Selasa, 31 Agustus 2010

(kesaksian) DI TENGAH KEBUATAANKU

“Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, Yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah. Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami.” (2 Kor 1:3-4, 4:7)

Salam Sejahtera,

Shalom semua, saya senang sekali bisa berbagi kesaksian hidup saya sebagai seorang tunanetra. Bagaimana Tuhan tetap baik buat saya meski saya harus menjalani hari-hari saya dengan mata yang tidak dapat melihat. Saya berdoa agar kesaksian saya ini bisa menjadi berkat dan semangat bagi teman-teman semua, terlebih buat teman-teman yang sudah Tuhan berikan fisik yang sempurna. Tapi lebih dari semuanya itu, biarlah kesaksian saya ini semata-mata hanya untuk kemuliaan nama Tuhan saja. Karena saya ada hingga saat ini, bukan karena kuat dan gagah saya, melainkan semua hanyalah karena kasih karunia Tuhan yang teramat besar, yang telah dengan setia menemani hari-hari saya dan siap sedia kapan saja untuk menolong saya.

Nama saya Rachel, lahir dan dibesarkan di kota Sukabumi. Kini usia saya 26 tahun. Saya baru ke Jakarta sejak kuliah, tidak dengan orang tua.

Nah, sekarang saya akan mulai bercerita apa adanya. Kalau bisa teman-teman siapin secangkir kopi saja dulu biar tetap segar saat membaca cerita saya yang puanjang ini, he he he..!! Oh ya, sebelumnya saya mau jelaskan dulu kalau saya mengetik kesaksian saya ini menggunakan laptop yang sudah di install sebuah program yang namanya JAWS. Dialah yang selalu setia membantu saya membaca ataupun menulis, karena setiap huruf yang saya tulis akan dia bacakan dengan lafalnya yang masih inggris, semua program di komputerpun akan dia bacakan sehingga teman-teman tunanetra seperti saya bisa mengoperasikan komputer seperti layaknya teman-teman non tunanetra lainnya.

Saya dilahirkan sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, kakak saya laki-laki dan adik saya perempuan. Saya dilahirkan sebagai bayi yang sehat tak kekurangan suatu apapun, mata saya jernih dan bersinar seperti bayi-bayi lainnya. Seturut bergulirnya waktu, sayapun bertumbuh menjadi seorang gadis kecil yang lincah, barlarian kesana-kemari, merasakan indahnya dunia bermain saya. Tetapi ketika saya hendak masuk ke kelas satu SD, kira-kira usia saya saat itu belum genap 6 tahun, saya mulai menampakkan tingkah laku yang ganjil. Saya mulai sering menabrak barang-barang kecil yang ada di depan saya, saat menonton TV-pun mata saya begitu dekat dengan layar televisi. Ibu saya mencoba mengajari saya membaca, tapi yang saya lihat hanyalah gumpalan-gumpalan hitam yang bergaris-garis. Lantas saja orang tua saya heran tak karuan. Akhirnya mereka membawa saya ke doktor mata di Sukabumi, semua ukuran kacamata mulai dari yang tipis hingga yang tebal dicobakan ke mata saya, tapi semuanya itu tak berpengaruh bagi penglihatan saya, hingga membuat doktor itu jadi ikut-ikutan bingung. Tidak putus asa, orang tua sayapun terus membawa saya berobat ke Jakarta, tujuh doktor kami datangi, tapi semua angkat tangan dengan kasus mata saya. Hingga akhirnya kami sampai pada doktor terakhir yang mengatakan kepada orang tua saya bahwa mata saya akan buta dan menyarankan agar orang tua saya segera mengirim saya ke SLBA (Sekolah Luar Biasa untuk penyandang tunanetra). Mendengar itu, orang tua sayapun menjadi shock berat, tak pernah disangkanya kalau anak kedua mereka akan menjadi seorang penyandang tunanetra. Setelah hari itu, ibu saya sering menemukan ayah sedang membenturkan kepalanya ke tembok, seakan begitu putus asa dan tak punya lagi pengharapan. Memang saat itu ayah belum mengenal Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Karena itu ibu yang sudah mengenal Tuhan Yesus sebagai sumber pengharapannya, terus mendampingi dam memberikan kekuatan kepada ayah.
Begitulah, sementara ibu terus bergumul dalam doanya untuk ayah agar mau menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya, tapi bukannya jawaban doa yang dia terima, melainkan kenyataan pahit bahwa anak keduanya buta. Memang terkadang pikiran Tuhan begitu dalam hingga tak dapat terselami, jalanNYA bukanlah jalan kita, rencanaNYA bukanlah rencana kita, tapi satu yang saya tahu dan yakini bahwa Tuhan tidak pernah merancangkan sesuatu yang buruk bagi anak-anakNYA, melainkan rancangan yang penuh damai sejahtera untuk memberikan hari depan yang penuh pengharapan (Yer 29:11).
Dan inilah jawaban Tuhan bagi doa ibu. Hingga pada suatu hari, ayah berkata kepada ibu: “Kalau memang benar Tuhan yang kamu sembah itu adalah Tuhan yang hidup, tolong nyatakan pada anak ini, saya tidak mau kalau sampai anak ini di masukan ke SLBA!”
Akhirnya ibu mendaftarkan saya ke salah satu sekolah swasta terbaik di Sukabumi. Awalnya tak mudah bagi saya untuk menyesuaikan diri di lingkungan yang baru dengan keterbatasan penglihatan yang saya miliki. Saya di tempatkan di deretan bangku paling depan, tetapi untuk membaca tulisan yang ada di papan tulis, saya harus tetap berlari ke dekat papan tulis itu dan kemudian kembali ketempat duduk saya untuk menuliskannya ke dalam buku catatan saya. Begitulah yang terus saya lakukan sampai semua tulisan yang ada di papan tulis selesai saya catat. Sementara untuk membaca tulisan yang ada di buku saya menggunakan alat bantu kaca pembesar, sehingga membaca saya menjadi lambat. Sering kali saat pulang sekolah ibu menemukan saya sedang menangis di dekat papan tulis karena belum dapat menyelesaikan catatan saya sementara teman-teman saya yang lain sudah pulang.

Banyak sekali tantangan dan hambatan yang harus saya lalui, baik dari teman-teman yang sering mengejek saya, bermainpun tak lagi selincah anak-anak lain, maupun dari sistem pengajaran yang memang tidak di khususkan bagi anak tunanetra seperti saya, jadi mau tak mau saya harus berusaha untuk menyesuaikan dengan sistem pengajaran mereka agar tidak ketinggalan pelajaran. Tak jarang nilai-nilai pelajaran saya menjadi buruk karena saat ujian saya sering tidak dapat menyelesaikannya karena lambatnya saya membaca sementara waktu yang di sediakan sangat terbatas. Sering saya merasa sedih dan malu dengan keadaan mata saya yang lain dari pada yang lain, sehingga sering saya mencoba menutupi kecacatan saya itu dengan menyembunyikan setiap kesulitan-kesulitan yang ada dihadapan saya, saya tidak mau diperlakukan berbeda dengan teman-teman, jadi saya berusaha sekuatnya agar saya tetap sama dengan kondisi mereka, jika teman saya bermain lompat tali atau benteng-bentengan, atau petak umpet, saya akan tetap ikut walupun akhirnya saya harus juga mengalah untuk hanya menjadi anak bawang. Kalau mereka disuruh membaca bergiliran oleh guru, sayapun harus membaca seperti mereka, walaupun akhirnya saya menjadi bahan tertawaan teman-teman karena baca saya sangat lambat dan sering salah-salah, sehingga sering tangan saya menjadi gemetaran dan mengeluarkan keringat dingin. Buat saya membaca adalah kegiatan yang sangat menakutkan dan melelahkan. Tapi Tuhan begitu baik, tidak pernah sedetikpun Ia meninggalkan saya. Meski berat hari-hari yang harus saya jalani tapi tangan Tuhan selalu menopang saya sehingga membuat kaki saya tetap kuat untuk berpijak dan melanjutkan langkah hidup saya bersama dengan Dia yang dengan setia menggendong saya. Tahun demi tahun saya lalui tanpa saya harus tinggal kelas. Melihat itu, ayah memutuskan untuk menerima Tuhan Yesus menjadi Tuhan dan Juru Selamat pribadinya. Itulah mujizat pertama yang keluarga saya terima.

Ketika saya harus mengikuti EBTANAS di kelas 6, tiba-tiba kepala sekolah melarang saya untuk mengikutinya, dengan alasan takut kalau-kalau NEM sekolah menjadi NEM terendah di antara sekolah-sekolah lainnya hanya gara-gara anak tunanetra yang satu ini. Tapi orang tua saya tidak mengalah begitu saja, akhirnya dengan doa dan kegigihan mereka, saya diijinkan mengikuti EBTANAS itu. Dipikiran saya saat itu yang penting lulus saja saya sudah bersyukur banget. Tapi Tuhan tidak berpikiran seperti itu, Dia tidak pernah mempermalukan anak-anakNYA. Setelah NEM keluar saya sangat tercengang, ternyata Tuhan memberikan saya NEM 42.45, sementara NEM tertinggi di sekolah saya 44._!

Sayapun masuk ke SMP menjadi seorang gadis remaja. Jarak penglihatan saya makin memburuk tetapi masih mampu berjalan sendiri tak perlu di tuntun orang lain. Proteksi saya terhadap kecacatan sayapun semakin ketat, apalagi sebagai gadis remaja saya juga ingin mendapatkan perhatian lebih dari teman lawan jenis, dan itu membuat perasaan sayapun menjadi lebih sensitif. Saya sering menangis sendirian di dalam kamar, bertanya-tanya mengapa Tuhan tega memberikan mata seperti ini kepada saya, sementara kakak dan adik saya tidak perlu mengalami keterbatasan penglihatan seperti yang saya alami. Sering saya marah pada Tuhan karena ketidakadilanNYA ini. Sering saya berpikir tentang masa depan saya, bagaimana saya bisa bekerja, apakah saya akan terus bergantung pada orang tua saya, tak mampu hidup mandiri, dan apa mungkin ada cowok yang mau menikahi seorang gadis cacat seperti saya. Pikiran-pikiran seperti itulah yang membuat saya merasa sedih dan frustasi. Tapi biasanya saya tidak mau membiarkan diri saya berlarut-larut dalam kesedihan saya, secepat saya memikirkannya secepat itu pula saya berusaha melupakannya. Saya sadar kalau bukan karena turut campur tangan Tuhan, saya tidak mungkin kuat menghadapi semuanya ini sendiri. Saya tahu ada Roh Kudus yang selalu menolong, menghibur, dan memberikan kekuatan kepada saya.

Waktu Smp, ibu saya membelikan saya sebuah kacamata berteropong yang memang dirancang untuk anak-anak tunanetra yang masih memiliki sedikit penglihatan seperti saya.(jenis tunanetra ada 2 macam, totally blind adalah tunanetra yang sudah total atau yang sama sekali sudah tidak dapat melihat apa-apa termasuk cahaya. Sementara low vision adalah tunanetra yang masih memiliki sisa panglihatan di bawah normal (saya masih termasuk yang low vision) ). Kacamata berteropong itu bisa membantu saya melihat dari jarak tertentu dan di dalamnya sudah di berikan kaca pembesar sehingga setiap objek yang di tangkap oleh lensa teropong itu bisa terlihat lebih dekat dan membesar. Saya gunakan kacamata teropong itu untuk membaca tulisan yang ada di papan tulis sehingga saya tak perlu lagi mondar-mandir dari meja ke papan tulis. Tapi kacamata itu begitu berat dan besar sahingga membuat mata saya cepat lelah dan tentu saja memaksa saya untuk menahan malu di depan teman-teman saya, apalagi di depan cowok incaran saya. Tetapi kemampuan saya membaca dengan alat itupun tidak bertahan lama, penglihatan saya terus menurun. Saya mengandalkan teman-teman saya untuk membantu membacakan setiap tulisan yang ada di papan tulis, meski terkadang ada juga teman yang menolak dengan alasan sedang malas. Kegiatan menangis sendiri di dalam kamarpun semakin padat dan intonasi nada menangisnyapun semakin bervariasi. Saya tidak mau kalau hobi saya menangis sampai diketahui orang lain apalagi orang tua saya. Jadi setiap kepedihan, ketakutan, keputusasaan, dan jeritan hati sayapun hanya saya tujukan pada Tuhan. Tapi semakin saya menjerit dalam hati, saya semakin merasakan Tuhan dekat dengan saya, semakin saya sering protes sama Tuhan, semakin hati saya merasa sangat bersalah. Tapi lewat semuanya itu, Tuhan tidak pernah marah pada saya, malah saya semakin merasakan Tuhan tambah sayang pada saya. Karenanya, saya berusaha sebisa mungkin untuk tidak lagi menyalahkan, apalagi sampai marah pada Tuhan, saya menganggap kalau sampai saya melakukan hal itu lagi berarti saya termasuk orang yang tidak tahu terimakasih.

