tidak lagi ingin mati. Ia telah membuktikan kepada saya bahwa karya Roh Kudus masih nyata sampai saat ini, dan Ia masih peduli terhadap saya di saat saya berseru memanggil namaNya. Kasih karuniaNya dapat saya rasakan sepanjang waktu, ada perubahan yang nyata sejak saya sungguh-sungguh bertekun dalamNya. Saat ini dengan berani saya mengatakan bahwa Allah kita adalah Allah yang hidup, dan perbuatanNya yang ajaib nyata bagi mereka yang mendekat kepadaNya.

Segala kemuliaan hanya bagi nama Tuhan. Amin.

Kumala
Email: kumalawaty.sundari@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar