Minggu, 14 Agustus 2011

Sang Janda Yang Tegar

Hari ini aku jadi sadar dan tahu siapa sebenarnya orang yang paling aku cintai, dan demi siapakah aku rela mati karena cinta. Sebenarnya sejak lama aku tahu tentang hal ini, hanya hari ini aku diyakinkan tentang hal ini.

Saat itu aku melihat sebuah gunung terbelah dan batu-batu serta tanah dan lumpur mengalir di tengah gemuruh hujan yang lebat. Bagai guntur yang menggelegar, demikian saya mendengar bunyi saat gunung terbelah dan pohon-pohon bergerak diseret longsor. Jalanan tertimbun batuan yang bergerak cepat. Kulihat beberapa manusia terkubur hidup di balik lumpur yang mengalir ganas. Yah...sebuah longsor yang tak terkatakan sedang terjadi di depan mataku.

Dan di sana, di tepi longsor ini kulihat bayangan seorang wanita. Bayangannya begitu akrab di hatiku. Walau aku hanya melihatnya dari belakang, namun aku tahu siapa yang sedang berdiri di sana, di tepi aliran batu dan lumpur hitam itu. Ia berdiri dan dan seakan sedang berpikir. Dan aneh! Aku bahkan mampu mendengar apa yang sedang ia pikirkan; "Longsor ini amat berbahaya. Namun anak-anakku kini sedang kelaparan. Aku harus pergi mencari makan untuk anak-anakku." Ia nampak tegar. Tak ada sesuatupun yang bisa menghalanginya untuk berbuat sesuatu demi anak-anaknya. Tidak juga keganasan longsor ini.

Dari jauh saya melihat ketegaran seorang janda yang telah kehilangan suaminya. Kematian suaminya memberikan kepadanya peranan ganda; yakni berperan sebagai seorang ibu yang mencintai anak-anaknya, serta berperan sebagai seorang bapak yang bertanggung jawab demi masa depan anak-anaknya. Dan rasa tanggung jawab inilah yang telah memberikan kekuatan kepadanya agar secara berani menceburkan diri dalam aliran lumpur dan batu dahsyat itu. Ia berenang di tengah longsor untuk pergi mencari makanan bagi anak-anaknya. Tak ada jalan lain yang harus ia lalui kecuali satu-satunya jalur jalan yang kini ditimbun lumpur.

Saya tahu resiko apa yang bakal terjadi atas dirinya. Anak-anaknya kini meratap melihat sang ibu berada di tengah longsor. Saya berteriak keras. Namun suaraku tak mampu mengimbangi suara gelegar batu-batu besar yang sedang berguling dan saling bertabrakan. Dan...ajaib! Saya berlari sekian cepat seakan seekor burung yang bersayap lebar. Dalam sekejap saya menemukan diriku berjalan di tengah tanah longsor, berusaha menghindari himpitan batu besar yang sedang berguling cepat. Suaraku tiba-tiba melengking kuat merajai segala bunyi; "Kak..., berbahaya...kembalilah!¡¨ Namun kakakku tetap tak mau mendengarkan suaraku.

Air mataku sudah mengalir deras di kedua pipiku. Aku tahu bahwa kakakku akan segera mati terlindas batu atau diseret lumpur ganas. Akupun tahu bahwa nasibku akan seperti dirinya. Sekali lagi dengan sekuat tenaga saya berteriak; "Kak...! Kalau engkau tak mau kembali, maka akupun ingin mati bersamamu. Aku rela mati dan dikuburkan hidup-hidup bersamamu di dalam lumpur ini, kalau memang itulah pilihanmu." Aku berteriak sambil terus menangis dan bergerak mendekatinya di tengah longsor ini.

Ketika mendengar bahwa akupun ingin mati bersamanya kalau ia tak mau kembali, kakakku membalikan muka. Nampak jelas bahwa ia tak mau kalau aku mati ditelan longsor dahsyat ini. Akhirnya ia berenang ke arahku dan sambil memegang tangannya kami ke luar dari amukan batu yang sedang berguling. Dan ketika kami telah berada di tempat yang aman jauh dari amukan longsor itu, saya tersadar dari mimpiku dan terbangun dari tidurku. Kudapati kedua tanganku memeluk erat bantal di sampingku seakan sedang memeluk kakakku tercinta. Pipiku ternyata sedang basah. Ternyata saya sungguh menangis.

Ketika saya berumur dua tahun ayahku meninggal dunia dan aku harus hidup dan bekerja keras bersama kakak perempuanku. Setelah tamat SD kakakku menolak untuk melanjutkan sekolah hanya karena tanggung jawabnya pada diriku. Ia tak ingin aku, adiknya kehilangan kesempatan untuk belajar. Ia rela melepaskan kesempatan belajar agar bisa membantu ibuku membiayai sekolahku. Dan aku tahu betapa besarnya derita yang harus dipikulnya di saat-saat saya belajar sejak SMP hinga selesai kuliah. Aku mengira bahwa penderitaannya dulu telah selesai. Namun, di tahun 2000 kakakku kehilangan suaminya. Ia diberi tanggung jawab untuk membesarkan ketiga anaknya yang semuanya masih kecil-kecil. Yang terkecil saat itu berumur setahun lebih. Dan malam tadi dalam mimpiku aku melihat betapa tegarnya dia, betapa besarnya tanggung jawabnya terhadap anak-anaknya. Ia berani berperang melawan kekerasan alam demi anak-anaknya. Secara jujur aku katakan, aku tak memiliki keberanian sebagaimana ia miliki.

Terima Tuhan karena engkau telah memberikan aku seorang kakak yang tegar. Dampingi dia, berikan dia kesehatan dan kekuatan agar bisa tekun mendampingi ketiga anaknya. Terima kasih kakakku!! Tanpa engkau, aku tak akan pernah menjadi diriku saat ini. Tanpa engkau aku tak akan pernah menjadi seorang imam.


Tarsis Sigho - Chicago

1 komentar:

  1. sabdaku : Belikanlah aku baju,,entotlah janda-janda,dan domba-dombaku digereja.

    BalasHapus