Orang tua saya mencoba mengajak saya lagi berobat ke luar negeri, ke Singapura dan ke Belanda. Tapi tak satupun doktor atau profesor mata yang sanggup menolong saya. Mulai saat itu saya memastikan pada diri sendiri bahwa tidak ada lagi yang dapat menolong saya selain Tuhan, karena itu saya mulai belajar untuk berserah penuh pada keputusanNya.

Lulus SMP, saya mendaftarkan diri ke SMU. Tapi belum apa-apa kepala sekolah SMU sudah menolak saya dengan alasan belum pernah punya pengalaman menerima murid cacat. Tapi waktu Tuhan selalu tepat. Calon kepala sekolah baru yang akan menggantikan kepala sekolah yang menolak saya itu di tahun ajaran baru, lebih optimis terhadap saya sehingga dialah yang memperjuangkan saya di depan kepala sekolah yang lama. Akhirnya sayapun masuk ke SMU itu, belajar seperti anak-anak lainnya. Saya senang bersekolah di sana, karena selain teman-temannya yang baik-baik, mereka juga senang menolong saya. Mereka mengatakan kalau saya adalah seorang gadis yang cantik, tentu saja hal itu membuat saya menjadi lebih percaya diri, apalagi dalam hal mencari pacar seperti teman-teman perempuan yang lain. Sayapun semakin bisa menerima diri apa adanya dengan segala kecacatan yang saya miliki, saya tidak malu lagi mengatakan kalau mata saya tidak bisa melihat. Sayapun meminta ijin kepada ibu untuk belajar huruf braille, dan ibupun segera mencarikan saya seorang guru SLBA untuk mengajari saya membaca dan menulis dengan jari-jari saya. Sayapun mulai mengenal banyak teman-teman tunanetra di SLBA. Hati saya begitu senang seakan saya sudah menemukan dunia saya sendiri, ternyata banyak sekali teman-teman yang juga mengalami kecacatan seperti yang saya alami. Banyak sekali hal-hal baru yang saya terima dari mereka, bagaimana cara mereka berjalan sendiri dengan tongkat mereka, bagaimana cara mereka membersihkan rumah, memasak, dan permainan-permainan apa saja yang biasa mereka lakukan, dan masih banyak lagi hal-hal lain yang membuat saya begitu tertarik untuk mempelajarinya. Sayapun menjadi sering bermain ke SLBA itu dengan diantar dan dijemput oleh orang tua saya. Tapi pada suatu hari orang tua saya tiba-tiba melarang saya untuk bermain ke sana, mereka berkata bahwa saya berbeda dengan teman-teman di SLBA itu. Saya benar-benar merasa sedih dan seketika itu juga rasa sepi seakan kembali menyergap hati saya, seolah-olah saya telah kehilangan seorang sahabat terbaik yang sudah lama saya cari dan berhasil saya temukan tapi dengan secepat kilat juga ia kembali pergi meninggalkan saya seorang diri. ternyata orang tua saya belum juga bisa mengakui kalau anaknya adalah seorang tunanetra. Tapi itu semua proses...

Ketika saya lulus SMU dan harus pindah ke Jakarta untuk melanjutkan ke Universitas, dan saat itu kami masih kebingungan memilih universitas yang bisa menerima saya. Suatu hari ibu melihat seorang tunanetra bergelar S2 sedang diwawancarai di salah satu stasiun televisi perihal PEMILU, segera ibu menghubungi stasiun TV itu untuk menanyakan nomor telepon tunanetra tersebut, dengan cara begitu, akhirnya saya dan ibu berhasil menemui tunanetra itu yang ternyata seorang dosen honorer di salah satu Universitas Katolik di Jakarta dan juga ketua dari sebuah yayasan tunanetra di bawah Lembaga Daya Darma KAJ, bernama Laetitia (Laetitia berarti ‘Gembira’, berlokasi di Jakarta pusat).

Singkatnya, pada tahun 1999 sayapun mendaftar di Universitas Katolik AtmaJaya mengambil jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan. Selain itu, saya juga tergabung dalam keanggotaan Laetitia. Teman-teman tunanetranya lebih banyak dari pada di SLBA Sukabumi, sayapun kembali senang bukan kepalang, dan ternyata orang tua sayapun tidak lagi melarang saya untuk bermain dengan mereka, malah orang tua saya juga terlihat begitu bersimpatik dengan teman-teman tunanetra yang sangat luar biasa itu. Diam-diam orang tua saya mulai bisa menerima keadaan saya yang sebenarnya sebagai tunanetra, merekapun tidak malu lagi untuk mengatakan kepada khalayak umum bahwa anak kedua mereka adalah seorang tunanetra, tetapi malah mereka bangga dengan anak keduanya yang meski tidak melihat tapi bisa berkuliah dan bisa bersaing dengan mahasiswa lainnya yang noncacat.
Di kampus, saya belajar seperti mahasiswa lainnya, dalam ruangan yang sama dan sistem pengajaran yang sama pula, tidak ada perlakuan khusus untuk saya. Saya merekam setiap pengajaran dosen di kelas ke dalam pita kaset dengan menggunakan tape recorder, demikian juga dengan buku-buku atau catatan-catatan, tapi ada juga yang saya tulis dalam huruf braille. Hanya saat quiz atau ujian, biasanya saya di bantu oleh orang dari sekretariat kampus atau teman-teman dari pastoran kampus untuk membacakan soal-soal dan kemudian menuliskan jawaban yang saya berikan dengan lisan ke dalam lembar jawaban. Kesulitannya adalah pada saat membuat gambar atau grafik-grafik, biasanya saya menggambarkannya di telapak tangan mereka dengan jari telunjuk saya, setelah mereka paham, barulah mereka mencoba untuk menggambarkannya ke lembar jawaban. Biasanya saya mengerjakan ujian itu di ruang dosen.
Selain itu, teman-teman dari Legio Maria juga sering membantu saya merekamkan buku-buku atau diktat-diktat ke dalam pita kaset. Jadi saya bisa menyelesaikan setiap tugas-tugas kampus dengan rapi dan tepat waktu. Nilai-nilai mata kuliah sayapun cukup memuaskan. Dan pada 15 November 2003 akhirnya saya dapat meraih gelar sarjana S1 saya sebagai sarjana pendidikan (SPD).

Sementara itu saya sedang bergumul dalam doa untuk langkah selanjutnya yaitu pekerjaan, karena banyak sekali teman-teman tunanetra senior saya belum mendapat pekerjaan hanya karena kecacatan mereka. Sudah banyak perusahaan yang menolak mereka padahal gelar sarjana sudah mereka sandang. Jujur saja saya sempat merasa kuatir tentang yang satu ini. Saya hanya bisa menyerahkan semuanya ke dalam tangan Tuhan, saya yakin kalau selama ini Tuhan sudah menyertai langkah hidup saya sampai menjadi seorang sarjana, masakan sekarang saya meragukan Tuhan hanya karena melihat kenyataan yang pahit dari teman-teman tunanetra yang sulit mendapat pekerjaan.
Pada 19 desember masih di tahun 2003, saya diundang oleh sebuah perusahaan besar di Cikarang untuk membagikan kesaksian hidup saya di acara Natal mereka. Tak satupun orang saya kenal di sana, hanya yang mengundang saya saat itu seorang karyawati yang pernah mendengar kesaksian saya sebelumnya di tempat lain.
Saat saya memasuki gedung tempat di mana perayaan Natal itu diselenggarakan, saya mendengar sebuah bisikan ditelinga saya,tapi seperti juga muncul dari dalam hati saya. Bisikan itu berkata “kamu akan bekerja di sini!”. Saya sempat bingung dengan suara itu, tapi pada saat itu saya hanya berpikir bahwa suara itu datang dari hati saya sendiri yang sedang begitu mengharapkan untuk mendapatkan pekerjaan.
Sesuai susunan acara, saya seharusnya di tempatkan di acara terakhir dari acara perayaan. Tapi Tuhan punya rencana lain, karena pembicara pada saat itu terlambat datang, sehingga saya di minta untuk mengisi di awal acara. Ya sudah, jadilah saya bersaksi dan menutupnya dengan satu nyanyian. Setelah saya bersaksi, dilanjutkan dengan acara penyalaan lilin Natal, tiba-tiba owner dari perusahaan tersebut menghampiri saya dan bertanya kepada saya: “Apa kamu sudah bekerja?”
“Belum, pak!” jawab saya.
“Kamu mau kerja?” tanyanya lagi.
“Mau, pak!” kata saya cepat tanpa sedikitpun keraguan, dan inilah jawaban yang saya dengar dari owner itu
“Ya sudah, kamu bekerja dengan saya!”
Seketika itu juga, suara yang tadi saya dengar saat memasuki gedung terngiang kembali di telinga saya. begitu senangnya sampai semuanya terasa seperti mimpi, saya mengerti, ternyata suara tadi pasti dari Tuhan, Tuhan telah memberitahu saya lebih dulu sebelum owner ini memberitahu saya. Tuhan memang benar-benar baik bahkan teramat sangat baik buat saya. Saya benar-benar merasakan sebagai anak Raja. Raja telah memerintahkan owner itu untuk menerima saya bekerja di perusahaan yang besar miliknya. Selesai owner itu berbicara dengan saya, acara di lanjutkan dengan penyampaian khotbah Natal. Selesai khotbah, owner itupun pulang, tidak mengikuti acara sampai akhir. Cara Tuhan dalam menolong saya memang sungguh ajaib.

Begitulah, sekarang sudah 4 tahun saya bekerja di perusahaan Mulia keramik. Pertama sebagai resepsionis di mana pekerjaan saya selain menerima telepon, menghafalkan begitu banyak nomor extention, dan juga harus menghadapi tamu-tamu baik dari lokal maupun dari luar negeri. Hal itu membuat saya semakin berani dalam menghadapi orang banyak.
Walaupun jarak penglihatan saya semakin kabur, tapi saya masih mampu melihat bayang-bayang dan cahaya. Jadi kalau ada tamu yang datang ke depan meja saya saya masih bisa mengetahuinya, meski sering juga teman sekantor yang sedang berdiri di depan meja sayapun, saya kira tamu. Dan bulan agustus kemarin (tahun 2007), saya baru di pindahkan ke bagian recruitment. Saya bekerja dengan menggunakan laptop yang sudah di install program JAWS, seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Selain komputer, program JAWS juga dapat di gunakan pada handphone, hanya namanya saja yang beda, pada HP program bicara itu dinamakan TALK, tapi cara kerjanya sama persis.

Nah, begitulah kira-kira kisah hidup saya. Oh ya, ada yang kelupaan, tentang pacar. Waktu kelas 3 SMU, saya pernah punya pacar. Kata teman saya, wajah pacar saya itu sangat tampan, sehingga banyak teman-teman wanita yang lainpun diam-diam naksir dia. Pacar saya bilang kalau dia sangat sayang pada saya apapun keadaan saya. Tapi selang beberapa waktu, ternyata orang tuanya tidak menyetujui hubungan kami, mereka berkata kepada pacar saya itu kalau saya hanya bisa jadi beban saja. Sakit rasanya mendengar itu. Akhirnya hubungan kamipun tidak berlangsung lama. Waktu saya sudah kuliah di Jakarta, saya memutuskan untuk mengakhiri saja hubungan kami. Meski pahit, harus tetap saya jalani.
Tapi sekarang, Tuhan sudah membawa seorang calon pendamping hidup yang luar biasa. Awalnya dia adalah anggota baru Legio Maria, dan pada suatu hari minggu, teman-teman legio mau mengajak saya pergi jalan-jalan, nah, dia ada di antara mereka. Jadilah kami kenalan di depan pintu rumah saya.beberapa hari kemudian, dia menelepon saya, dan hubungan kamipun semakin dekat. Dia sangat mengasihi Tuhan dan juga sangat menyayangi saya. Dia tidak pernah menganggap kalau kecacatan saya itu sebagai beban atau sesuatu yang memalukan sehingga harus di tutup-tutupi, malah dia begitu bangga mengenalkan saya pada teman-temannya dengan mengatakan “pacar saya ini tunanetra!”. Bukan hanya itu, orang tua dan saudara-saudaranyapun sangat baik terhadap saya, mereka begitu bisa menerima saya apa adanya. Dan tahun ini kami pun akan menikah. Doain ya!

Hampir 26 tahun sudah saya mengalami begitu banyak kebaikan-kebaikan Tuhan. Meski mata saya secara fisik belum sembuh, tapi saya bersyukur karena Tuhan telah lebih dulu mencelikan mata hati saya sehingga saya dapat merasakan betapa baiknya Tuhan dan dapat melihat betapa indahnya rencana Tuhan dalam kehidupan saya dan keluarga. Kalau Tuhan mau menyembuhkan mata saya, detik inipun saya yakin Tuhan sanggup melakukannya, tapi janganlah kehendak saya yang terjadi melainkan biarlah kehendak Tuhan saja yang jadi dalam hidup saya. Yang saya inginkan sekarang adalah menggunakan hidup ini untuk menjadi kemuliaan bagi nama Tuhan.

Akhir kata, saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih karena teman-teman sudah bersedia membaca kesaksian saya yang puanjang kayak gerbong kereta api ini. Kiranya Tuhan selalu memberkati teman-teman sekalian dengan kasih-Nya yang berlimpah-limpah, Amin.






Rachel Stefanie Halim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar