Ada seorang misionaris di India , David Morse, yang bersahabat dengan seorang penyelam mutiara, Rambhau. Setiap sore di pondok Rambhau, ia membacakan firman Tuhan, dan menjelaskan kepadanya cara Tuhan membawa ke arah keselamatan.
Rambhau senang sekali mendengarkan firman Tuhan, tetapi setiap kali David berusaha untuk mengajak Rambhau menerima Kristus sebagai penebusnya, Rambhau menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Cara orang Kristen ke surga sangat mudah untukku! Aku tidak bisa menerimanya. Jika aku ingin masuk ke surga dengan cara seperti itu, aku menjadi seperti seorang pengemis yang memohon belas kasihan. Mungkin aku sombong, tapi aku ingin mendapatkan tempat di surga dengan usahaku sendiri!"
Tidak ada yang bisa David katakan untuk mempengaruhinya. Waktu berjalan dengan cepat. Suatu sore, terdengar ketukan di pintu kamarnya. Ia menemukan Rambhau di sana.
"Silahkan masuk, sahabatku" kata David.
"Tidak,"kata Rambhau. "Aku ingin mengajakmu pergi ke rumahku, tuan, tidak lama kok, aku ingin memperlihatkan sesuatu kepadamu. Tolong jangan katakan tidak."
"Tentu saja aku akan datang," jawab David. Sesampainya di rumah Rambhau, ia berkata "Beberapa minggu lagi aku akan mulai bekerja untuk mendapatkan tempatku di surga; Aku akan pergi ke New Delhi, dan aku akan ke sana dengan jalan kaki."
"Bung, apakah kamu gila! Jarak dari sini ke Delhi adalah 900 mil, dan di dalam perjalanan kakimu akan lecet, keracunan, atau mungkin kena lepra sebelum kamu sampai ke Bombay. Kamu akan menderita!"
"Tidak, aku harus pergi ke Delhi," tegas Rambhau, "dan tidak ada makhluk hidup satu pun yang bisa mencegahku pergi ke sana! Penderitaan yang mungkin aku alami nanti, adalah penderitaan yang sangat manis, karena setelah itu aku pasti mendapatkan tempat di surga!"
"Temanku, Rambhau, kamu tidak bisa. Bagaimana aku bisa mencegahmu, kamu tahu kan Yesus telah menderita dan wafat di kayu salib hanya untuk menyediakan tempat untukmu!" = Tetapi keyakinan pria tua itu tidak terpengaruh. "Kamu adalah sahabatku yang terbaik di dunia, tuan Morse. Sepanjang tahun ini, kamu telah menemani aku ketika aku sakit, bahkan kau satu-satunya sahabatku. Meski demikian, kamu tidak akan bisa mencegah hasratku untuk mendapatkan tempat abadi... Aku harus pergi ke Delhi!!!"
Di dalam pondok itu, David duduk di kursi yang dibuat Rambhau secara khusus untuknya, di mana di situlah ia membacakan firman Tuhan untuk Rambhau.
Rambhau masuk ke ruangan lainnya lalu kembali lagi sambil membawa sebuah kotak besi. "Aku telah memiliki kotak ini selama beberapa tahun" katanya, "dan aku hanya menyimpan suatu yang berharga di sini. Sekarang aku akan menceritakan kepadamu, tuan Morse. Dulu, aku memiliki seorang putra..."
"Putra?" Kenapa, Rambhau, kenapa kamu tidak pernah mengatakan sesuatu tentangnya!"
"Tidak, tuan, aku tidak bisa." ia berkata sambil menangis.
"Sekarang aku harus mengatakannya kepadamu, karena sebentar lagi aku akan pergi dan siapa tahu kalau aku tidak kembali lagi? Putraku adalah seorang penyelam juga. Ia adalah penyelam mutiara yg terbaik di India. Ia penyelam yang tangkas, memiliki mata yang tajam, tangan yang kuat, dan nafas yang panjang ketika ia berada di dalam air untuk mencari mutiara. Ia adalah kebanggaanku! Semua mutiara, seperti yang kamu ketahui, memiliki cacat di mana hanya seorang pakar yang bisa untuk melihatnya, tetapi putraku selalu bermimpi untuk menemukan 'mutiara yang sempurna' yang belum pernah ditemukan. Suatu hari ia menemukannya! Tetapi ketika ia melihatnya, ia telah berada di dalam air terlalu lama... Mutiara itu merenggut nyawanya, ia meninggal tidak lama kemudian.."
Penyelam tua itu menundukkan kepalanya. Untuk beberapa saat, seluruh tubuhnya bergetar, tetapi tidak ada suara yang keluar. "Beberapa tahun ini," ia melanjutkan, "aku telah menyimpan mutiara ini, tetapi sekarang aku akan pergi, tidak akan kembali, dan untukmu, sahabatku, aku berikan mutiaraku ini."
Orang tua itu membuka kunci kotak itu dan mengambil dari dalam dengan hati-hati sebuat bungkusan. Kemudian ia membuka kapas yang menyelimuti mutiara itu, mengambil mutiara besar dan meletakan di tangan misionaris itu.
Itu adalah mutiara yang terbesar yang pernah ditemukan di pantai India, dan bersinar dengan cemerlang dan gemilang yang belum pernah ditemukan oleh orang. Mutiara itu mungkin memiliki nilai yang sangat tinggi.
Sejenak misionari itu tidak bisa berkata apa-apa, ia terpukau kagum. "Rambhau! Mutiara ini sangat indah!"
"Mutiara itu, tuan, adalah sempurna." jawab orang India pelan. Misionari itu berpikir : Apakah ini kesempatan dan saat yang ia tunggu, untuk membuat Rambhau mengerti mengenai nilai pengorbanan Kristus? Maka ia berkata kepada Rambhau, "Rambhau, ini adalah mutiara yang luar biasa indahnya dan mengagumkan. Biarkan aku membayarnya. Aku akan membelinya seharga $10000."
"Tuan, apa maksudmu?" "Oke, aku memberikan $15000, dan jika masih kurang akan aku usahakan untuk membayarkannya."
"Tuan," jawab Rambhau dengan kaku, "Mutiara ini tak ternilai harganya. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang memiliki uang yang cukup untuk membayar mutiara yang berharga ini. Di pasaran, 1 juta dollar pun tidak bisa untuk membayarnya. Aku tidak menjualnya untukmu. Ini hadiah untukmu."
"Tidak, Rambhau, aku tidak bisa menerimanya. Meski aku sangat menginginkan mutiara ini, aku tidak bisa menerimanya dengan cara itu. Mungkin aku terlalu sombong, tetapi hal itu sangat mudah. Aku harus membayarnya, atau bekerja untuk membayarnya..."
Penyelam mutiara itu terdiam. "Kamu tidak mengerti, tuan. Tidakkah kamu mengerti, putra tunggalku memberikan hidupnya untuk mendapatkan mutiara ini, dan aku tidak akan menjualnya untuk uang sepeser pun. Mutiara ini seharga dengan nyawa putraku. Aku tidak bisa menjualnya, tetapi aku bisa memberikannya untukmu. Terimalah sebagai tanda kasihku kepadamu."
Misionari itu terkejut, untuk sesaat ia tidak bisa berkata apa-apa. Kemudian dia mengambil tangan Rambhau. "Rambhau," katanya pelan, "Kamu sadar? Kata-kata yang kamu keluarkan barusan adalah yang ingin kusampaikan mengenai Tuhan selama ini."
Penyelam itu tertegun, setelah sekian lama berpikir akhirnya ia mengerti. "Tuhan menawarkanmu keselamatan sebagai hadiah yang gratis." kata misionari itu. "Hadiah ini sangat luar biasa dan tak ternilai harganya. Tidak ada orang yang bisa membelinya. Jutaan dollarpun terlalu sedikit. Hadiah ini seharga dengan pengorbanan Tuhan dengan menyerahkan putra tunggalNya untuk menyediakan tempatmu di surga. Meski jutaan tahun, kamu tidak akan bisa masuk ke surga jika kamu tidak menerima hadiah ini. Yang harus kamu lakukan adalah menerima cinta Tuhan."
"Rambhau, tentu saja aku akan menerima mutiara ini dengan rendah hati, bersyukur kepada Tuhan bahwa aku layak untuk mendapatkannya. Rambhau, apakah kamu bersedia menerima hadiah gratis dari surga, juga dengan rendah hati?"
Air mata dengan deras menetes di pipi penyelam itu. "Tuan, aku mengerti sekarang. Aku telah percaya ajaran Yesus 2 tahun ini, tetapi aku belum bisa mempercayai bahwa pengorbananNya tidak ternilai harganya. Aku mengerti sekarang, ada beberapa hal yang tidak bisa dinilai dengan uang. Tuan, aku bersedia menerima keselamatanNya!"
1 Yohanes 4:10 "Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus anakNya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita"
Selasa, 31 Agustus 2010
Maria Diangkat Ke Surga
Berapa hari telah berlalu ? Sulit untuk memastikannya. Apabila melihat karangan-karangan bunga disekitar tubuhnya, orang akan mengatakan bahwa kematiannya baru berlalu beberapa jam saja. Akan tetapi bila melihat ranting-ranting zaitun yang bunga-bunganya masih segar, namun daun-daunnya telah mulai melayu, dan bunga-bunga lain yang menutupi dadanya mulai melayu, orang akan mengatakan bahwa kematiannya telah berlangsung beberapa hari yang lalu.
Akan tetapi tubuh Bunda Maria tetap sama seperti ketika Bunda menghembuskan nafasnya yang terakhir ; tidak ada tanda-tanda kematian yang tampak pada wajahnya ataupun pada tangannya. Tidak ada bau busuk di dalam ruangan. Sebaliknya suatu aroma wangi yang tak dapat dijelaskan, seperti harumnya bunga sedap malam, mawar, lily di dalam lembah, tumbuh-tumbuhan di pegunungan, semua bercampur menjadi satu memenuhi ruangan.
Yohanes, yang telah berjaga entah berapa hari, jatuh tertidur karena letihnya, duduk di bangku dan bahunya bersandar di tembok, dekat pintu yang terbuka menghadap ke teras. Cahaya lampu yang ada dibawah menerangi wajahnya, hingga setiap orang dapat melihat wajahnya yang letih, pucat-pasi, kecuali di sekitar matanya, yang memerah karena tangis.
Hari telah menjelang fajar saat itu, cahaya remang-remang tampak di teras dan pohon-pohon zaitun di sekeliling rumah mulai tampak, cahaya yang semakin terang dan menerabas pintu menimpa benda-benda di dalam ruangan menjadikannya semakin tampak jelas, termasuk yang sebelumnya tidak jelas dan tampak samar-samar.
Tiba-tiba cahaya yang sangat kuat sekali memenuhi ruangan, cahaya keperak-perakan dengan bayang-bayang kebiruan, hampir menyerupai fosfor; dan cahaya itu semakin terang saja dan mengalahkan cahaya fajar pagi dan lampu. Suatu cahaya yang menyerupai cahaya yang memenuhi Gua di Betlehem pada saat kelahiran Tuhan. Lalu didalam cahaya sorgawi ini, yang lebih terang dari cahaya yang terlebih dahulu ada, tampillah Malaikat-Malaikat. Seperti apa yang pernah terjadi ketika para Malaikat menampakkan diri kepada para gembala, percikan cahaya memancar dari sayap-sayapnya, berputar-putar demikian indahnya, yang mengeluarkan suara yang demikian indah, seindah suara bunyi harpa.
Para Malaikat menempatkan diri di sekeliling ranjang, membungkuk, lalu mengangkat tubuh yang tak bergerak itu, dan sambil mengepakkan sayapnya dengan anggunnya, yang menimbulkan suara indah, melebihi suara sebelumnya yang telah terdengar. Secara mengagumkan sebuah celah terbuka di atap, seperti ketika makam Yesus secara mengagumkan terbuka, dan para Malaikat itu membawa pergi Tubuh Ratu mereka, Tubuh yang amat kudus; kepakan sayap para Malaikat terdengar semakin keras dan kini suara itu menjadi sekeras suara organ. Yohanes, yang pada saat itu masih tertidur, menggeliat dua atau tiga kali di bangkunya, seolah ia terganggu oleh cahaya yang kuat dan oleh suara kepakan sayap Malaikat, segera terbangunkan oleh suara keras itu dan oleh arus angin yang keras, yang turun dari lubang pada atap dan bertiup keluar melalui pintu dengan derasnya laksana angin puting-beliung, yang menyebabkan sprei ranjang yang telah kosong itu dan pakaian Yohanes menjadi awut-awutan, lampu padam dan daun pintu terhempas menutup dengan suara menggelegar.
Yohanes melihat ke sekeliling, masih setengah tidur, setengah sadar akan apa yang telah terjadi. Ia melihat bahwa ranjang telah kosong dan bahwa atap terbuka. Ia sadar bahwa telah terjadi peristiwa yang sangat mengagumkan. Ia lari keluar ke teras, dan seolah didorong oleh naluri spiritual, atau oleh panggilan surgawi, ia menengadah ke langit, menutupi matanya dari silau matahari, agar dapat melihat. Dan ia melihat. Ia melihat Tubuh Bunda Maria, masih dalam keadaan mati, dan persis seperti orang tidur, ditatang oleh para Malaikat. Naik semakin tinggi dan semakin tinggi saja. Sebagai tanda selamat jalan, pelisir jubah dan kerudungnya tampak melambai-lambai oleh angin, mungkin karena kencangnya pengangkatan dan oleh gerak sayap para malaikat. Dan bunga-bunga yang diletakkan Yohanes disekitar Tubuh Bunda Maria, dan yang tentu saja terselip disana-sini dalam lipatan-lipatan busananya, berjatuhan di teras dan di taman Getsemani laksana hujan, sementara diiringi kidung-kidung pujian para Malaikat itu terus bergerak maju, semakin jauh dan semakin tampak samar-samar.
Yohanes tetap terpaku memandang ke arah Tubuh yang diangkat menuju Surga dan, berkat rahmat khusus yang dikaruniakan Allah sebagai imbalan atas cinta kasihnya kepada ibu angkatnya, ia dapat melihat dengan jelas Bunda Maria, yang diliputi oleh cahaya matahari yang sedang terbit, sadar dari ekstasi yang memisahkan jiwa dari raganya, menjadi hidup, berdiri tegak menikmati karunia tubuh yang telah dimuliakan.
Yohanes melihat dan terus melihat. Mukjizat yang dikaruniakan Allah kepadanya membuat ia mampu melawan segala hukum alam, melihat Bunda Maria seperti apa adanya sekarang, selagi Ia dengan cepatnya naik ke surga, tanpa perlu dibantu lagi, dikelilingi oleh para Malaikat yang menyanyikan hosanna. Dan Yohanes dikuasai oleh keindahan yang tak pernah akan dapat dilukiskan dengan pena maupun kata-kata, atau oleh seorang seniman terkemuka sekalipun, karena demikian indahnya.
Yohanes masih tetap bersandar pada tembok rendah teras, terus saja memandang cahaya yang demikian megah, dibentuk oleh Allah, naik semakin tinggi saja. Bunda Maria memang dapat demikian keadaannya karena dibentuk secara khusus oleh Allah, yang menghendaki Bunda Maria Tak Bernoda, agar Ia dapat layak menjadi tempat penjelmaan Sang Sabda. Dan cinta kasih Allah menganugerahkan kepada murid terkasihNya suatu mukjizat agar dapar menyaksikan pertemuan Ibu Yang Terberkati dengan PuteraNya Yang Maha Kudus, yang dengan megahnya dan bersinar diselimuti oleh keindahan yang tak terlukiskan, turun dengan cepatnya dari Surga menyongsong IbuNya, memeluknya dan melekatkannya pada HatiNya, dan bersama-sama, dengan terang yang melebihi cahaya dua bintang besar bersama-sama, dan akan kembali kelak bersama bila Sang Putra datang kembali.
Penampakan pada Yohanes selesailah sudah. Kepalanya tertunduk. Pada wajahnya yang memerah tampak kesedihannya karena kehilangan Bunda Maria sekaligus kebahagiaannya atas kemuliaan yang diraih Ibunya, namun kebahagiaan itu mengalahkan kesedihannya.
Katanya : "Terima kasih, ya Allahku, terima kasih. Aku telah melihat sebelumnya bahwa hal ini akan terjadi. Dan aku ingin tetap berjaga agar tidak kehilangan sedikitpun dari peristiwa pengangkatannya. Akan tetapi, telah tiga hari tiga malam aku tidak tidur. kantuk, letih bersatu dengan kesedihan menimpaku dan menyerangku tepat saat pengangkatan itu terjadi. Akan tetapi, mungkin sekali Engkau menghendaki, ya Engkau sendiri, ya Allah, agar aku tidak kacau pada saat itu dan agar aku tidak menderita terlalu banyak... ya, sungguh Engkau menghendaki agar aku menyaksikannya. Tanpa daya mukjizat dari Engkau, tidak mungkin aku dapat menyaksikannya. Engkau telah mengaruniai aku untuk menyaksikan dan melihat Ibu kembali, sekalipun sudah sangat jauh, sudah dimuliakan dan sudah mulia, seakan Ibu dekat kepadaku. Dan melihat Yesus lagi. O, alangkah bahagianya, tanpa aku perkirakan penampakan itu. Ya karunia dari segala karunia Yesus - Allah kepada muridNya Yohanes. Rahmat tertinggi untuk dapat melihat Guru dan Tuhanku lagi. MelihatNya dekat dengan IbuNya. Tuhan Yesus layaknya matahari, dan Bunda Maria bulannya, keduanya sangat indah, karena keduanya mulia dan berbahagia bersatu kembali untuk selamanya. Seperti apakah kiranya Firdaus sekarang ini setelah Engkau berdua bersinar didalamnya. Engkau Bintang-bintang Agung Yerusalem Surgawi ? Betapa indahnya paduan suara para Malaikat dan para kudus.. Betapa aku bahagia memperoleh penampakan Bunda Maria dan PutraNya, sesuatu yang menghapus segala penderitaan Yesus, segala penderitaan Yesus dan Bunda Maria, dan bahkan lebih lagi menghapus penderitaanku sendiri; damai sejahtera menggantikannya. Dari ketiga mukjizat yang kumohon kepadaMu ya Allah, dua sudah terlaksana. Aku menyaksikan Bunda Maria hidup kembali, dan kedamaian kembali kepadaku. Segala kekuatiranku berakhir, karena aku telah melihat Engkau bersatu kembali dalam kemuliaan. Terima kasih, ya Allah. Dan terima kasih atas semua itu yang memungkinkan segalanya terlaksana bagiku untuk menyaksikannya.
Dan ciptaanMu, yang paling kudus sekalipun, selagi mereka masih sebagai manusia, apakah yang akan terjadi pada mereka setelah penghakiman terakhir nanti, setelah kebangkitan badan, dan bersatu kembali dengan jiwanya, yang telah naik ke Surga saat mereka meninggal, aku tidak perlu melihatnya untuk percaya, karena aku selalu percaya sepenuh hati setiap Sabda Guruku. Namun banyak orang meragukan hal itu, setelah berabad-abad dan ribuan tahun, daging, yang menjadi debu, dapat hidup kembali. Aku dapat memberitahu mereka, bersumpah dengan penuh khidmat, bahwa bukan hanya Kristus yang hidup kembali, oleh kekuasaan ilahiNya, melainkan juga IbuNya, tiga hari setelah kematiannya - kalau kata mati itu dapat diterapkan padanya - hidup kembali, dan raga serta jiwanya bersatu kembali mengambil tempat abadi di dalam Surga, disamping Putranya. Aku dapat mengatakan : "Percayalah kaum kristiani, pada kebangkitan badan, pada zaman akhir, dan di dalam hidup kekal raga dan jiwa itu, suatu kehidupan bagi seorang kudus yang penuh berkat, dan kehidupan yang mengerikan bagi kaum pendosa yang tanpa mengenal sesal. Percayalah dan hiduplah seperti para kudus, hidup seperti Tuhan Yesus dan Bunda Maria, agar memperoleh kebahagiaan yang serupa. Aku melihat mereka naik ke Surga dengan ragaNya, aku berani menjadi saksi akan hal itu. Hiduplah sebagai orang benar, agar pada suatu hari nanti kamu dapat berada di dunia baru yang abadi, dengan raga dan jiwa, dekat dengan Yesus Sang Matahari, dekat dengan Bunda Maria, bintang segala bintang." Terima kasih sekali lagi, ya Allah. Dan sekarang biarkanlah kami untuk mengumpulkan kembali apa yang ditinggalkan oleh Bunda Maria. Bunga-bunga yang terjatuh dari busananya, ranting-ranting zaitun yang masih berserakan di ranjangnya, baiklah kami menyimpannya. Semua itu dapat menjadi ..... ya dapat menjadi kenangan dan penghibur saudara-saudaraku, yang kutunggu-tunggu dengan sia-sia. Cepat atau lambat aku akan bertemu dengan mereka ..."
Yohanes mengambil lembaran-lembaran bunga yang rontok kedalam tunika-nya dan masuk kembali ke dalam ruangan. Lalu ia mengamati lebih cermat celah yang terbuka pada atap dan berseru : "Mukjizat lagi. Suatu mukjizat indah dari kehidupan Tuhan Yesus dan Bunda Maria. Dia, Allah, yang telah bangkit atas kuasaNya sendiri, dan atas kehendak sendiri menggulingkan batu penutup makam, dan hanya oleh kekuasaanNya Ia naik ke Surga. Oleh Yesus sendirilah, Bunda Maria, ibu yang amat suci, putri manusia, dengan bantuan para Malaikat pula ia naik ke Surga, dan dengan ditatang oleh para Malaikat pula ia naik kesana. Dalam hal Kristus, rohNya kembali bersatu dengan TubuhNya ketika Ia masih ada di dalam kubur, karena memang harus demikianlah terjadinya, untuk membungkam musuh-musuhNya dan untuk menguatkan iman pengikut-pengikutNya. Dalam hal Bunda Maria, rohnya datang kembali ketika tubuhnya yang suci telah sampai di kawasan Firdaus, karena memang tidak ada maksud lain baginya. Kekuasaan sempurna dari Kebijaksanaan Allah yang tak mengenal batas ..."
Kini Yohanes mengumpulkan bunga-bunga dan ranting-ranting yang masih ada di ranjang ke dalam kain, dijadikan satu dengan yang ia kumpulkan di luar. Ia membuka selimut yang ada disitu, meletakkan bunga-bunga dan ranting-ranting, bantal kecil Maria dan sepreinya. Lalu ia pergi ke dapur, mengumpulkan alat-alat yang biasa digunakannya - pengantih dan sekocinya, dan alat-alat dapur - dijadikan satu dengan barang-barang lainnya.
Yohanes menutupi dadanya dan duduk di bangku sambil berseru : "Sekarang segala sesuatunya telah terlaksana, juga bagiku. Sekarang aku dapat pergi dengan bebas kemana Roh Allah akan membimbingku. Aku dapat pergi, dan menabur Sabda Ilahi, yang diberikan Guruku kepadaku, agar dapat kuteruskan kepada orang-orang lain dan mengajarkan cinta kasih. Dan mengajar mereka sedemikian rupa sehingga mereka percaya kepada cinta kasih dan kuasa cinta kasih itu. Biarlah manusia mengetahui bahwa cinta kasih Allah lah yang berbuat itu semua bagi manusia. PengurbananNya dan Sakramen serta ibadat yang abadi, yang menjadi sarana sampai akhir zaman, harus membuat kita mampu untuk disatukan dengan Yesus Kristus didalam Ekaristi dan membaharui ibadat dan pengurbanan seperti yang diperintahkan olehNya. Semua itu adalah karunia cinta kasih yang sempurna. Kita jadikan mereka pecinta Cinta Kasih agar mereka percaya kepadaNya, seperti kami pun percaya sejak dulu dan seterusnya. Taburlah Cinta Kasih sedemikian rupa agar panenan dan hasilnya berlimpah bagi Allah. Cinta kasih menghasilkan segala sesuatu. Bunda Maria mengajariku dalam percakapan terakhirnya dengan aku, yang ia rumuskan secara tepat berlaku bagi kelompok murid-murid : seorang pecinta mencintai lebih dari yang lain, antitesis Iskariot, si pembenci, seperti watak Petrus, yang meledak-ledak, dan sopan-santun Andreas, kesucian dan kebijaksanaan anak-anak Alpheus disertai tingkah laku yang anggun, dsb. Aku, murid yang mencintai, dan sekarang tidak lagi memiliki Guru dan Ibu untuk dicintai di dunia, akan pergi dan menyebarkan cinta kasih kepada bangsa-bangsa. Cinta kasih merupakan senjataku dan ajaranku. Dan dengan sarana ini aku akan mengalahkan setan, kebencian dan memenangkan banyak jiwa. Dengan demikian aku meneruskan cinta kasih sempurna Yesus dan Maria di dunia ini."
Akan tetapi tubuh Bunda Maria tetap sama seperti ketika Bunda menghembuskan nafasnya yang terakhir ; tidak ada tanda-tanda kematian yang tampak pada wajahnya ataupun pada tangannya. Tidak ada bau busuk di dalam ruangan. Sebaliknya suatu aroma wangi yang tak dapat dijelaskan, seperti harumnya bunga sedap malam, mawar, lily di dalam lembah, tumbuh-tumbuhan di pegunungan, semua bercampur menjadi satu memenuhi ruangan.
Yohanes, yang telah berjaga entah berapa hari, jatuh tertidur karena letihnya, duduk di bangku dan bahunya bersandar di tembok, dekat pintu yang terbuka menghadap ke teras. Cahaya lampu yang ada dibawah menerangi wajahnya, hingga setiap orang dapat melihat wajahnya yang letih, pucat-pasi, kecuali di sekitar matanya, yang memerah karena tangis.
Hari telah menjelang fajar saat itu, cahaya remang-remang tampak di teras dan pohon-pohon zaitun di sekeliling rumah mulai tampak, cahaya yang semakin terang dan menerabas pintu menimpa benda-benda di dalam ruangan menjadikannya semakin tampak jelas, termasuk yang sebelumnya tidak jelas dan tampak samar-samar.
Tiba-tiba cahaya yang sangat kuat sekali memenuhi ruangan, cahaya keperak-perakan dengan bayang-bayang kebiruan, hampir menyerupai fosfor; dan cahaya itu semakin terang saja dan mengalahkan cahaya fajar pagi dan lampu. Suatu cahaya yang menyerupai cahaya yang memenuhi Gua di Betlehem pada saat kelahiran Tuhan. Lalu didalam cahaya sorgawi ini, yang lebih terang dari cahaya yang terlebih dahulu ada, tampillah Malaikat-Malaikat. Seperti apa yang pernah terjadi ketika para Malaikat menampakkan diri kepada para gembala, percikan cahaya memancar dari sayap-sayapnya, berputar-putar demikian indahnya, yang mengeluarkan suara yang demikian indah, seindah suara bunyi harpa.
Para Malaikat menempatkan diri di sekeliling ranjang, membungkuk, lalu mengangkat tubuh yang tak bergerak itu, dan sambil mengepakkan sayapnya dengan anggunnya, yang menimbulkan suara indah, melebihi suara sebelumnya yang telah terdengar. Secara mengagumkan sebuah celah terbuka di atap, seperti ketika makam Yesus secara mengagumkan terbuka, dan para Malaikat itu membawa pergi Tubuh Ratu mereka, Tubuh yang amat kudus; kepakan sayap para Malaikat terdengar semakin keras dan kini suara itu menjadi sekeras suara organ. Yohanes, yang pada saat itu masih tertidur, menggeliat dua atau tiga kali di bangkunya, seolah ia terganggu oleh cahaya yang kuat dan oleh suara kepakan sayap Malaikat, segera terbangunkan oleh suara keras itu dan oleh arus angin yang keras, yang turun dari lubang pada atap dan bertiup keluar melalui pintu dengan derasnya laksana angin puting-beliung, yang menyebabkan sprei ranjang yang telah kosong itu dan pakaian Yohanes menjadi awut-awutan, lampu padam dan daun pintu terhempas menutup dengan suara menggelegar.
Yohanes melihat ke sekeliling, masih setengah tidur, setengah sadar akan apa yang telah terjadi. Ia melihat bahwa ranjang telah kosong dan bahwa atap terbuka. Ia sadar bahwa telah terjadi peristiwa yang sangat mengagumkan. Ia lari keluar ke teras, dan seolah didorong oleh naluri spiritual, atau oleh panggilan surgawi, ia menengadah ke langit, menutupi matanya dari silau matahari, agar dapat melihat. Dan ia melihat. Ia melihat Tubuh Bunda Maria, masih dalam keadaan mati, dan persis seperti orang tidur, ditatang oleh para Malaikat. Naik semakin tinggi dan semakin tinggi saja. Sebagai tanda selamat jalan, pelisir jubah dan kerudungnya tampak melambai-lambai oleh angin, mungkin karena kencangnya pengangkatan dan oleh gerak sayap para malaikat. Dan bunga-bunga yang diletakkan Yohanes disekitar Tubuh Bunda Maria, dan yang tentu saja terselip disana-sini dalam lipatan-lipatan busananya, berjatuhan di teras dan di taman Getsemani laksana hujan, sementara diiringi kidung-kidung pujian para Malaikat itu terus bergerak maju, semakin jauh dan semakin tampak samar-samar.
Yohanes tetap terpaku memandang ke arah Tubuh yang diangkat menuju Surga dan, berkat rahmat khusus yang dikaruniakan Allah sebagai imbalan atas cinta kasihnya kepada ibu angkatnya, ia dapat melihat dengan jelas Bunda Maria, yang diliputi oleh cahaya matahari yang sedang terbit, sadar dari ekstasi yang memisahkan jiwa dari raganya, menjadi hidup, berdiri tegak menikmati karunia tubuh yang telah dimuliakan.
Yohanes melihat dan terus melihat. Mukjizat yang dikaruniakan Allah kepadanya membuat ia mampu melawan segala hukum alam, melihat Bunda Maria seperti apa adanya sekarang, selagi Ia dengan cepatnya naik ke surga, tanpa perlu dibantu lagi, dikelilingi oleh para Malaikat yang menyanyikan hosanna. Dan Yohanes dikuasai oleh keindahan yang tak pernah akan dapat dilukiskan dengan pena maupun kata-kata, atau oleh seorang seniman terkemuka sekalipun, karena demikian indahnya.
Yohanes masih tetap bersandar pada tembok rendah teras, terus saja memandang cahaya yang demikian megah, dibentuk oleh Allah, naik semakin tinggi saja. Bunda Maria memang dapat demikian keadaannya karena dibentuk secara khusus oleh Allah, yang menghendaki Bunda Maria Tak Bernoda, agar Ia dapat layak menjadi tempat penjelmaan Sang Sabda. Dan cinta kasih Allah menganugerahkan kepada murid terkasihNya suatu mukjizat agar dapar menyaksikan pertemuan Ibu Yang Terberkati dengan PuteraNya Yang Maha Kudus, yang dengan megahnya dan bersinar diselimuti oleh keindahan yang tak terlukiskan, turun dengan cepatnya dari Surga menyongsong IbuNya, memeluknya dan melekatkannya pada HatiNya, dan bersama-sama, dengan terang yang melebihi cahaya dua bintang besar bersama-sama, dan akan kembali kelak bersama bila Sang Putra datang kembali.
Penampakan pada Yohanes selesailah sudah. Kepalanya tertunduk. Pada wajahnya yang memerah tampak kesedihannya karena kehilangan Bunda Maria sekaligus kebahagiaannya atas kemuliaan yang diraih Ibunya, namun kebahagiaan itu mengalahkan kesedihannya.
Katanya : "Terima kasih, ya Allahku, terima kasih. Aku telah melihat sebelumnya bahwa hal ini akan terjadi. Dan aku ingin tetap berjaga agar tidak kehilangan sedikitpun dari peristiwa pengangkatannya. Akan tetapi, telah tiga hari tiga malam aku tidak tidur. kantuk, letih bersatu dengan kesedihan menimpaku dan menyerangku tepat saat pengangkatan itu terjadi. Akan tetapi, mungkin sekali Engkau menghendaki, ya Engkau sendiri, ya Allah, agar aku tidak kacau pada saat itu dan agar aku tidak menderita terlalu banyak... ya, sungguh Engkau menghendaki agar aku menyaksikannya. Tanpa daya mukjizat dari Engkau, tidak mungkin aku dapat menyaksikannya. Engkau telah mengaruniai aku untuk menyaksikan dan melihat Ibu kembali, sekalipun sudah sangat jauh, sudah dimuliakan dan sudah mulia, seakan Ibu dekat kepadaku. Dan melihat Yesus lagi. O, alangkah bahagianya, tanpa aku perkirakan penampakan itu. Ya karunia dari segala karunia Yesus - Allah kepada muridNya Yohanes. Rahmat tertinggi untuk dapat melihat Guru dan Tuhanku lagi. MelihatNya dekat dengan IbuNya. Tuhan Yesus layaknya matahari, dan Bunda Maria bulannya, keduanya sangat indah, karena keduanya mulia dan berbahagia bersatu kembali untuk selamanya. Seperti apakah kiranya Firdaus sekarang ini setelah Engkau berdua bersinar didalamnya. Engkau Bintang-bintang Agung Yerusalem Surgawi ? Betapa indahnya paduan suara para Malaikat dan para kudus.. Betapa aku bahagia memperoleh penampakan Bunda Maria dan PutraNya, sesuatu yang menghapus segala penderitaan Yesus, segala penderitaan Yesus dan Bunda Maria, dan bahkan lebih lagi menghapus penderitaanku sendiri; damai sejahtera menggantikannya. Dari ketiga mukjizat yang kumohon kepadaMu ya Allah, dua sudah terlaksana. Aku menyaksikan Bunda Maria hidup kembali, dan kedamaian kembali kepadaku. Segala kekuatiranku berakhir, karena aku telah melihat Engkau bersatu kembali dalam kemuliaan. Terima kasih, ya Allah. Dan terima kasih atas semua itu yang memungkinkan segalanya terlaksana bagiku untuk menyaksikannya.
Dan ciptaanMu, yang paling kudus sekalipun, selagi mereka masih sebagai manusia, apakah yang akan terjadi pada mereka setelah penghakiman terakhir nanti, setelah kebangkitan badan, dan bersatu kembali dengan jiwanya, yang telah naik ke Surga saat mereka meninggal, aku tidak perlu melihatnya untuk percaya, karena aku selalu percaya sepenuh hati setiap Sabda Guruku. Namun banyak orang meragukan hal itu, setelah berabad-abad dan ribuan tahun, daging, yang menjadi debu, dapat hidup kembali. Aku dapat memberitahu mereka, bersumpah dengan penuh khidmat, bahwa bukan hanya Kristus yang hidup kembali, oleh kekuasaan ilahiNya, melainkan juga IbuNya, tiga hari setelah kematiannya - kalau kata mati itu dapat diterapkan padanya - hidup kembali, dan raga serta jiwanya bersatu kembali mengambil tempat abadi di dalam Surga, disamping Putranya. Aku dapat mengatakan : "Percayalah kaum kristiani, pada kebangkitan badan, pada zaman akhir, dan di dalam hidup kekal raga dan jiwa itu, suatu kehidupan bagi seorang kudus yang penuh berkat, dan kehidupan yang mengerikan bagi kaum pendosa yang tanpa mengenal sesal. Percayalah dan hiduplah seperti para kudus, hidup seperti Tuhan Yesus dan Bunda Maria, agar memperoleh kebahagiaan yang serupa. Aku melihat mereka naik ke Surga dengan ragaNya, aku berani menjadi saksi akan hal itu. Hiduplah sebagai orang benar, agar pada suatu hari nanti kamu dapat berada di dunia baru yang abadi, dengan raga dan jiwa, dekat dengan Yesus Sang Matahari, dekat dengan Bunda Maria, bintang segala bintang." Terima kasih sekali lagi, ya Allah. Dan sekarang biarkanlah kami untuk mengumpulkan kembali apa yang ditinggalkan oleh Bunda Maria. Bunga-bunga yang terjatuh dari busananya, ranting-ranting zaitun yang masih berserakan di ranjangnya, baiklah kami menyimpannya. Semua itu dapat menjadi ..... ya dapat menjadi kenangan dan penghibur saudara-saudaraku, yang kutunggu-tunggu dengan sia-sia. Cepat atau lambat aku akan bertemu dengan mereka ..."
Yohanes mengambil lembaran-lembaran bunga yang rontok kedalam tunika-nya dan masuk kembali ke dalam ruangan. Lalu ia mengamati lebih cermat celah yang terbuka pada atap dan berseru : "Mukjizat lagi. Suatu mukjizat indah dari kehidupan Tuhan Yesus dan Bunda Maria. Dia, Allah, yang telah bangkit atas kuasaNya sendiri, dan atas kehendak sendiri menggulingkan batu penutup makam, dan hanya oleh kekuasaanNya Ia naik ke Surga. Oleh Yesus sendirilah, Bunda Maria, ibu yang amat suci, putri manusia, dengan bantuan para Malaikat pula ia naik ke Surga, dan dengan ditatang oleh para Malaikat pula ia naik kesana. Dalam hal Kristus, rohNya kembali bersatu dengan TubuhNya ketika Ia masih ada di dalam kubur, karena memang harus demikianlah terjadinya, untuk membungkam musuh-musuhNya dan untuk menguatkan iman pengikut-pengikutNya. Dalam hal Bunda Maria, rohnya datang kembali ketika tubuhnya yang suci telah sampai di kawasan Firdaus, karena memang tidak ada maksud lain baginya. Kekuasaan sempurna dari Kebijaksanaan Allah yang tak mengenal batas ..."
Kini Yohanes mengumpulkan bunga-bunga dan ranting-ranting yang masih ada di ranjang ke dalam kain, dijadikan satu dengan yang ia kumpulkan di luar. Ia membuka selimut yang ada disitu, meletakkan bunga-bunga dan ranting-ranting, bantal kecil Maria dan sepreinya. Lalu ia pergi ke dapur, mengumpulkan alat-alat yang biasa digunakannya - pengantih dan sekocinya, dan alat-alat dapur - dijadikan satu dengan barang-barang lainnya.
Yohanes menutupi dadanya dan duduk di bangku sambil berseru : "Sekarang segala sesuatunya telah terlaksana, juga bagiku. Sekarang aku dapat pergi dengan bebas kemana Roh Allah akan membimbingku. Aku dapat pergi, dan menabur Sabda Ilahi, yang diberikan Guruku kepadaku, agar dapat kuteruskan kepada orang-orang lain dan mengajarkan cinta kasih. Dan mengajar mereka sedemikian rupa sehingga mereka percaya kepada cinta kasih dan kuasa cinta kasih itu. Biarlah manusia mengetahui bahwa cinta kasih Allah lah yang berbuat itu semua bagi manusia. PengurbananNya dan Sakramen serta ibadat yang abadi, yang menjadi sarana sampai akhir zaman, harus membuat kita mampu untuk disatukan dengan Yesus Kristus didalam Ekaristi dan membaharui ibadat dan pengurbanan seperti yang diperintahkan olehNya. Semua itu adalah karunia cinta kasih yang sempurna. Kita jadikan mereka pecinta Cinta Kasih agar mereka percaya kepadaNya, seperti kami pun percaya sejak dulu dan seterusnya. Taburlah Cinta Kasih sedemikian rupa agar panenan dan hasilnya berlimpah bagi Allah. Cinta kasih menghasilkan segala sesuatu. Bunda Maria mengajariku dalam percakapan terakhirnya dengan aku, yang ia rumuskan secara tepat berlaku bagi kelompok murid-murid : seorang pecinta mencintai lebih dari yang lain, antitesis Iskariot, si pembenci, seperti watak Petrus, yang meledak-ledak, dan sopan-santun Andreas, kesucian dan kebijaksanaan anak-anak Alpheus disertai tingkah laku yang anggun, dsb. Aku, murid yang mencintai, dan sekarang tidak lagi memiliki Guru dan Ibu untuk dicintai di dunia, akan pergi dan menyebarkan cinta kasih kepada bangsa-bangsa. Cinta kasih merupakan senjataku dan ajaranku. Dan dengan sarana ini aku akan mengalahkan setan, kebencian dan memenangkan banyak jiwa. Dengan demikian aku meneruskan cinta kasih sempurna Yesus dan Maria di dunia ini."
Kisah Terciptanya Sajak FootPrints
Tahukah anda cerita di balik terciptanya sajak ‘FOOTPRINTS’ (Telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul : Jejak – Jejak kaki).
Sajak tersebut telah menyentuh hati jutaan orang di seluruh dunia. Namun tidak banyak orang mengetahui siapa pengarang sajak itu. Juga tidak banyak orang tahu apa latar belakang lahirnya sajak itu. Lebih-lebih lagi tidak banyak orang tahu bahwa sajak yang berjudul ‘Jejak’ (aslinya : ‘Footprints’) sebenarnya adalah buah pena masa berpacaran di suatu senja di tepi danau.
Pengarang sajak itu adalah Margaret Fishback, seorang guru sekolah dasar Kristen untuk anak-anak Indian di Kanada. Margaret sangat pendek dan kecil untuk ukuran orang Kanada. Tinggi badannya hanya 147 cm. Tubuhnya ramping dan wajahnya halus seperti anak kecil. Karena itu walaupun ia sudah dewasa dan sudah menjadi ibu guru ia sering diberi karcis untuk anak-anak kalau berdiri di depan loket atau kalau naik bis.
Margaret dibesarkan dalam keluarga yang bersuasana hangat dan penuh kasih. Namun ada beberapa peristiwa yang terasa pahit dalam kenangan masa kecilnya. Yang pertama adalah pengalamannya ketika ia menjadi murid kelas satu sekolah dasar. Ia mempunyai kenangan buruk tentang gurunya. Margaret berlogat Jerman karena ayahnya berasal dari Jerman. Lalu tiap kali Margaret melafalkan sebuah kata Bahasa Inggris dengan logat Jerman jari-jari tangannya langsung dipukul oleh gurunya dengan sebuah tongkat kayu. Tiap hari jari-jari tangan Margaret memar kemerah-merahan.’Jangan bicara dengan logat Jerman. Pakai logat yang betul, kalau tidak ... !’ Itulah ancaman dan amarah yang didengar Margaret setiap hari. Dan ia sungguh takut. ‘Tiap hari aku berangkat ke sekolah dihantui oleh rasa takut. Aku heran mengapa aku dimarahi. Apa salahku ? Apa salahnya orang berbicara dengan logat Jerman ? Baru kemudian hari aku tahu bahwa pada waktu itu sedang berlangsung Perang Dunia II, sehingga orang Jerman dibenci di Amerika dan Kanada,’ ucap Margaret mengenang masa kecilnya.
Kenangan pahit lain yang diingat Margaret adalah tentang dua teman perempuannya di kelasnya. ‘Aku akrab dengan semua teman dan mereka senang bermain dengan aku, kecuali dua orang teman perempuan yang kebetulan berbadan besar. Kedua teman itu sering menjahati aku. Untung ada seorang teman laki-laki yang selalu melindungi aku. Namun pada suatu hari teman laki-laki itu tidak masuk ke sekolah. Lalu kedua teman perempuan yang berbadan besar itu menjatuhkan aku dan duduk di atas perutku sambil menggelitiki aku. Aku kehabisan nafas. Untung tiba-tiba ada orang yang lewat sehingga aku dilepas. Langsung aku lari ketakutan sampai aku jatuh dan pingsan. Selama beberapa hari aku terbaring sakit. Tetapi yang lebih parah lagi, selama beberapa bulan aku ketakutan,’ kenang Margaret.
Juga tentang masa dewasanya Margaret mempunyai pengalaman yang menakutkan. Pada suatu siang yang bercuaca buruk, ketika ia sedang mengajar di kelas, tiba-tiba jendela terbuka dan petir menyambar sekujur tubuh Margaret. Ia jatuh terpental di lantai. Setelah dirawat di rumah sakit, ia tetap mengidap penyakit yang tidak tersembuhkan. Urat syarafnya terganggu sehingga ia sering bergetar. Bukan mustahil semua pengalaman buruk itu turut mewarnai lahirnya sajak ‘Jejak’ ini, yang dikarang oleh Margaret ketika ia sudah mempunyai tunangan yang bernama Paul. Hari itu Margaret dan Paul berangkat menuju suatu tempat perkemahan di utara Toronto untuk memimpin retret. Di tengah perjalanan, mereka melewati danau Echo yang indah. ‘Mari kita jalan di pantai,’ usul Margaret. Dengan semangat mereka melepaskan sepatu lalu berjalan bergandengan tangan di pantai pasir.
Ketika mereka kembali dan berjalan ke arah mobil mereka, dengan jelas mereka mengenali dua pasang jejak kaki mereka di pasir pantai. Namun di tempat-tempat tertentu gelombang air telah menghapus satu pasang jejak itu. ‘Hai Paul, lihat, jejak kakiku hilang,’ seru Margaret. ‘Itukah mungkin yang akan terjadi dalam impian pernikahan kita? Semua cita-cita kita mungkin akan lenyap disapu gelombang air,’ lirih Margaret. ‘Jangan berpikir begitu,’ protes Paul. ‘Aku malah melihat lambang yang indah. Setelah kita menikah, yang semula dua akan menjadi satu. Lihat itu, di situ jejak kaki kita masih ada lengkap dua pasang.’ Mereka berjalan terus. ‘Paul, lihat, di sini jejakku hilang lagi.’ Paul menatap Margaret dengan tajam, ‘Margie jalan hidup kita dipelihara Tuhan.
Pada saat yang susah, ketika kita sendiri tidak bisa berjalan, nanti Tuhan akan mengangkat kita. Seperti begini...’ Lalu Paul mengangkat tubuh Margaret yang kecil dan ringan itu dan memutar-mutarnya. Malam itu setibanya mereka di tempat retret, Margaret yang adalah pengarang kawakan menggoreskan pena dan menuangkan ilham pengalamannya tadi di pantai. Kalimat demi kalimat mengalir. Dicoretnya sebuah kalimat, diubahnya kalimat yang lain. Ia berpikir, menulis, termenung, mencoret, menulis lagi, termenung lagi, mencoret lagi.......Seolah-olah bermimpi, dalam imajinasinya ia merasa berjalan bersama dengan Tuhan Yesus di tepi pantai. Ketika berjalan kembali ia melihat dua pasang jejak kaki, satu pasang jejaknya sendiri dan satu pasang jejak Tuhan. Tetapi... dan seterusnya. Margaret melihat lonceng. Pukul 3 pagi ! Cepat-cepat diselesaikannya tulisannya, lalu ia tidur. Keesokan harinya, begitu bangun, ia langsung membaca ulang tulisannya. Ah, belum ada judulnya. Margaret berpikir sejenak lalu membubuhkan judul ‘Aku Bermimpi’. Ia mengubah beberapa kata dan kalimat. Dan lahirlah sajak yang sekarang kita kenal dengan judul ‘Jejak’. Pada hari itu juga dalam kebaktian, sajak itu dibacakan Paul. Paul berkata, ‘... ada saat di mana kita merasa seolah-olah Tuhan meninggalkan kita. Musibah menimpa kita dan jalan hidup kita begitu sulit. Kita bertanya mengapa Tuhan tidak menolong kita. Sebenarnya Tuhan sedang menolong kita. Tuhan sedang mengangkat kita.’ Lalu Paul membacakan sajak karya Margaret :
One night I dreamed a dream.
I was walking along the beach with my Lord.
Across the dark sky flashed scenes from my life.
For each scene, I noticed two sets of footprints in the sand,
One belong to me and one to my Lord.
When the last scene of my life shot before me,
I looked back at the footprints in the sand.
There was only one set of footprints.
I realized that this was the lowest and the saddest times of my life.
This always bothered me and I questioned the Lord about my dilemma.
‘Lord, You told me when I decided to follow,
You would walk and talk with me all the way.
But I'm aware that during the most troublesome times of my life,
There is only one set of footprints.
I just don't understand why, when I need You most, You leave me.’
He whispered, ‘My precious child, I love you and will never leave you never, ever, during your trials and testings.
When you saw only one set of footprints,
It was then that I carried you.’
Seluruh peserta retret duduk terpaku mendengarnya. Mereka termenung menyimak kedalaman arti yang terkandung sajak itu. Sekarangpun tiap orang termenung setiap kali membaca sajak itu. Sajak itu mengajak kita menelusuri perjalanan hidup kita. Dalam perjalanan itu telapak kaki kita dan telapak kaki Tuhan Yesus membekas bersebelahan. Tetapi pada saat-saat dimana musibah menimpa dan perjalanan menjadi sulit serta berbahaya, ternyata yang tampak hanya telapak kaki Tuhan. Telapak kali kita tidak tampak, padahal telapak kaki Tuhan membekas dengan jelas. Mana telapak kaki kita ? Telapak kaki kita tidak ada, sebab pada saat-saat seperti itu kita sedang diangkat dan digendong Tuhan.
Sajak tersebut telah menyentuh hati jutaan orang di seluruh dunia. Namun tidak banyak orang mengetahui siapa pengarang sajak itu. Juga tidak banyak orang tahu apa latar belakang lahirnya sajak itu. Lebih-lebih lagi tidak banyak orang tahu bahwa sajak yang berjudul ‘Jejak’ (aslinya : ‘Footprints’) sebenarnya adalah buah pena masa berpacaran di suatu senja di tepi danau.
Pengarang sajak itu adalah Margaret Fishback, seorang guru sekolah dasar Kristen untuk anak-anak Indian di Kanada. Margaret sangat pendek dan kecil untuk ukuran orang Kanada. Tinggi badannya hanya 147 cm. Tubuhnya ramping dan wajahnya halus seperti anak kecil. Karena itu walaupun ia sudah dewasa dan sudah menjadi ibu guru ia sering diberi karcis untuk anak-anak kalau berdiri di depan loket atau kalau naik bis.
Margaret dibesarkan dalam keluarga yang bersuasana hangat dan penuh kasih. Namun ada beberapa peristiwa yang terasa pahit dalam kenangan masa kecilnya. Yang pertama adalah pengalamannya ketika ia menjadi murid kelas satu sekolah dasar. Ia mempunyai kenangan buruk tentang gurunya. Margaret berlogat Jerman karena ayahnya berasal dari Jerman. Lalu tiap kali Margaret melafalkan sebuah kata Bahasa Inggris dengan logat Jerman jari-jari tangannya langsung dipukul oleh gurunya dengan sebuah tongkat kayu. Tiap hari jari-jari tangan Margaret memar kemerah-merahan.’Jangan bicara dengan logat Jerman. Pakai logat yang betul, kalau tidak ... !’ Itulah ancaman dan amarah yang didengar Margaret setiap hari. Dan ia sungguh takut. ‘Tiap hari aku berangkat ke sekolah dihantui oleh rasa takut. Aku heran mengapa aku dimarahi. Apa salahku ? Apa salahnya orang berbicara dengan logat Jerman ? Baru kemudian hari aku tahu bahwa pada waktu itu sedang berlangsung Perang Dunia II, sehingga orang Jerman dibenci di Amerika dan Kanada,’ ucap Margaret mengenang masa kecilnya.
Kenangan pahit lain yang diingat Margaret adalah tentang dua teman perempuannya di kelasnya. ‘Aku akrab dengan semua teman dan mereka senang bermain dengan aku, kecuali dua orang teman perempuan yang kebetulan berbadan besar. Kedua teman itu sering menjahati aku. Untung ada seorang teman laki-laki yang selalu melindungi aku. Namun pada suatu hari teman laki-laki itu tidak masuk ke sekolah. Lalu kedua teman perempuan yang berbadan besar itu menjatuhkan aku dan duduk di atas perutku sambil menggelitiki aku. Aku kehabisan nafas. Untung tiba-tiba ada orang yang lewat sehingga aku dilepas. Langsung aku lari ketakutan sampai aku jatuh dan pingsan. Selama beberapa hari aku terbaring sakit. Tetapi yang lebih parah lagi, selama beberapa bulan aku ketakutan,’ kenang Margaret.
Juga tentang masa dewasanya Margaret mempunyai pengalaman yang menakutkan. Pada suatu siang yang bercuaca buruk, ketika ia sedang mengajar di kelas, tiba-tiba jendela terbuka dan petir menyambar sekujur tubuh Margaret. Ia jatuh terpental di lantai. Setelah dirawat di rumah sakit, ia tetap mengidap penyakit yang tidak tersembuhkan. Urat syarafnya terganggu sehingga ia sering bergetar. Bukan mustahil semua pengalaman buruk itu turut mewarnai lahirnya sajak ‘Jejak’ ini, yang dikarang oleh Margaret ketika ia sudah mempunyai tunangan yang bernama Paul. Hari itu Margaret dan Paul berangkat menuju suatu tempat perkemahan di utara Toronto untuk memimpin retret. Di tengah perjalanan, mereka melewati danau Echo yang indah. ‘Mari kita jalan di pantai,’ usul Margaret. Dengan semangat mereka melepaskan sepatu lalu berjalan bergandengan tangan di pantai pasir.
Ketika mereka kembali dan berjalan ke arah mobil mereka, dengan jelas mereka mengenali dua pasang jejak kaki mereka di pasir pantai. Namun di tempat-tempat tertentu gelombang air telah menghapus satu pasang jejak itu. ‘Hai Paul, lihat, jejak kakiku hilang,’ seru Margaret. ‘Itukah mungkin yang akan terjadi dalam impian pernikahan kita? Semua cita-cita kita mungkin akan lenyap disapu gelombang air,’ lirih Margaret. ‘Jangan berpikir begitu,’ protes Paul. ‘Aku malah melihat lambang yang indah. Setelah kita menikah, yang semula dua akan menjadi satu. Lihat itu, di situ jejak kaki kita masih ada lengkap dua pasang.’ Mereka berjalan terus. ‘Paul, lihat, di sini jejakku hilang lagi.’ Paul menatap Margaret dengan tajam, ‘Margie jalan hidup kita dipelihara Tuhan.
Pada saat yang susah, ketika kita sendiri tidak bisa berjalan, nanti Tuhan akan mengangkat kita. Seperti begini...’ Lalu Paul mengangkat tubuh Margaret yang kecil dan ringan itu dan memutar-mutarnya. Malam itu setibanya mereka di tempat retret, Margaret yang adalah pengarang kawakan menggoreskan pena dan menuangkan ilham pengalamannya tadi di pantai. Kalimat demi kalimat mengalir. Dicoretnya sebuah kalimat, diubahnya kalimat yang lain. Ia berpikir, menulis, termenung, mencoret, menulis lagi, termenung lagi, mencoret lagi.......Seolah-olah bermimpi, dalam imajinasinya ia merasa berjalan bersama dengan Tuhan Yesus di tepi pantai. Ketika berjalan kembali ia melihat dua pasang jejak kaki, satu pasang jejaknya sendiri dan satu pasang jejak Tuhan. Tetapi... dan seterusnya. Margaret melihat lonceng. Pukul 3 pagi ! Cepat-cepat diselesaikannya tulisannya, lalu ia tidur. Keesokan harinya, begitu bangun, ia langsung membaca ulang tulisannya. Ah, belum ada judulnya. Margaret berpikir sejenak lalu membubuhkan judul ‘Aku Bermimpi’. Ia mengubah beberapa kata dan kalimat. Dan lahirlah sajak yang sekarang kita kenal dengan judul ‘Jejak’. Pada hari itu juga dalam kebaktian, sajak itu dibacakan Paul. Paul berkata, ‘... ada saat di mana kita merasa seolah-olah Tuhan meninggalkan kita. Musibah menimpa kita dan jalan hidup kita begitu sulit. Kita bertanya mengapa Tuhan tidak menolong kita. Sebenarnya Tuhan sedang menolong kita. Tuhan sedang mengangkat kita.’ Lalu Paul membacakan sajak karya Margaret :
One night I dreamed a dream.
I was walking along the beach with my Lord.
Across the dark sky flashed scenes from my life.
For each scene, I noticed two sets of footprints in the sand,
One belong to me and one to my Lord.
When the last scene of my life shot before me,
I looked back at the footprints in the sand.
There was only one set of footprints.
I realized that this was the lowest and the saddest times of my life.
This always bothered me and I questioned the Lord about my dilemma.
‘Lord, You told me when I decided to follow,
You would walk and talk with me all the way.
But I'm aware that during the most troublesome times of my life,
There is only one set of footprints.
I just don't understand why, when I need You most, You leave me.’
He whispered, ‘My precious child, I love you and will never leave you never, ever, during your trials and testings.
When you saw only one set of footprints,
It was then that I carried you.’
Seluruh peserta retret duduk terpaku mendengarnya. Mereka termenung menyimak kedalaman arti yang terkandung sajak itu. Sekarangpun tiap orang termenung setiap kali membaca sajak itu. Sajak itu mengajak kita menelusuri perjalanan hidup kita. Dalam perjalanan itu telapak kaki kita dan telapak kaki Tuhan Yesus membekas bersebelahan. Tetapi pada saat-saat dimana musibah menimpa dan perjalanan menjadi sulit serta berbahaya, ternyata yang tampak hanya telapak kaki Tuhan. Telapak kali kita tidak tampak, padahal telapak kaki Tuhan membekas dengan jelas. Mana telapak kaki kita ? Telapak kaki kita tidak ada, sebab pada saat-saat seperti itu kita sedang diangkat dan digendong Tuhan.
Injil Menurut Toko Serba Ada (The Gospel According to the Dept. Store)
Ada kisah tentang kebaikan dan kasih yang tercecer dari antara perayaan-perayaan Natal. Semacam kisah Orang Samaria yang Baik Hati.
Kisah tentang kasih yang indah ini sayangnya tidak terjadi di gereja, tetapi di sebuah Dept. Store di Amerika Serikat.
Pada suatu hari seorang pengemis wanita yang dikenal dengan sebutan "Bag Lady" (karena segala harta-bendanya hanya termuat dalam sebuah tas yang ia jinjing kemana-mana sambil mengemis) memasuki sebuah Dept. Store yang mewah sekali. Hari-hari itu adalah menjelang hari Natal. Toko itu dihias dengan indah sekali. Lantainya semua dilapisi karpet yang baru dan indah.
Pengemis ini tanpa ragu-ragu memasuki toko ini. Bajunya kotor dan penuh lubang-lubang. Badannya mungkin sudah tidak mandi berminggu-minggu Bau badan menyengat hidung. Ketika itu seorang hamba Tuhan wanita mengikutinya dari belakang. Ia berjaga-jaga, kalau petugas sekuriti toko itu mengusir pengemis ini, sang hamba Tuhan mungkin dapat membela atau membantunya. Wah, tentu pemilik atau pengurus toko mewah ini tidak ingin ada pengemis kotor dan bau mengganggu para pelanggan terhormat yang ada di toko itu. Begitu pikir sang hamba Tuhan wanita. Tetapi pengemis ini dapat terus masuk ke bagian-bagian dalam toko itu. Tak ada petugas keamanan yang mencegat dan mengusirnya. Aneh ya Padahal, para pelanggan lain berlalu lalang di situ dengan setelan jas atau gaun yang mewah dan mahal.
Di tengah Dept. Store itu ada piano besar (grand piano) yang dimainkan seorang pianis dengan jas tuksedo, mengiringi para penyanyi yang menyanyikan lagu-lagu natal dengan gaun yang indah. Suasana di toko itu tidak cocok sekali bagi si pengemis wanita itu. Ia nampak seperti makhluk aneh di lingkungan gemerlapan itu. Tetapi sang 'bag lady" jalan terus. Sang hamba Tuhan itu juga mengikuti terus dari jarak tertentu.
Rupanya pengemis itu mencari sesuatu dibagian Gaun Wanita. Ia mendatangi counter paling eksklusif yang memajang gaun-gaun mahal bermerek (branded items) dengan harga diatas $ 2500 per piece. Kalau dikonversi dengan kurs hari-hari ini, harganya dalam rupiah sekitar Rp. 20 juta per piece. Baju-baju yang mahal dan mewah ! Apa yang dikerjakan pengemis ini?
Sang pelayan bertanya, "Apa yang dapat saya bantu bagi anda ?"
"Saya ingin mencoba gaun merah muda itu ?"
Kalau anda ada di posisi sang pelayan itu, bagaimana respons anda ? Wah, kalau pengemis ini mencobanya tentu gaun-gaun mahal itu akan jadi kotor dan bau, dan pelanggan lain yang melihat mungkin akan jijik membeli baju-baju ini setelah dia pakai. Apalagi bau badan orang ini begitu menyengat, tentu akan merusak gaun-gaun itu. Tetapi mari kita dengarkan apa jawaban sang pelayan toko mewah itu.
"Berapa ukuran yang anda perlukan ?"
"Tidak tahu !"
"Baiklah, mari saya ukur dulu."
Pelayan itu mengambil pita meteran, mendekati pengemis itu, mengukur bahu, pinggang, dan panjang badannya. Bau menusuk hidung terhirup ketika ia berdekatan dengan pengemis ini. Ia cuek saja. Ia layani pengemis ini seperti satu-satunya pelanggan terhormat yang mengunjungi counternya."OK, saya sudah dapatkan nomor yang pas untuk nyonya ! Cobalah yangini !" Ia memberikan gaun itu untuk dicoba di kamar pas. "Ah, yang ini kurang cocok untuk saya. Apakah saya boleh mencoba yang lain?
"Oh, tentu !"
Kurang lebih dua jam pelayan ini menghabiskan waktunya untuk melayani sang "bag lady". Apakah pengemis ini akhirnya membeli salah satu gaun yang dicobanya? Tentu saja tidak ! Gaun seharga puluhan juta rupiah itu jauh dari jangkauan kemampuan keuangannya.
Pengemis itu kemudian berlalu begitu saja, tetapi dengan kepala tegak karena ia telah diperlakukan sebagai layaknya seorang manusia. Biasanya ia dipandang sebelah mata. Hari itu ada seorang pelayan toko yang melayaninya, yang menganggapnya seperti orang penting, yang mau mendengarkan permintaannya.
Tetapi mengapa pelayan toko itu repot-repot melayaninya ? Bukankah kedatangan pengemis itu membuang-buang waktu dan perlu biaya bagi toko itu? Toko itu harus mengirim gaun-gaun yang sudah dicoba itu ke Laundry, dicuci bersih agar kembali tampak indah dan tidak bau. Pertanyaan ini juga mengganggu sang hamba Tuhan yang memperhatikan apa yang terjadi di counter itu. Kemudian hamba Tuhan ini bertanya kepada pelayan toko itu setelah ia selesai melayani tamu "istimewa"-nya.
"Mengapa anda membiarkan pengemis itu mencoba gaun-gaun indah ini ?"
"Oh, memang tugas saya adalah melayani dan berbuat baik (My job is to serve and to be kind !) "Tetapi, anda 'kan tahu bahwa pengemis itu tidak mungkin sanggup membeli gaun-gaun mahal ini?"
"Maaf, soal itu bukan urusan saya. Saya tidak dalam posisi untuk menilai atau menghakimi para pelanggan saya. Tugas saya adalah untuk melayani dan berbuat baik." Hamba Tuhan ini tersentak kaget. Di jaman yang penuh keduniawian ini ternyata masih ada orang-orang yang tugasnya adalah melayani dan berbuat baik, tanpa perlu menghakimi orang lain.
Hamba Tuhan ini akhirnya memutuskan untuk membawakan khotbah pada hari Minggu berikutnya dengan thema "Injil Menurut Toko Serba Ada". Khotbah ini menyentuh banyak orang, dan kemudian diberitakan di halaman-halaman surat kabar di kota itu.
Berita itu menggugah banyak orang sehingga mereka juga ingin dilayani di toko yang eksklusif ini. Pengemis wanita itu tidak membeli apa-apa, tidak memberi keuntungan apa-apa, tetapi akibat perlakuan istimewa toko itu kepadanya, hasil penjualan toko itu meningkat drastis, sehingga pada bulan itu keuntungan naik 48 % !
"Peliharalah kasih persaudaraan ! Jangan kamu lupa memberi kebaikan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat." Ibrani 13:1-2.
Kisah tentang kasih yang indah ini sayangnya tidak terjadi di gereja, tetapi di sebuah Dept. Store di Amerika Serikat.
Pada suatu hari seorang pengemis wanita yang dikenal dengan sebutan "Bag Lady" (karena segala harta-bendanya hanya termuat dalam sebuah tas yang ia jinjing kemana-mana sambil mengemis) memasuki sebuah Dept. Store yang mewah sekali. Hari-hari itu adalah menjelang hari Natal. Toko itu dihias dengan indah sekali. Lantainya semua dilapisi karpet yang baru dan indah.
Pengemis ini tanpa ragu-ragu memasuki toko ini. Bajunya kotor dan penuh lubang-lubang. Badannya mungkin sudah tidak mandi berminggu-minggu Bau badan menyengat hidung. Ketika itu seorang hamba Tuhan wanita mengikutinya dari belakang. Ia berjaga-jaga, kalau petugas sekuriti toko itu mengusir pengemis ini, sang hamba Tuhan mungkin dapat membela atau membantunya. Wah, tentu pemilik atau pengurus toko mewah ini tidak ingin ada pengemis kotor dan bau mengganggu para pelanggan terhormat yang ada di toko itu. Begitu pikir sang hamba Tuhan wanita. Tetapi pengemis ini dapat terus masuk ke bagian-bagian dalam toko itu. Tak ada petugas keamanan yang mencegat dan mengusirnya. Aneh ya Padahal, para pelanggan lain berlalu lalang di situ dengan setelan jas atau gaun yang mewah dan mahal.
Di tengah Dept. Store itu ada piano besar (grand piano) yang dimainkan seorang pianis dengan jas tuksedo, mengiringi para penyanyi yang menyanyikan lagu-lagu natal dengan gaun yang indah. Suasana di toko itu tidak cocok sekali bagi si pengemis wanita itu. Ia nampak seperti makhluk aneh di lingkungan gemerlapan itu. Tetapi sang 'bag lady" jalan terus. Sang hamba Tuhan itu juga mengikuti terus dari jarak tertentu.
Rupanya pengemis itu mencari sesuatu dibagian Gaun Wanita. Ia mendatangi counter paling eksklusif yang memajang gaun-gaun mahal bermerek (branded items) dengan harga diatas $ 2500 per piece. Kalau dikonversi dengan kurs hari-hari ini, harganya dalam rupiah sekitar Rp. 20 juta per piece. Baju-baju yang mahal dan mewah ! Apa yang dikerjakan pengemis ini?
Sang pelayan bertanya, "Apa yang dapat saya bantu bagi anda ?"
"Saya ingin mencoba gaun merah muda itu ?"
Kalau anda ada di posisi sang pelayan itu, bagaimana respons anda ? Wah, kalau pengemis ini mencobanya tentu gaun-gaun mahal itu akan jadi kotor dan bau, dan pelanggan lain yang melihat mungkin akan jijik membeli baju-baju ini setelah dia pakai. Apalagi bau badan orang ini begitu menyengat, tentu akan merusak gaun-gaun itu. Tetapi mari kita dengarkan apa jawaban sang pelayan toko mewah itu.
"Berapa ukuran yang anda perlukan ?"
"Tidak tahu !"
"Baiklah, mari saya ukur dulu."
Pelayan itu mengambil pita meteran, mendekati pengemis itu, mengukur bahu, pinggang, dan panjang badannya. Bau menusuk hidung terhirup ketika ia berdekatan dengan pengemis ini. Ia cuek saja. Ia layani pengemis ini seperti satu-satunya pelanggan terhormat yang mengunjungi counternya."OK, saya sudah dapatkan nomor yang pas untuk nyonya ! Cobalah yangini !" Ia memberikan gaun itu untuk dicoba di kamar pas. "Ah, yang ini kurang cocok untuk saya. Apakah saya boleh mencoba yang lain?
"Oh, tentu !"
Kurang lebih dua jam pelayan ini menghabiskan waktunya untuk melayani sang "bag lady". Apakah pengemis ini akhirnya membeli salah satu gaun yang dicobanya? Tentu saja tidak ! Gaun seharga puluhan juta rupiah itu jauh dari jangkauan kemampuan keuangannya.
Pengemis itu kemudian berlalu begitu saja, tetapi dengan kepala tegak karena ia telah diperlakukan sebagai layaknya seorang manusia. Biasanya ia dipandang sebelah mata. Hari itu ada seorang pelayan toko yang melayaninya, yang menganggapnya seperti orang penting, yang mau mendengarkan permintaannya.
Tetapi mengapa pelayan toko itu repot-repot melayaninya ? Bukankah kedatangan pengemis itu membuang-buang waktu dan perlu biaya bagi toko itu? Toko itu harus mengirim gaun-gaun yang sudah dicoba itu ke Laundry, dicuci bersih agar kembali tampak indah dan tidak bau. Pertanyaan ini juga mengganggu sang hamba Tuhan yang memperhatikan apa yang terjadi di counter itu. Kemudian hamba Tuhan ini bertanya kepada pelayan toko itu setelah ia selesai melayani tamu "istimewa"-nya.
"Mengapa anda membiarkan pengemis itu mencoba gaun-gaun indah ini ?"
"Oh, memang tugas saya adalah melayani dan berbuat baik (My job is to serve and to be kind !) "Tetapi, anda 'kan tahu bahwa pengemis itu tidak mungkin sanggup membeli gaun-gaun mahal ini?"
"Maaf, soal itu bukan urusan saya. Saya tidak dalam posisi untuk menilai atau menghakimi para pelanggan saya. Tugas saya adalah untuk melayani dan berbuat baik." Hamba Tuhan ini tersentak kaget. Di jaman yang penuh keduniawian ini ternyata masih ada orang-orang yang tugasnya adalah melayani dan berbuat baik, tanpa perlu menghakimi orang lain.
Hamba Tuhan ini akhirnya memutuskan untuk membawakan khotbah pada hari Minggu berikutnya dengan thema "Injil Menurut Toko Serba Ada". Khotbah ini menyentuh banyak orang, dan kemudian diberitakan di halaman-halaman surat kabar di kota itu.
Berita itu menggugah banyak orang sehingga mereka juga ingin dilayani di toko yang eksklusif ini. Pengemis wanita itu tidak membeli apa-apa, tidak memberi keuntungan apa-apa, tetapi akibat perlakuan istimewa toko itu kepadanya, hasil penjualan toko itu meningkat drastis, sehingga pada bulan itu keuntungan naik 48 % !
"Peliharalah kasih persaudaraan ! Jangan kamu lupa memberi kebaikan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat." Ibrani 13:1-2.
Hidupmu sudah diatur Tuhan
Di salah satu gereja di Eropa Utara, ada sebuah patung Yesus Kristus yang disalib, ukurannya tidak jauh berbeda dengan manusia pada umumnya. Karena segala permohonan pasti bisa dikabulkan-Nya, maka orang berbondong-bondong datang secara khusus kesana untuk berdoa, berlutut dan menyembah,hampir dapat dikatakan halaman gereja penuh sesak seperti pasar.
Di dalam gereja itu ada seorang penjaga pintu, melihat Yesus yang setiap hari berada di atas kayu salib, harus menghadapi begitu banyak permintaan orang, ia pun merasa iba dan di dalam hati ia berharap bisa ikut memikul beban penderitaan Yesus Kristus. Pada suatu hari, sang penjaga pintu pun berdoa menyatakan harapannya itu kepada Yesus.
Di luar dugaan, ia mendengar sebuah suara yang mengatakan, "Baiklah! Aku akan turun menggantikan kamu sebagai penjaga pintu, dan kamu yang naik di atas salib itu, namun apapun yang kau dengar, janganlah mengucapkan sepatah kata pun." Si penjaga pintu merasa permintaan itu sangat mudah.
Lalu, Yesus turun, dan penjaga itu naik ke atas, menjulurkan sepasang lengannya seperti Yesus yang dipaku diatas kayu salib.
Karena itu orang-orang yang datang bersujud, tidak menaruh curiga sedikit pun. Si penjaga pintu itu berperan sesuai perjanjian sebelumnya, yaitu diam saja tidak boleh berbicara sambil mendengarkan isi hati orang-orang yang datang.
Orang yang datang tiada habisnya, permintaan mereka pun ada yang rasional dan ada juga yang tidak rasional, banyak sekali permintaan yang aneh-aneh.
Namun, demikian, si penjaga pintu itu tetap bertahan untuk tidak bicara, karena harus menepati janji sebelumnya.
Pada suatu hari datanglah seorang saudagar kaya, setelah saudagar itu selesai berdoa, ternyata kantung uangnya tertinggal.
Ia melihatnya dan ingin sekali memanggil saudagar itu kembali, namun terpaksa menahan diri untuk tidak ber bicara. Selanjutnya datanglah seorang miskin yang sudah 3 hari tidak makan, ia berdoa kepada Yesus agar dapat menolongnya melewati kesulitan hidup ini. Ketika hendak pulang ia menemukan kantung uang yang ditinggalkan oleh saudagar tadi, dan begitu dibuka, ternyata isinya uang dalam jumlah besar. Orang miskin itu pun kegirangan bukan main, "Yesus benar-benar baik, semua permintaanku dikabulkan!" dengan amat bersyukur ia lalu pergi.
Diatas kayu salib, "Yesus" ingin sekali
memberitahunya, bahwa itu bukan miliknya. Namun karena sudah ada perjanjian, maka ia tetap menahan diri untuk tidak berbicara. Berikutnya, datanglah seorang pemuda yang akan berlayar ke tempat yang jauh. Ia datang memohon agar Yesus memberkati keselamatannya. Saat hendak meninggalkan gereja, saudagar kaya itu menerjang masuk dan langsung mencengkram kerah baju si pemuda, dan memaksa si pemuda itu mengembalikan uangnya. Si pemuda itu tidak mengerti keadaan yang sebenarnya, lalu keduanya saling bertengkar.
Di saat demikian, tiba-tiba dari atas kayu salib "Yesus" akhirnya angkat bicara. Setelah semua masalahnya jelas, saudagar kaya itu pun kemudian pergi mencari orang miskin itu, dan si pemuda yang akan berlayar pun bereggas pergi, karena khawatir akan ketinggalan kapal.
Yesus yang asli kemudian muncul, menunjuk ke arah kayu salib itu sambil berkata, "TURUNLAH KAMU! Kamu tidak layak berada disana." Penjaga itu berkata, "Aku telah mengatakan yang sebenarnya, dan menjernihkan persoalan serta memberikan keadilan, apakah salahku?"
"Kamu itu tahu apa?", kata Yesus. "Saudagar kaya itu sama sekali tidak kekurangan uang, uang di dalam kantung bermaksud untuk dihambur-hamburkannya. Namun bagi orang miskin, uang itu dapat memecahkan masalah dalam kehidupannya sekeluarga. Yang paling kasihan adalah pemuda itu. Jika saudagar itu terus bertengkar dengan si pemuda sampai ia ketinggalan ka pal, maka si pemuda itu mungkin tidak akan kehilangan nyawanya. Tapi sekarang kapal yang ditumpanginya sedang tenggelam di tengah laut."
Ini kedengarannya seperti sebuah anekdot yang menggelikan, namun dibalik itu terkandung sebuah rahasia kehidupan...
Kita seringkali menganggap apa yang kita lakukan adalah yang paling baik, namun kenyataannya kadang justru bertentangan. Itu terjadi karena kita tidak mengetahui hubungan sebab-akibat dalam kehidupan ini.
Kita harus percaya bahwa semua yang kita alami saat ini, baik itu keberuntungan maupun kemalangan, semuanya merupakan hasil pengaturan yang terbaik dari Tuhan buat kita, dengan begitu kita baru bisa bersyukur dalam keberuntungan dan kemalangan dan tetap bersuka cita.
Sebab kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan buat kita. (Roma 8:28)
Di dalam gereja itu ada seorang penjaga pintu, melihat Yesus yang setiap hari berada di atas kayu salib, harus menghadapi begitu banyak permintaan orang, ia pun merasa iba dan di dalam hati ia berharap bisa ikut memikul beban penderitaan Yesus Kristus. Pada suatu hari, sang penjaga pintu pun berdoa menyatakan harapannya itu kepada Yesus.
Di luar dugaan, ia mendengar sebuah suara yang mengatakan, "Baiklah! Aku akan turun menggantikan kamu sebagai penjaga pintu, dan kamu yang naik di atas salib itu, namun apapun yang kau dengar, janganlah mengucapkan sepatah kata pun." Si penjaga pintu merasa permintaan itu sangat mudah.
Lalu, Yesus turun, dan penjaga itu naik ke atas, menjulurkan sepasang lengannya seperti Yesus yang dipaku diatas kayu salib.
Karena itu orang-orang yang datang bersujud, tidak menaruh curiga sedikit pun. Si penjaga pintu itu berperan sesuai perjanjian sebelumnya, yaitu diam saja tidak boleh berbicara sambil mendengarkan isi hati orang-orang yang datang.
Orang yang datang tiada habisnya, permintaan mereka pun ada yang rasional dan ada juga yang tidak rasional, banyak sekali permintaan yang aneh-aneh.
Namun, demikian, si penjaga pintu itu tetap bertahan untuk tidak bicara, karena harus menepati janji sebelumnya.
Pada suatu hari datanglah seorang saudagar kaya, setelah saudagar itu selesai berdoa, ternyata kantung uangnya tertinggal.
Ia melihatnya dan ingin sekali memanggil saudagar itu kembali, namun terpaksa menahan diri untuk tidak ber bicara. Selanjutnya datanglah seorang miskin yang sudah 3 hari tidak makan, ia berdoa kepada Yesus agar dapat menolongnya melewati kesulitan hidup ini. Ketika hendak pulang ia menemukan kantung uang yang ditinggalkan oleh saudagar tadi, dan begitu dibuka, ternyata isinya uang dalam jumlah besar. Orang miskin itu pun kegirangan bukan main, "Yesus benar-benar baik, semua permintaanku dikabulkan!" dengan amat bersyukur ia lalu pergi.
Diatas kayu salib, "Yesus" ingin sekali
memberitahunya, bahwa itu bukan miliknya. Namun karena sudah ada perjanjian, maka ia tetap menahan diri untuk tidak berbicara. Berikutnya, datanglah seorang pemuda yang akan berlayar ke tempat yang jauh. Ia datang memohon agar Yesus memberkati keselamatannya. Saat hendak meninggalkan gereja, saudagar kaya itu menerjang masuk dan langsung mencengkram kerah baju si pemuda, dan memaksa si pemuda itu mengembalikan uangnya. Si pemuda itu tidak mengerti keadaan yang sebenarnya, lalu keduanya saling bertengkar.
Di saat demikian, tiba-tiba dari atas kayu salib "Yesus" akhirnya angkat bicara. Setelah semua masalahnya jelas, saudagar kaya itu pun kemudian pergi mencari orang miskin itu, dan si pemuda yang akan berlayar pun bereggas pergi, karena khawatir akan ketinggalan kapal.
Yesus yang asli kemudian muncul, menunjuk ke arah kayu salib itu sambil berkata, "TURUNLAH KAMU! Kamu tidak layak berada disana." Penjaga itu berkata, "Aku telah mengatakan yang sebenarnya, dan menjernihkan persoalan serta memberikan keadilan, apakah salahku?"
"Kamu itu tahu apa?", kata Yesus. "Saudagar kaya itu sama sekali tidak kekurangan uang, uang di dalam kantung bermaksud untuk dihambur-hamburkannya. Namun bagi orang miskin, uang itu dapat memecahkan masalah dalam kehidupannya sekeluarga. Yang paling kasihan adalah pemuda itu. Jika saudagar itu terus bertengkar dengan si pemuda sampai ia ketinggalan ka pal, maka si pemuda itu mungkin tidak akan kehilangan nyawanya. Tapi sekarang kapal yang ditumpanginya sedang tenggelam di tengah laut."
Ini kedengarannya seperti sebuah anekdot yang menggelikan, namun dibalik itu terkandung sebuah rahasia kehidupan...
Kita seringkali menganggap apa yang kita lakukan adalah yang paling baik, namun kenyataannya kadang justru bertentangan. Itu terjadi karena kita tidak mengetahui hubungan sebab-akibat dalam kehidupan ini.
Kita harus percaya bahwa semua yang kita alami saat ini, baik itu keberuntungan maupun kemalangan, semuanya merupakan hasil pengaturan yang terbaik dari Tuhan buat kita, dengan begitu kita baru bisa bersyukur dalam keberuntungan dan kemalangan dan tetap bersuka cita.
Sebab kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan buat kita. (Roma 8:28)
Si Murung & Si Ceria
Ada dua anak bernama Si Ceria dan Si Murung. Seperti namanya Ceria
mempunyai sifat periang, selalu gembira dan tersenyum. Sebaliknya
Murung mempunyai perangai yang cemberut, selalu sedih, dan jarang tersenyum.
Suatu ketika orang tua mereka berpikiran untuk membuat Si Murung
tersenyum gembira dan membuat Si Ceria menjadi sedih cemberut dan sedih. Mereka lalu berpikir untuk memberikan sesuatu yang menjadi kesukaan masing-masing anak.
Si Murung menginginkan telepon genggam. Selama ini jika pergi dengan
teman-temannya sering kali ia meminjam telepon genggam milik temannya. Orangtuanya membelikan sebuah telepon genggam terbaru supaya dia menjadi senang dan gembira.
Sewaktu Murung pergi sekolah, telepon genggam itu dibungkus oleh orang
tuanya dengan kertas kado yang bagus dan diletakkan di kamarnya.
Sepulang sekolah, Murung segera masuk ke kamar dan melihat ada kado di sana. Cepat-cepat ia membuka kado itu dan ia terkejut sekali ketika
mendapatkan di dalamnya berisi telepon genggam. Wajahnya tersenyum, tapi tidak lama. Kemudian ia murung lagi karena ia takut kalau-kalau teman-temannya akan meminjam telepon genggamnya lalu menjadi rusak. Di benaknya selalu muncul pikiran yang negatif, sehingga kado itu menjadi beban baginya. Yang keluar dari mulutnya adalah omelan dan keluhan, bukannya ucapan terima kasih kepada orang tuanya.
Di pihak lain, si Ceria senang sekali dengan kuda. Orang tuanya membungkus
kotoran kuda dan diletakkan dalam kamar agar ia menjadi sedih dan murung.
Sewaktu Ceria pulang ia juga terkejut melihat ada kado di kamarnya.
Dengan sergap ia membuka pula kado itu. Betapa terkejutnya ia, ternyata yang didapatkan adalah kotoran kuda berbau busuk. Mukanya kebingungan
sejenak.Tetapi ia segera berpikir, "Ah masa orang tuaku yang begitu
mencintaiku memberi aku kotoran kuda, pasti ada sesuatu di balik hadiah
ini."
Kemudian ia lari kepada orang tuanya dan mencium mereka. Orang tuanya
sangat bingung dan terkejut kemudian bertanya, "Lho kamu itu diberi
kotoran kuda kok senang sih?".Lalu Ceria menjawab, "Papa, Mama, saya tahu
kalian sangat mencintai saya, jadi tidak mungkin memberi kotoran kuda kepada saya, pasti kotoran kuda itu adalah sebuah tanda. Kalau ada kotoran kuda, berarti ada kudanya. Saya tahu bahwa kalian akan membelikan kuda pony buat saya, dan sekarang mana kudanya?"
Kemudian orang tuanya berkata, "Kami hanya memberi itu kepada kamu."
Ceria menyahut, "Tidak mungkin saya yakin pasti ada kudanya." Akhirnya orang tuanya kalah, dan membelikan dia kuda pony.
Smiley...! Orang yang hidupnya merasa sangat dicintai akan selalu
berpikir bahwa ia selalu akan menerima yang terbaik dalam hidupnya, walaupun dalam penderitaan. Sebaliknya orang yang pesimis merasa hidup ini menjadi beban penderitaan yang sangat panjang, sehingga ia selalu gelisah, takut, dan khawatir.
mempunyai sifat periang, selalu gembira dan tersenyum. Sebaliknya
Murung mempunyai perangai yang cemberut, selalu sedih, dan jarang tersenyum.
Suatu ketika orang tua mereka berpikiran untuk membuat Si Murung
tersenyum gembira dan membuat Si Ceria menjadi sedih cemberut dan sedih. Mereka lalu berpikir untuk memberikan sesuatu yang menjadi kesukaan masing-masing anak.
Si Murung menginginkan telepon genggam. Selama ini jika pergi dengan
teman-temannya sering kali ia meminjam telepon genggam milik temannya. Orangtuanya membelikan sebuah telepon genggam terbaru supaya dia menjadi senang dan gembira.
Sewaktu Murung pergi sekolah, telepon genggam itu dibungkus oleh orang
tuanya dengan kertas kado yang bagus dan diletakkan di kamarnya.
Sepulang sekolah, Murung segera masuk ke kamar dan melihat ada kado di sana. Cepat-cepat ia membuka kado itu dan ia terkejut sekali ketika
mendapatkan di dalamnya berisi telepon genggam. Wajahnya tersenyum, tapi tidak lama. Kemudian ia murung lagi karena ia takut kalau-kalau teman-temannya akan meminjam telepon genggamnya lalu menjadi rusak. Di benaknya selalu muncul pikiran yang negatif, sehingga kado itu menjadi beban baginya. Yang keluar dari mulutnya adalah omelan dan keluhan, bukannya ucapan terima kasih kepada orang tuanya.
Di pihak lain, si Ceria senang sekali dengan kuda. Orang tuanya membungkus
kotoran kuda dan diletakkan dalam kamar agar ia menjadi sedih dan murung.
Sewaktu Ceria pulang ia juga terkejut melihat ada kado di kamarnya.
Dengan sergap ia membuka pula kado itu. Betapa terkejutnya ia, ternyata yang didapatkan adalah kotoran kuda berbau busuk. Mukanya kebingungan
sejenak.Tetapi ia segera berpikir, "Ah masa orang tuaku yang begitu
mencintaiku memberi aku kotoran kuda, pasti ada sesuatu di balik hadiah
ini."
Kemudian ia lari kepada orang tuanya dan mencium mereka. Orang tuanya
sangat bingung dan terkejut kemudian bertanya, "Lho kamu itu diberi
kotoran kuda kok senang sih?".Lalu Ceria menjawab, "Papa, Mama, saya tahu
kalian sangat mencintai saya, jadi tidak mungkin memberi kotoran kuda kepada saya, pasti kotoran kuda itu adalah sebuah tanda. Kalau ada kotoran kuda, berarti ada kudanya. Saya tahu bahwa kalian akan membelikan kuda pony buat saya, dan sekarang mana kudanya?"
Kemudian orang tuanya berkata, "Kami hanya memberi itu kepada kamu."
Ceria menyahut, "Tidak mungkin saya yakin pasti ada kudanya." Akhirnya orang tuanya kalah, dan membelikan dia kuda pony.
Smiley...! Orang yang hidupnya merasa sangat dicintai akan selalu
berpikir bahwa ia selalu akan menerima yang terbaik dalam hidupnya, walaupun dalam penderitaan. Sebaliknya orang yang pesimis merasa hidup ini menjadi beban penderitaan yang sangat panjang, sehingga ia selalu gelisah, takut, dan khawatir.
Dua elang dan seekor katak
Tiga binatang adalah teman sekarib; dua ekor elang yang besar perkasa dan seekor katak mungil. Sesungguhnya seekor katak merupakan santapan lezat sang elang. Namun bukan mustahil sesuatu yang luar biasa bias terjadi. Dan itu mungkin yang disebut sebagai keajaiban. Ketika sang rajawali hinggap dipinggir sebuah kubangan, mereka menemukan seekor katak, walau kecil namun menarik dan mampu meluluh-lantakan ketamakan hati kedua elang itu. Perlahan mereka bersahabat, ada kasih, ada cinta, ada sayang yang terjalin di antara mereka.
Perlahan musimpun kini beralih. Belahan bumi bagian utara tempat di mana ketiga sekawan itu hidup kini perlahan dingin. Dan di awal musim dingin kawanan burung akan hijrah, terbang jauh ke belahan selatan yang lebih hangat. Kedua elangpun akan melakukan perjalanan yang sama, meninggalkan arus dingin yang bakal tiba dalam beberapa hari.
Sebuah perpisahan adalah saat yang sedih. Ada kesedihan bercokol dalam di dasar sanubari. Ada ratap tangis, ada air mata, ada kepedihan. Mereka tak meratapi perpisahan ini, tetapi menangisi saat pertemuan dulu. Mengapa hal itu terjadi? Mengapa mereka dulu pernah bertemu dan saling menjalin cinta? Namun menangisi masa silam sama halnya dengan kehampaan. Mereka harus melihat kenyataan saat kini.
"Seandainya engkau bisa terbang tinggi di angkasa raya..." demikian sang elang berkata-kata, "maka kita tak akan harus berpisah!" Sang katak yang kerdil kini berpikir keras mencari jalan, dan akhirnya muncul dengan sebuah gagasan gemilang. Ia membawa sebuah tongkat. Dengan paruhnya masing-masing kedua elang itu memegang kedua ujung tongkat, dan sang katak dengan mulutnya memegang erat di bagian tengah tongkat itu. Maka terjadilah... Ketiga binatang itu bersama-sama terbang riang di angkasa biru.
Semua binatang lain mengangkat wajah melihat keajaiban di atas sana. "Oh...Betapa hebatnya. Katakpun bisa terbang tinggi. Seandainya aku bisa terbang di langit biru." Demikian mereka berdecak kagum. Mendengar decakan kagum itu sang katak menjadi sangat bangga. Dalam hatinya ia tak henti-hentinya berkata pada dirinya sendiri, "Kalau bukan karena kepintaranku maka keajaiban ini tak akan pernah terjadi."
Tak lama berselang sebuah suara teriakan nyaring terdengar di telinga sang katak; "Wah...! Siapakah yang sedemikian pintarnya menemukan cara gemilang ini sehingga sang katakpun bisa terbang tinggi?" Sang katak kini tak mampu menahan diri. Ia ingin agar semua orang tahu bahwa hal ajaib ini terjadi karena kehebatannya. Karena itu dengan sekuat tenaganya sang katak membuka mulut dan berteriak; "Ini adalah hasil pikiran sa..." Sayang...seribu sayang! Sebelum ia mampu menyelesaikan kata-katanya, ia telah terjerembab jatuh, badannya menghantam wadas keras, dan seketika itu juga menjadi seonggok sampah tak bermakna. Wah....kalau seandainya sang katak tak berkoar mewartakan kebesaran dirinya sendiri, maka mereka akan bersama-sama tiba di dunia baru, dunia yang penuh kehangatan.
---------------
"Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan." (Luk 14: 11; Luk 18, 14; Mat 23, 12).
Perlahan musimpun kini beralih. Belahan bumi bagian utara tempat di mana ketiga sekawan itu hidup kini perlahan dingin. Dan di awal musim dingin kawanan burung akan hijrah, terbang jauh ke belahan selatan yang lebih hangat. Kedua elangpun akan melakukan perjalanan yang sama, meninggalkan arus dingin yang bakal tiba dalam beberapa hari.
Sebuah perpisahan adalah saat yang sedih. Ada kesedihan bercokol dalam di dasar sanubari. Ada ratap tangis, ada air mata, ada kepedihan. Mereka tak meratapi perpisahan ini, tetapi menangisi saat pertemuan dulu. Mengapa hal itu terjadi? Mengapa mereka dulu pernah bertemu dan saling menjalin cinta? Namun menangisi masa silam sama halnya dengan kehampaan. Mereka harus melihat kenyataan saat kini.
"Seandainya engkau bisa terbang tinggi di angkasa raya..." demikian sang elang berkata-kata, "maka kita tak akan harus berpisah!" Sang katak yang kerdil kini berpikir keras mencari jalan, dan akhirnya muncul dengan sebuah gagasan gemilang. Ia membawa sebuah tongkat. Dengan paruhnya masing-masing kedua elang itu memegang kedua ujung tongkat, dan sang katak dengan mulutnya memegang erat di bagian tengah tongkat itu. Maka terjadilah... Ketiga binatang itu bersama-sama terbang riang di angkasa biru.
Semua binatang lain mengangkat wajah melihat keajaiban di atas sana. "Oh...Betapa hebatnya. Katakpun bisa terbang tinggi. Seandainya aku bisa terbang di langit biru." Demikian mereka berdecak kagum. Mendengar decakan kagum itu sang katak menjadi sangat bangga. Dalam hatinya ia tak henti-hentinya berkata pada dirinya sendiri, "Kalau bukan karena kepintaranku maka keajaiban ini tak akan pernah terjadi."
Tak lama berselang sebuah suara teriakan nyaring terdengar di telinga sang katak; "Wah...! Siapakah yang sedemikian pintarnya menemukan cara gemilang ini sehingga sang katakpun bisa terbang tinggi?" Sang katak kini tak mampu menahan diri. Ia ingin agar semua orang tahu bahwa hal ajaib ini terjadi karena kehebatannya. Karena itu dengan sekuat tenaganya sang katak membuka mulut dan berteriak; "Ini adalah hasil pikiran sa..." Sayang...seribu sayang! Sebelum ia mampu menyelesaikan kata-katanya, ia telah terjerembab jatuh, badannya menghantam wadas keras, dan seketika itu juga menjadi seonggok sampah tak bermakna. Wah....kalau seandainya sang katak tak berkoar mewartakan kebesaran dirinya sendiri, maka mereka akan bersama-sama tiba di dunia baru, dunia yang penuh kehangatan.
---------------
"Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan." (Luk 14: 11; Luk 18, 14; Mat 23, 12).
Batu Kecil & Mutiara
Pada suatu ketika, hiduplah seorang pedagang batu-batuan. Setiap hari dia berjalan dari kota ke kota untuk memperdagangkan barang-barangnya itu. Ketika dia sedang berjalan menuju ke suatu kota, ada suatu batu kecil di pinggir jalan yang menarik hatinya. Batu itu tidak bagus, kasar, dan tidak mungkin untuk dijual. Namun pedagang itu memungutnya dan menyimpannya dalam sebuah kantong, dan kemudian pedagang itu meneruskan perjalanan nya.
Setelah lama berjalan, lelahlah pedagang itu, kemudian dia beristirahat sejenak. Selama dia beristirahat, dia membuka kembali bungkusan yang berisi batu itu. Diperhatikannya batu itu dengan seksama, kemudian batu itu digosoknya dengan hati-hati. Karena kesabaran pedagang itu, batu yang semula buruk itu, sekarang terlihat indah dan mengkilap. Puaslah hati pedagang itu, kemudian dia meneruskan perjalanannya.
Selama dia berjalan lagi, tiba-tiba dia melihat ada yang berkilau-kilauan di pinggir jalan. Setelah diperhatikan, ternyata itu adalah sebuah mutiara yang indah. Alangkah senangnya hati pedagang tersebut,mutiara itu diambil dan disimpannya tetapi dalam kantong yang berbeda dengan kantong tempat batu tadi. Kemudian dia meneruskan perjalanannya kembali. Adapun si batu kecil itu merasa bahwa pedagang itu begitu memperhatikan dirinya, dan dia merasa begitu bahagia.
Namun pada suatu saat mengeluhlah batu kecil itu kepada dirinya sendiri. "Tuan begitu baik padaku,setiap hari aku digosoknya walaupun aku ini hanya sebuah batu yang jelek, namun aku merasa kesepian. Aku tidak mempunyai teman seorangpun, seandainya saja Tuan memberikan kepadaku seorang teman".
Rupanya keluhan batu kecil yang malang ini didengar oleh pedagang itu. Dia merasa kasihan dan kemudian dia berkata kepada batu kecil itu "Wahai batu kecil, aku mendengar keluh kesahmu, baiklah aku akan memberikan kepadamu sesuai dengan yang engkau minta".
Setelah itu kemudian pedagang tersebut memindahkan mutiara indah yang ditemukannya di pinggir jalan itu ke dalam kantong tempat batu kecil itu berada. Dapat dibayangkan betapa senangnya hati batu kecil itu mendapat teman mutiara yang indah itu. Sungguh betapa tidak disangkanya, bahwa pedagang itu akan memberikan miliknya yang terbaik kepadanya.
Waktu terus berjalan dan si batu dan mutiara pun berteman dengan akrab. Setiap kali pedagang itu beristirahat, dia selalu menggosok kembali batu dan mutiara itu.Namun pada suatu ketika, setelah selesai menggosok keduanya, tiba-tiba saja pedagang itu memisahkan batu kecil dan mutiara itu. Mutiara itu ditempatkannya kembali di dalam kantongnya semula, dan batu kecil itu tetap di dalam kantongnya sendiri.
Maka sedihlah hati batu kecil itu. Tiap-tiap hari dia menangis, dan memohon kepada pedagang itu agar mengembalikan mutiara itu bersama dengan dia. Namun seolah-olah pedagang itu tidak mendengarkan dia. Maka putus asalah batu kecil itu, dan di tengah-tengah keputusasaan nya itu, berteriaklah dia kepada pedagang itu "Oh tuanku, mengapa engkau berbuat demikian? Mengapa engkau mengecewakan aku?"
Rupanya keluh kesah ini didengar oleh pedagang batu tersebut. Kemudian dia berkata kepada batu kecil itu "Wahai batu kecil, kamu telah ku pungut dari pinggir jalan. Engkau yang semula buruk kini telah menjadi indah. Mengapa engkau mengeluh? Mengapa engkau berkeluh kesah? Mengapa hatimu berduka saat aku mengambil mutiara itu daripadamu? Bukankah mutiara itu miliku, dan aku bebas mengambilnya setiap saat menurut kehendakku? Engkau telah kupungut dari jalan, engkau yang semula buruk kini telah menjadi indah. Ketahuilah bahwa bagiku, engkau sama berharganya seperti mutiara itu, engkau telah kupungut dan engkau kini telah menjadi milikku juga. Biarlah aku bebas menggunakanmu sekehendak hatiku. Aku tidak akan pernah membuangmu kembali".
Mengertikah apakah maksud cerita di atas ? Yang dimaksud dengan batu kecil itu adalah kita-kita semua, sedangkan pedagang itu adalah Tuhan sendiri. Kita semua ini buruk dan hina di hadapanNya, namun karena kasihnya itu Dia memoles kita, sehingga kita dijadikannya indah di hadapanNya. Sedangkan yang dimaksud dengan mutiara itu adalah berkat Tuhan bagi kita semua. Siapa yang tidak senang menerima berkat? Berkat itu dapat berupa apa saja dalam kehidupan kita sehari-hari, mungkin berupa kegembiraan, kesehatan, orangtua, saudara dan sahabat, dan banyak lagi. Apakah kita pernah bersyukur, setiap kali kita mendapat berkat itu? Dan apakah kita tetap bersyukur, jika seandainya Tuhan mengambil semuanya itu dari kita? Bukankah semua itu milikNya dan Ia bebas mengambilnya kembali kapanpun Ia mau? Bersyukurlah selalu kepadaNya, karena Dia tidak akan pernah mengecewakan kita semua.
Yer 29:11-12
Bukankah Aku ini mengetahui rencana-rencanaKu kepadamu ? Yaitu rencana keselamatan dan bukannya rencana kecelakaan untuk memberikan kepadamu hari esok yang penuh harapan. Maka kamu akan berseru dan datang kepadaKu untuk berdoa dan Aku akan mendengarkan kamu.
Setelah lama berjalan, lelahlah pedagang itu, kemudian dia beristirahat sejenak. Selama dia beristirahat, dia membuka kembali bungkusan yang berisi batu itu. Diperhatikannya batu itu dengan seksama, kemudian batu itu digosoknya dengan hati-hati. Karena kesabaran pedagang itu, batu yang semula buruk itu, sekarang terlihat indah dan mengkilap. Puaslah hati pedagang itu, kemudian dia meneruskan perjalanannya.
Selama dia berjalan lagi, tiba-tiba dia melihat ada yang berkilau-kilauan di pinggir jalan. Setelah diperhatikan, ternyata itu adalah sebuah mutiara yang indah. Alangkah senangnya hati pedagang tersebut,mutiara itu diambil dan disimpannya tetapi dalam kantong yang berbeda dengan kantong tempat batu tadi. Kemudian dia meneruskan perjalanannya kembali. Adapun si batu kecil itu merasa bahwa pedagang itu begitu memperhatikan dirinya, dan dia merasa begitu bahagia.
Namun pada suatu saat mengeluhlah batu kecil itu kepada dirinya sendiri. "Tuan begitu baik padaku,setiap hari aku digosoknya walaupun aku ini hanya sebuah batu yang jelek, namun aku merasa kesepian. Aku tidak mempunyai teman seorangpun, seandainya saja Tuan memberikan kepadaku seorang teman".
Rupanya keluhan batu kecil yang malang ini didengar oleh pedagang itu. Dia merasa kasihan dan kemudian dia berkata kepada batu kecil itu "Wahai batu kecil, aku mendengar keluh kesahmu, baiklah aku akan memberikan kepadamu sesuai dengan yang engkau minta".
Setelah itu kemudian pedagang tersebut memindahkan mutiara indah yang ditemukannya di pinggir jalan itu ke dalam kantong tempat batu kecil itu berada. Dapat dibayangkan betapa senangnya hati batu kecil itu mendapat teman mutiara yang indah itu. Sungguh betapa tidak disangkanya, bahwa pedagang itu akan memberikan miliknya yang terbaik kepadanya.
Waktu terus berjalan dan si batu dan mutiara pun berteman dengan akrab. Setiap kali pedagang itu beristirahat, dia selalu menggosok kembali batu dan mutiara itu.Namun pada suatu ketika, setelah selesai menggosok keduanya, tiba-tiba saja pedagang itu memisahkan batu kecil dan mutiara itu. Mutiara itu ditempatkannya kembali di dalam kantongnya semula, dan batu kecil itu tetap di dalam kantongnya sendiri.
Maka sedihlah hati batu kecil itu. Tiap-tiap hari dia menangis, dan memohon kepada pedagang itu agar mengembalikan mutiara itu bersama dengan dia. Namun seolah-olah pedagang itu tidak mendengarkan dia. Maka putus asalah batu kecil itu, dan di tengah-tengah keputusasaan nya itu, berteriaklah dia kepada pedagang itu "Oh tuanku, mengapa engkau berbuat demikian? Mengapa engkau mengecewakan aku?"
Rupanya keluh kesah ini didengar oleh pedagang batu tersebut. Kemudian dia berkata kepada batu kecil itu "Wahai batu kecil, kamu telah ku pungut dari pinggir jalan. Engkau yang semula buruk kini telah menjadi indah. Mengapa engkau mengeluh? Mengapa engkau berkeluh kesah? Mengapa hatimu berduka saat aku mengambil mutiara itu daripadamu? Bukankah mutiara itu miliku, dan aku bebas mengambilnya setiap saat menurut kehendakku? Engkau telah kupungut dari jalan, engkau yang semula buruk kini telah menjadi indah. Ketahuilah bahwa bagiku, engkau sama berharganya seperti mutiara itu, engkau telah kupungut dan engkau kini telah menjadi milikku juga. Biarlah aku bebas menggunakanmu sekehendak hatiku. Aku tidak akan pernah membuangmu kembali".
Mengertikah apakah maksud cerita di atas ? Yang dimaksud dengan batu kecil itu adalah kita-kita semua, sedangkan pedagang itu adalah Tuhan sendiri. Kita semua ini buruk dan hina di hadapanNya, namun karena kasihnya itu Dia memoles kita, sehingga kita dijadikannya indah di hadapanNya. Sedangkan yang dimaksud dengan mutiara itu adalah berkat Tuhan bagi kita semua. Siapa yang tidak senang menerima berkat? Berkat itu dapat berupa apa saja dalam kehidupan kita sehari-hari, mungkin berupa kegembiraan, kesehatan, orangtua, saudara dan sahabat, dan banyak lagi. Apakah kita pernah bersyukur, setiap kali kita mendapat berkat itu? Dan apakah kita tetap bersyukur, jika seandainya Tuhan mengambil semuanya itu dari kita? Bukankah semua itu milikNya dan Ia bebas mengambilnya kembali kapanpun Ia mau? Bersyukurlah selalu kepadaNya, karena Dia tidak akan pernah mengecewakan kita semua.
Yer 29:11-12
Bukankah Aku ini mengetahui rencana-rencanaKu kepadamu ? Yaitu rencana keselamatan dan bukannya rencana kecelakaan untuk memberikan kepadamu hari esok yang penuh harapan. Maka kamu akan berseru dan datang kepadaKu untuk berdoa dan Aku akan mendengarkan kamu.
Adakah Tempat di Hatimu untuk Berbuat Kasih?
Kejarlah keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan... (1Tim 6: 11). Itulah pesan Santo Paulus kepada Timotius yang sungguh menarik tapi menantang. Sambil merenungkan kata-kata di atas timbullah beberapa pertanyaan dalam benakku. Mengapa Paulus meninggalkan pesan seperti itu kepada Timotius? Apakah Paulus hanya mau mengingatkan Timotius untuk menjaga imannya atau perbuatan apakah yang telah Timotius lakukan?
Nasihat Paulus kepada Timotius merupakan suatu perhatian yang penuh dengan perasaan dan emosi yang mendalam. Paulus tidak mau supaya sahabatnya, Timotius, terjebak oleh hasrat dan keinginan duniawi. Sebagai seorang sahabat dalam Kristus, Paulus mengajak Timotius untuk memelihara nilai-nilai hakiki yang mana bisa membimbingnya untuk hidup dalam dan seperti Kristus.
Mengejar keadilan, ibadah, kesetiaan, kesabaran dan kelembutan pada dasarnya memiliki unsur perjuangan menuju kehabagiaan dan kekudusan dalam hidup serta keharmonisan dan kepedulian dalam hidup bermasyarakat. Namun demikian terkadang dalam hidup keseharian kita, kita sering berhadapan dengan situasi di mana kepribadian kita dicoba dan hati nurani kita diuji. Pertanyaanya: Adakah tempat di hati kita untuk orang-orang miskin seperti Lazarus yang dilukiskan dalam Injil Lukas 16: 19-31? Adakah kesabaran dalam mendengarkan keluh kesah sesama kita? Di tengah kebisingan hidup, adakah sedetik mungkin untuk merenungkan Kasih Tuhan lewat doa?
Semua pertanyaan ini sering menghantui kita tatkala kita berada dalam persimpangan kehidupan yang tidak menentu. Keputusan kita lalu dipengaruhi oleh kebutuhan jasmani yang mana terkadang kita tidak menyadarinya. Kita memilih untuk congkak hati. Kita memilih untuk tidak melihat kenyataan yang sebenarnya. Namun demikian, tidak tertutup kemingkinan bagi kita untuk memilih jalur kasih. Tuhan selalu menyertai kita kemanapun kita pergi dan di manapun kita berada. Tidak ada kata terlambat bagi Tuhan. KasihNya selalu terbuka bagi kita. Yang terpenting adalah bahwa kita memiliki hasrat dan keinginan untuk kembali kepada cintaNya di saat kita menyadari bahwa drama kehidupan yang telah kita lakonkan, serupa dengan sikap orang kaya yang dikisahkan dalam Injil Lukas di atas.
Akhirnya ajakan Santo Paulus terhadap Timotius untuk memprioritaskan kehendak Tuhan adalah ajakan bagi kita semua untuk hidup di dalam Cinta Tuhan dalam bentuk memperjuangkan keadilan, membangun kehidupan rohani, menjaga kesetiaan dalam persahabatan dengan Tuhan dan sesama, meningkatkan rasa kesabaran serta mecairkan kebekuan hati kita dalam sikap kelembutan terhadap orang ysng membutuhkan. Tujuan dari semuanya ini adalah untuk menghindari sikap acuh tak acuh. Dengan kemikian kita bisa mengatakan: I am experiencing living in heaven before I reach it. Atau seperti kata St. Therese dari Lisieux: I want to spend my heaven doing good on earth... Amin
Frt. Tony
Email: afaelton@yahoo.com
Nasihat Paulus kepada Timotius merupakan suatu perhatian yang penuh dengan perasaan dan emosi yang mendalam. Paulus tidak mau supaya sahabatnya, Timotius, terjebak oleh hasrat dan keinginan duniawi. Sebagai seorang sahabat dalam Kristus, Paulus mengajak Timotius untuk memelihara nilai-nilai hakiki yang mana bisa membimbingnya untuk hidup dalam dan seperti Kristus.
Mengejar keadilan, ibadah, kesetiaan, kesabaran dan kelembutan pada dasarnya memiliki unsur perjuangan menuju kehabagiaan dan kekudusan dalam hidup serta keharmonisan dan kepedulian dalam hidup bermasyarakat. Namun demikian terkadang dalam hidup keseharian kita, kita sering berhadapan dengan situasi di mana kepribadian kita dicoba dan hati nurani kita diuji. Pertanyaanya: Adakah tempat di hati kita untuk orang-orang miskin seperti Lazarus yang dilukiskan dalam Injil Lukas 16: 19-31? Adakah kesabaran dalam mendengarkan keluh kesah sesama kita? Di tengah kebisingan hidup, adakah sedetik mungkin untuk merenungkan Kasih Tuhan lewat doa?
Semua pertanyaan ini sering menghantui kita tatkala kita berada dalam persimpangan kehidupan yang tidak menentu. Keputusan kita lalu dipengaruhi oleh kebutuhan jasmani yang mana terkadang kita tidak menyadarinya. Kita memilih untuk congkak hati. Kita memilih untuk tidak melihat kenyataan yang sebenarnya. Namun demikian, tidak tertutup kemingkinan bagi kita untuk memilih jalur kasih. Tuhan selalu menyertai kita kemanapun kita pergi dan di manapun kita berada. Tidak ada kata terlambat bagi Tuhan. KasihNya selalu terbuka bagi kita. Yang terpenting adalah bahwa kita memiliki hasrat dan keinginan untuk kembali kepada cintaNya di saat kita menyadari bahwa drama kehidupan yang telah kita lakonkan, serupa dengan sikap orang kaya yang dikisahkan dalam Injil Lukas di atas.
Akhirnya ajakan Santo Paulus terhadap Timotius untuk memprioritaskan kehendak Tuhan adalah ajakan bagi kita semua untuk hidup di dalam Cinta Tuhan dalam bentuk memperjuangkan keadilan, membangun kehidupan rohani, menjaga kesetiaan dalam persahabatan dengan Tuhan dan sesama, meningkatkan rasa kesabaran serta mecairkan kebekuan hati kita dalam sikap kelembutan terhadap orang ysng membutuhkan. Tujuan dari semuanya ini adalah untuk menghindari sikap acuh tak acuh. Dengan kemikian kita bisa mengatakan: I am experiencing living in heaven before I reach it. Atau seperti kata St. Therese dari Lisieux: I want to spend my heaven doing good on earth... Amin
Frt. Tony
Email: afaelton@yahoo.com
Adakah Pintu bagiku
Perempuan di depanku wajahnya kuyu. Rambutnya agak acak-acakan, mungkin terkena angin dan tidak disisir lagi. Ada lingkaran hitam di sekitar matanya, mungkin kurang tidur, pikirku. Sebentar-sebentar dia melepaskan kaca matanya untuk menghapus air mata. Sudah berlembar-lembar tissue dia gunakan untuk mengeringkan air matanya. Aku hanya diam. Aku selalu tidak tahu apa yang harus aku katakan atau lakukan jika sudah menghadapi hal seperti ini. Kuhisap rokokku sambil menanti perempuan ini selesai menangis. Kubiarkan dia menumpahkan kesedihannya dalam tangis.
Setelah sesaat mulailah dia bercerita. Dia memperkenalkan namanya Retno dan berasal dari Sragen. Sudah hampir dua tahun lebih dia bekerja sebagai SPG (Sales Promotion Girl) di sebuah perusahaan kosmetik. Tuntutan pekerjaan membuat dia berani tampil modis. Memakai pakai yang mini dan make up tebal. Padahal sebetulnya dia tidak suka dengan semua itu. Dia pun harus berani menawarkan produknya pada siapa saja yang lewat di dekatnya. Tidak jarang dia digoda oleh kaum pria yang iseng.
Bahkan lebih parah lagi dia pernah diajak tidur. Seolah dia adalah perempuan murahan.
Semula dia menolak. Namun tuntutan untuk bisa hidup lebih layak dan keluhan dari orang tuanya yang miskin di Sragen, membuatnya terjebak. Suatu kali orang tuanya sakit keras dan membutuhkan biaya untuk perawatan di rumah sakit. Uang pensiun ayahnya yang hanya pegawai rendah di kecamatan, tidak cukup untuk membayar biaya rumah sakit. Jangankan membayar rumah sakit, untuk makan sebulan saja sudah tidak cukup. Dua kakaknya lelaki sudah menikah dan ekonomi mereka tidak jauh berbeda dengan orang tuanya. Dengan demikian kedua kakaknya tidak bisa diharapkan lagi untuk membantu orang tuanya.
Dalam kebingungannya seorang teman secara kasak kusuk menawarinya untuk menerima saja ajakan seorang pria. Setelah mengalami konflik batin akhirnya Retno menanggapi tawaran temannya itu. Uang yang diperoleh cukup besar, bahkan melebihi gajinya sebulan. Pertama dia melakukan hal
itu, timbul kegundahan dalam hati. Selama beberapa hari dia gelisah. Akhirnya dia memutuskan untuk meneruskan pekerjaan itu. Kalau dia berhenti, toh dia sudah tidak perawan lagi. Sudah tidak akan ada lagi pria yang sudi menerimanya. Dia sudah kotor dan menjijikan. Perempuan rendahan yang tidak punya susila dan moral. Perempuan yang bisa dibeli.
Selama hampir setahun Retno melakukan pekerjaan ganda. Secara materi dia jauh lebih baik dibanding saudara-saudaranya. Dia mampu mengirim uang pada orang tuanya setiap bulan. Dia bisa membeli berbagai perhiasan. Bajunya cukup bagus. Dia sudah bisa kontrak rumah, semula dia hanya kost di sebuah kamar ukuran 2X3. Tapi dia sering gelisah. Dia takut orang tuanya tahu apa sebenarnya pekerjaannya. Dia tidak tahan selalu berbohong pada orang tuanya. Dia ingin cerita apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia tidak berani.
Suatu hari kakaknya mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan Retno di Surabaya. Ayah dan ibunya sangat terpukul. Dengan menangis Retno menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Dia menceritakan mengapa dia melakukan semua itu. Ayahnya sangat marah mendengar penuturannya. Dia
tidak mau menerima apapun alasan yang dikatakan Retno. Baginya pekerjaan Retno sangat memalukan dan merendahkan martabat keluarga. Dia lebih baik mati dari pada sembuh dengan uang hasil dari perbuatan seperti itu. Retno terpuruk. Pengorbanannya selama ini hanya menghasilkan caci maki
dan perkataan yang sangat menyakitkan hati. Tapi dia berusaha menerima semuanya itu. Caci maki ayahnya tidak hanya berhenti pada hari itu, namun terus dilanjutkan setiap ada kesempatan. Hal ini membuat Retno tidak tahan di rumah. Dia pergi kembali ke Surabaya. Tangisan ibunya
tidak dia perhatikan lagi. Ibunya memang berusaha untuk memahami keputusan Retno, namun dia juga tidak kuasa akan kekerasan hati suaminya.
Namun di Surabaya Retno sudah memutuskan untuk melepaskan pekerjaannya. Dia ingin bekerja yang lain, meski harus mulai lagi dari nol dan gaji yang kecil. Dia tidak peduli. Keluar dari pekerjaan seperti ini ternyata tidak mudah. Beberapa pria masih berusaha menghubunginya lagi dengan segala rayuan. Teman-temannya juga tidak bisa mengubah pandangannya bahwa sekarang dia sudah ingin berhenti. Teman-temannya masih menganggap bahwa dia masih Retno yang dulu. Retno yang bisa dibawa oleh siapa saja yang punya uang. Retno murahan. Retno yang PS (pekerja seks).
Begitu sulitkah orang yang ingin bertobat? Apakah sekali orang jatuh dia akan selamanya jatuh? Begitu keluhnya. Aku diam. Banyak orang menilai seseorang dari masa lalunya. Dia mengikat orang pada masa lalunya. Sekali orang berbuat jahat, senantiasa dia akan dicurigai berbuat jahat.
Dulu temanku seorang preman juga mau bertobat, tapi tidak mudah. Dia harus berhadapan dengan teman-temannya sendiri. Dia sampai dipukuli oleh teman-temannya, sebab dia berani melarang temannya yang akan mencopet seorang ibu. Pertobatan ternyata membutuhkan keteguhan dan keberanian.
Aku pikir jika Retno tidak tabah, maka dia akan jatuh kembali pada masa lalunya. Kini dia sudah berani untuk hidup serba kekurangan, namun teman-temannya dan keluarganya tidak bisa melepaskan dia dari masa lalunya. Dia sulit untuk melepaskan predikatnya sebagai PS.
Banyak orang menyerukan agar seorang pendosa bertobat, tapi banyak orang juga sulit untuk menerima orang yang bertobat. Seolah dia menawarkan pintu tobat, namun ketika orang yang berdosa datang, segera pintu itu ditutup kembali rapat-rapat. Pandangan penuh kecurigaan,
ketidakpercayaan, pengungkitan masa lalu dan masih banyak kata dan sikap yang membuat seorang yang dicap pendosa merasa rendah dan merasa sia-sia pertobatannya. Buat apa bertobat jika semua orang masih memandangnya seperti dia yang dulu? Orang bertemu Yesus bisa bertobat, sebab Yesus
tidak mengungkit lagi masa lalunya. Maria Magdalena yang dulu dibebaskan dari 7 roh jahat, ternyata diijinkan mengikuti dan melayani Dia.
Ternyata Maria Magdalena pula yang mendapatkan penampakan pertama ketika Yesus bangkit. Aku hanya mengandaikan seandainya semua orang berani melihat orang pada saat ini. Orang berani melepaskan orang dari masa lalunya yang kelam. Orang masih berani dan memberikan kepercayaan pada orang-orang yang pernah jatuh untuk memulai suatu hidup baru. Tentu akan banyak orang yang bertobat. Aku sadar aku pun sering melihat orang dari masa lalunya. Aku sering tidak iklas dan curiga ketika orang yang dulu pernah menipuku datang lagi untuk pinjam uang. Aku selalu langsung menuduhnya bahwa uang itu pasti tidak akan dikembalikan lagi. Jangankan sampai pinjam, baru mendengar orang itu datang saja aku sudah mengadilinya bahwa dia akan menipuku lagi. Aku tidak memberikan kepercayaan padanya. Padahal aku menyerukan agar orang bertobat.
Seandainya aku jadi Retno, aku juga akan pedih. Mungkin aku tidak tahan menahan pandangan orang yang melecehkanku karena masa laluku. Dulu aku juga pernah jengkel, ketika teman-temanku semasa sekolah meragukanku menjadi seorang imam, sebab dulu aku bukan anak yang soleh dan alim. Aku
bersama teman-teman pernah mencuri ikan di tambak sampai pemiliknya merampas semua pakaian kami, sehingga kami pun harus telanjang bulat masuk kampung. Aku bersama teman-teman pernah ketangkap ketika sedang mencuri jambu air di rumah tetangga. Aku pernah dicaci maki seorang ibu
ketika bersama teman-teman menggoda anak gadisnya yang sedang berjalan bersamanya. Aku bersama teman-teman pernah diskors sebab tawuran ketika main sepak bola antar kelas. Kenakalan seperti ini saja membuat orang tidak percaya bahwa aku sekarang memilih jalan hidup seperti ini,
apalagi orang yang mempunyai masa lalu seperti Retno.
Yesus mengajarkan pengampunan sampai 70X7 kali. Namun itu tampaknya berat. Dia menunjukan bahwa sering kita mohon ampun pada Allah, namun kita tidak bisa mengampuni orang lain. Bahkan mengadili pendosa lebih kejam lagi (Mat 18:21-35). Apakah pintu tobat hanya terbuka jika kita
berhadapan dengan Allah? Atau apakah hanya Allah yang sanggup memberikan peluang bagi orang yang ingin bertobat untuk memulai hidup baru? Apakah kita tidak bisa sedikit membuka pintu tobat bagi orang berdosa? Beranikah kita menerima Zakheus seperti Yesus menerimanya?
Yesus menghendaki agar kita mencari orang berdosa dan membawanya kembali kejalan yang benar. Kesukacitaan satu orang yang bertobat seperti kesukacitaan seorang menemukan kembali dirhamnya yang hilang. Bahkan Yesus berani meninggalkan 99 dombaNya demi mencari satu yang tersesat.
Beranikah kita mencari domba yang tersesat dengan meninggalkan 99 domba yang kita miliki. Aku sering enggan untuk melakukan ini. Bagiku lebih enak bergaul dengan 99 domba itu dari pada susah payah mencari satu yang hilang. Kalau toh yang hilang itu kembali aku akan memarahinya mengapa
dia meninggalkan kelompoknya. Ini lain sekali dengan gambaran bapa yang baik hati. Dia tidak pernah menanyakan mengapa anaknya bisa berbuat jahat seperti itu. Dia tidak pernah menanyakan digunakan apa saja uang warisan yang dimintanya dulu. Hati bapa sangat suka cita begitu melihat
anaknya kembali. Betapa indahnya peristiwa ini. Bapa ini bisa melepaskan masa lalu anaknya. Dia hanya memandang penyesalan dan ketulusan anaknya untuk kembali.
Retno hanyalah salah satu dari sekian banyak orang yang ingin bertobat namun kerap terhalang oleh sikap, pandangan dan gunjingan kita. Aku harus belajar menerima Retno dan menghargai dirinya yang mau bertobat. Memandang Retno yang menyesal dan ingin mengubah hidup. “Ampunilah dosa
kami seperti kami pun mengampuni orang yang bersalah kepada kami.” Semoga hal ini bisa kulakukan dalam masa prapaskah ini.
Setelah sesaat mulailah dia bercerita. Dia memperkenalkan namanya Retno dan berasal dari Sragen. Sudah hampir dua tahun lebih dia bekerja sebagai SPG (Sales Promotion Girl) di sebuah perusahaan kosmetik. Tuntutan pekerjaan membuat dia berani tampil modis. Memakai pakai yang mini dan make up tebal. Padahal sebetulnya dia tidak suka dengan semua itu. Dia pun harus berani menawarkan produknya pada siapa saja yang lewat di dekatnya. Tidak jarang dia digoda oleh kaum pria yang iseng.
Bahkan lebih parah lagi dia pernah diajak tidur. Seolah dia adalah perempuan murahan.
Semula dia menolak. Namun tuntutan untuk bisa hidup lebih layak dan keluhan dari orang tuanya yang miskin di Sragen, membuatnya terjebak. Suatu kali orang tuanya sakit keras dan membutuhkan biaya untuk perawatan di rumah sakit. Uang pensiun ayahnya yang hanya pegawai rendah di kecamatan, tidak cukup untuk membayar biaya rumah sakit. Jangankan membayar rumah sakit, untuk makan sebulan saja sudah tidak cukup. Dua kakaknya lelaki sudah menikah dan ekonomi mereka tidak jauh berbeda dengan orang tuanya. Dengan demikian kedua kakaknya tidak bisa diharapkan lagi untuk membantu orang tuanya.
Dalam kebingungannya seorang teman secara kasak kusuk menawarinya untuk menerima saja ajakan seorang pria. Setelah mengalami konflik batin akhirnya Retno menanggapi tawaran temannya itu. Uang yang diperoleh cukup besar, bahkan melebihi gajinya sebulan. Pertama dia melakukan hal
itu, timbul kegundahan dalam hati. Selama beberapa hari dia gelisah. Akhirnya dia memutuskan untuk meneruskan pekerjaan itu. Kalau dia berhenti, toh dia sudah tidak perawan lagi. Sudah tidak akan ada lagi pria yang sudi menerimanya. Dia sudah kotor dan menjijikan. Perempuan rendahan yang tidak punya susila dan moral. Perempuan yang bisa dibeli.
Selama hampir setahun Retno melakukan pekerjaan ganda. Secara materi dia jauh lebih baik dibanding saudara-saudaranya. Dia mampu mengirim uang pada orang tuanya setiap bulan. Dia bisa membeli berbagai perhiasan. Bajunya cukup bagus. Dia sudah bisa kontrak rumah, semula dia hanya kost di sebuah kamar ukuran 2X3. Tapi dia sering gelisah. Dia takut orang tuanya tahu apa sebenarnya pekerjaannya. Dia tidak tahan selalu berbohong pada orang tuanya. Dia ingin cerita apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia tidak berani.
Suatu hari kakaknya mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan Retno di Surabaya. Ayah dan ibunya sangat terpukul. Dengan menangis Retno menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Dia menceritakan mengapa dia melakukan semua itu. Ayahnya sangat marah mendengar penuturannya. Dia
tidak mau menerima apapun alasan yang dikatakan Retno. Baginya pekerjaan Retno sangat memalukan dan merendahkan martabat keluarga. Dia lebih baik mati dari pada sembuh dengan uang hasil dari perbuatan seperti itu. Retno terpuruk. Pengorbanannya selama ini hanya menghasilkan caci maki
dan perkataan yang sangat menyakitkan hati. Tapi dia berusaha menerima semuanya itu. Caci maki ayahnya tidak hanya berhenti pada hari itu, namun terus dilanjutkan setiap ada kesempatan. Hal ini membuat Retno tidak tahan di rumah. Dia pergi kembali ke Surabaya. Tangisan ibunya
tidak dia perhatikan lagi. Ibunya memang berusaha untuk memahami keputusan Retno, namun dia juga tidak kuasa akan kekerasan hati suaminya.
Namun di Surabaya Retno sudah memutuskan untuk melepaskan pekerjaannya. Dia ingin bekerja yang lain, meski harus mulai lagi dari nol dan gaji yang kecil. Dia tidak peduli. Keluar dari pekerjaan seperti ini ternyata tidak mudah. Beberapa pria masih berusaha menghubunginya lagi dengan segala rayuan. Teman-temannya juga tidak bisa mengubah pandangannya bahwa sekarang dia sudah ingin berhenti. Teman-temannya masih menganggap bahwa dia masih Retno yang dulu. Retno yang bisa dibawa oleh siapa saja yang punya uang. Retno murahan. Retno yang PS (pekerja seks).
Begitu sulitkah orang yang ingin bertobat? Apakah sekali orang jatuh dia akan selamanya jatuh? Begitu keluhnya. Aku diam. Banyak orang menilai seseorang dari masa lalunya. Dia mengikat orang pada masa lalunya. Sekali orang berbuat jahat, senantiasa dia akan dicurigai berbuat jahat.
Dulu temanku seorang preman juga mau bertobat, tapi tidak mudah. Dia harus berhadapan dengan teman-temannya sendiri. Dia sampai dipukuli oleh teman-temannya, sebab dia berani melarang temannya yang akan mencopet seorang ibu. Pertobatan ternyata membutuhkan keteguhan dan keberanian.
Aku pikir jika Retno tidak tabah, maka dia akan jatuh kembali pada masa lalunya. Kini dia sudah berani untuk hidup serba kekurangan, namun teman-temannya dan keluarganya tidak bisa melepaskan dia dari masa lalunya. Dia sulit untuk melepaskan predikatnya sebagai PS.
Banyak orang menyerukan agar seorang pendosa bertobat, tapi banyak orang juga sulit untuk menerima orang yang bertobat. Seolah dia menawarkan pintu tobat, namun ketika orang yang berdosa datang, segera pintu itu ditutup kembali rapat-rapat. Pandangan penuh kecurigaan,
ketidakpercayaan, pengungkitan masa lalu dan masih banyak kata dan sikap yang membuat seorang yang dicap pendosa merasa rendah dan merasa sia-sia pertobatannya. Buat apa bertobat jika semua orang masih memandangnya seperti dia yang dulu? Orang bertemu Yesus bisa bertobat, sebab Yesus
tidak mengungkit lagi masa lalunya. Maria Magdalena yang dulu dibebaskan dari 7 roh jahat, ternyata diijinkan mengikuti dan melayani Dia.
Ternyata Maria Magdalena pula yang mendapatkan penampakan pertama ketika Yesus bangkit. Aku hanya mengandaikan seandainya semua orang berani melihat orang pada saat ini. Orang berani melepaskan orang dari masa lalunya yang kelam. Orang masih berani dan memberikan kepercayaan pada orang-orang yang pernah jatuh untuk memulai suatu hidup baru. Tentu akan banyak orang yang bertobat. Aku sadar aku pun sering melihat orang dari masa lalunya. Aku sering tidak iklas dan curiga ketika orang yang dulu pernah menipuku datang lagi untuk pinjam uang. Aku selalu langsung menuduhnya bahwa uang itu pasti tidak akan dikembalikan lagi. Jangankan sampai pinjam, baru mendengar orang itu datang saja aku sudah mengadilinya bahwa dia akan menipuku lagi. Aku tidak memberikan kepercayaan padanya. Padahal aku menyerukan agar orang bertobat.
Seandainya aku jadi Retno, aku juga akan pedih. Mungkin aku tidak tahan menahan pandangan orang yang melecehkanku karena masa laluku. Dulu aku juga pernah jengkel, ketika teman-temanku semasa sekolah meragukanku menjadi seorang imam, sebab dulu aku bukan anak yang soleh dan alim. Aku
bersama teman-teman pernah mencuri ikan di tambak sampai pemiliknya merampas semua pakaian kami, sehingga kami pun harus telanjang bulat masuk kampung. Aku bersama teman-teman pernah ketangkap ketika sedang mencuri jambu air di rumah tetangga. Aku pernah dicaci maki seorang ibu
ketika bersama teman-teman menggoda anak gadisnya yang sedang berjalan bersamanya. Aku bersama teman-teman pernah diskors sebab tawuran ketika main sepak bola antar kelas. Kenakalan seperti ini saja membuat orang tidak percaya bahwa aku sekarang memilih jalan hidup seperti ini,
apalagi orang yang mempunyai masa lalu seperti Retno.
Yesus mengajarkan pengampunan sampai 70X7 kali. Namun itu tampaknya berat. Dia menunjukan bahwa sering kita mohon ampun pada Allah, namun kita tidak bisa mengampuni orang lain. Bahkan mengadili pendosa lebih kejam lagi (Mat 18:21-35). Apakah pintu tobat hanya terbuka jika kita
berhadapan dengan Allah? Atau apakah hanya Allah yang sanggup memberikan peluang bagi orang yang ingin bertobat untuk memulai hidup baru? Apakah kita tidak bisa sedikit membuka pintu tobat bagi orang berdosa? Beranikah kita menerima Zakheus seperti Yesus menerimanya?
Yesus menghendaki agar kita mencari orang berdosa dan membawanya kembali kejalan yang benar. Kesukacitaan satu orang yang bertobat seperti kesukacitaan seorang menemukan kembali dirhamnya yang hilang. Bahkan Yesus berani meninggalkan 99 dombaNya demi mencari satu yang tersesat.
Beranikah kita mencari domba yang tersesat dengan meninggalkan 99 domba yang kita miliki. Aku sering enggan untuk melakukan ini. Bagiku lebih enak bergaul dengan 99 domba itu dari pada susah payah mencari satu yang hilang. Kalau toh yang hilang itu kembali aku akan memarahinya mengapa
dia meninggalkan kelompoknya. Ini lain sekali dengan gambaran bapa yang baik hati. Dia tidak pernah menanyakan mengapa anaknya bisa berbuat jahat seperti itu. Dia tidak pernah menanyakan digunakan apa saja uang warisan yang dimintanya dulu. Hati bapa sangat suka cita begitu melihat
anaknya kembali. Betapa indahnya peristiwa ini. Bapa ini bisa melepaskan masa lalu anaknya. Dia hanya memandang penyesalan dan ketulusan anaknya untuk kembali.
Retno hanyalah salah satu dari sekian banyak orang yang ingin bertobat namun kerap terhalang oleh sikap, pandangan dan gunjingan kita. Aku harus belajar menerima Retno dan menghargai dirinya yang mau bertobat. Memandang Retno yang menyesal dan ingin mengubah hidup. “Ampunilah dosa
kami seperti kami pun mengampuni orang yang bersalah kepada kami.” Semoga hal ini bisa kulakukan dalam masa prapaskah ini.
Yesus Berkata: 'Inilah ibumu'
Saya bukan Katolik dari lahir, saya menjadi Katolik krn menikah dgn suami saya. Jadi sangat susah untuk saya kalau saya disuruh berdoa Rosario ataupun Salam Maria. Karena saya tidak mengimaninya, buat saya figur Maria, adalah figur Maria, ibu Tuhan Yesus. Dia bukan apa2, tidak ada artinya dlm kehidupan saya. Saya menikah di usia yg sangat muda, jadi sering terjadi konflik diantara suami/istri. Tapi Puji Tuhan saya memiliki anak pertama, wanita, yang sangat lembut hatinya. Dia bagaikan malaikat pelindung saya. Dia selalu menjadi penengah diantara kami. Saya dan anak saya sangat erat hubungannya, bahkan kami bersahabat. Dia adalah anak saya dan sahabat saya. Di buku hariannya dia menulis bahwa ibuku adalah idolaku. Saya memberikan perhatian dan kasih sayang kepada dia secara istimewa tapi dia tidak manja. Karena pada wkt itu saya seorang wanita karir maka pada waktu dia masuk SMA saya masukkan dia ke Asrama Putri Gembala Baik di Bogor, maksud saya supaya dia aman dari pergaulan yg jahat di Jakata.
Pada tgl 12 Jan 1995 siang, saya di telepon anak saya dari Asrama Bgr bhw dia sakit. Lalu segera saya jemput anak saya dan saya masukkan ke RS. Karena tidak ada kamar VIP saya masukkan di kamar bangsal, saya berjanji besok pagi akan saya pindahkan ke kmr VIP jadi saya bisa menunggu. Dia tersenyum dan berkata:"Nggak apa2, mama pulang aja, kan mama capek kerja, nggak usah ditunggu". Dan keadaannya bagus, dokter juga berkata tidak ada yg dikuatirkan. Tapi ternyata, jam 22:00 saya dapat telepon dari RS anak saya koma, dan ANAK SAYA MENINGGAL DUNIA subuh jam 4, diusianya yang ke 16 tahun 5 bln ...... HATI SAYA HANCUR!!!! SAYA KEHILANGAN KEHIDUPAN SAYA!!! Saya membenci semua orang ... juga termasuk Tuhan! Saya tidak terima keadaan ini ... DAN SAYA MENJADI GILA ... Secara phisik saya tidak terlihat gila, tapi kalau saya kumat, saya mengamuk, mencoba bunuh diri, memaki2 dan menangis .... keadaan itu saya alami selama 2 thn. Saya kehilangan pekerjaan saya, anak saya nomor 2 tidak mau tinggal dengan saya karena malu, untung suami saya tabah.
Mula2 dengan sabar dia mengajak saya ke gereja, walaupun kalau mendengar lagu2 gereja dan saya ingat anak saya, maka saya mengamuk dan menangis dengan teriak2 ... tapi lama2 suami saya juga malu. Dia menjual rumah dan mobil kemudian mengajak pindah rumah. Setelah pindah rumah keadaan tidak membaik, saya tetap GILA! Suatu ketika, Paskah th 1997, suami saya tergerak untuk mengajak saya ke gereja mengikuti misa Jumat Agung. Suami saya sudah pasrah dan siap menerima keadaan saya jika saya kumat, tapi tiba2 pada waktu jalan salib berlangsung dan Yesus jatuh ke tiga kalinya, badan saya terasa hangat dan saya merasa Tuhan Yesus berkata:"Inilah ibumu", dan saya waktu itu seolah secara rohani disadarkan bahwa ibu Maria pun sudah terlebih dahulu mengalami hal yg sama dengan saya, yaitu kehilangan Anak yg dikasihinya, tapi ibu Maria menerimanya dengan tabah karena kehendak Bapa. Saya jatuh terduduk dan menangis, suami saya sudah siap2 mengangkat saya keluar gereja takut saya mengamuk, tapi saya berkata tidak biarkan saya sendiri. Saya menangis sampai selesai jalan salib bahkan sampai pulang ke rumah dan tidak mengamuk.
Pada saat itu juga, depresi saya hilang dan saya sadar dari gila saya. Saya memperoleh kehidupan saya lagi, saya kuat menerima kenyataan. Saya mau berkata seperti Bunda Maria: "Terjadilah menurut kehendakMu". Saat itu devosi saya kepada Bunda Maria sangat kuat, saya berdoa Rosario setiap pagi dengan rajin. Saya mengasihi dia. Bunda Maria adalah figur yg bisa mengembalikan kehidupan saya ... Kini saya adalah seorang ibu yg berbahagia, krn Tuhan mengaruniai saya 2 anak, Puji Tuhan. Dan saya berbahagia karena saya memiliki seorang ibu yg selalu mendoakan saya agar saya selalu dekat dengan Sang Terang Yesus Kristus, putranya..... Sungguh saya mau berkata:"Bunda Maria, aku mengasihimu ...."
G Ria Diana
Pada tgl 12 Jan 1995 siang, saya di telepon anak saya dari Asrama Bgr bhw dia sakit. Lalu segera saya jemput anak saya dan saya masukkan ke RS. Karena tidak ada kamar VIP saya masukkan di kamar bangsal, saya berjanji besok pagi akan saya pindahkan ke kmr VIP jadi saya bisa menunggu. Dia tersenyum dan berkata:"Nggak apa2, mama pulang aja, kan mama capek kerja, nggak usah ditunggu". Dan keadaannya bagus, dokter juga berkata tidak ada yg dikuatirkan. Tapi ternyata, jam 22:00 saya dapat telepon dari RS anak saya koma, dan ANAK SAYA MENINGGAL DUNIA subuh jam 4, diusianya yang ke 16 tahun 5 bln ...... HATI SAYA HANCUR!!!! SAYA KEHILANGAN KEHIDUPAN SAYA!!! Saya membenci semua orang ... juga termasuk Tuhan! Saya tidak terima keadaan ini ... DAN SAYA MENJADI GILA ... Secara phisik saya tidak terlihat gila, tapi kalau saya kumat, saya mengamuk, mencoba bunuh diri, memaki2 dan menangis .... keadaan itu saya alami selama 2 thn. Saya kehilangan pekerjaan saya, anak saya nomor 2 tidak mau tinggal dengan saya karena malu, untung suami saya tabah.
Mula2 dengan sabar dia mengajak saya ke gereja, walaupun kalau mendengar lagu2 gereja dan saya ingat anak saya, maka saya mengamuk dan menangis dengan teriak2 ... tapi lama2 suami saya juga malu. Dia menjual rumah dan mobil kemudian mengajak pindah rumah. Setelah pindah rumah keadaan tidak membaik, saya tetap GILA! Suatu ketika, Paskah th 1997, suami saya tergerak untuk mengajak saya ke gereja mengikuti misa Jumat Agung. Suami saya sudah pasrah dan siap menerima keadaan saya jika saya kumat, tapi tiba2 pada waktu jalan salib berlangsung dan Yesus jatuh ke tiga kalinya, badan saya terasa hangat dan saya merasa Tuhan Yesus berkata:"Inilah ibumu", dan saya waktu itu seolah secara rohani disadarkan bahwa ibu Maria pun sudah terlebih dahulu mengalami hal yg sama dengan saya, yaitu kehilangan Anak yg dikasihinya, tapi ibu Maria menerimanya dengan tabah karena kehendak Bapa. Saya jatuh terduduk dan menangis, suami saya sudah siap2 mengangkat saya keluar gereja takut saya mengamuk, tapi saya berkata tidak biarkan saya sendiri. Saya menangis sampai selesai jalan salib bahkan sampai pulang ke rumah dan tidak mengamuk.
Pada saat itu juga, depresi saya hilang dan saya sadar dari gila saya. Saya memperoleh kehidupan saya lagi, saya kuat menerima kenyataan. Saya mau berkata seperti Bunda Maria: "Terjadilah menurut kehendakMu". Saat itu devosi saya kepada Bunda Maria sangat kuat, saya berdoa Rosario setiap pagi dengan rajin. Saya mengasihi dia. Bunda Maria adalah figur yg bisa mengembalikan kehidupan saya ... Kini saya adalah seorang ibu yg berbahagia, krn Tuhan mengaruniai saya 2 anak, Puji Tuhan. Dan saya berbahagia karena saya memiliki seorang ibu yg selalu mendoakan saya agar saya selalu dekat dengan Sang Terang Yesus Kristus, putranya..... Sungguh saya mau berkata:"Bunda Maria, aku mengasihimu ...."
G Ria Diana
(kesaksian) DI TENGAH KEBUATAANKU
“Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, Yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah. Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami.” (2 Kor 1:3-4, 4:7)
Salam Sejahtera,
Shalom semua, saya senang sekali bisa berbagi kesaksian hidup saya sebagai seorang tunanetra. Bagaimana Tuhan tetap baik buat saya meski saya harus menjalani hari-hari saya dengan mata yang tidak dapat melihat. Saya berdoa agar kesaksian saya ini bisa menjadi berkat dan semangat bagi teman-teman semua, terlebih buat teman-teman yang sudah Tuhan berikan fisik yang sempurna. Tapi lebih dari semuanya itu, biarlah kesaksian saya ini semata-mata hanya untuk kemuliaan nama Tuhan saja. Karena saya ada hingga saat ini, bukan karena kuat dan gagah saya, melainkan semua hanyalah karena kasih karunia Tuhan yang teramat besar, yang telah dengan setia menemani hari-hari saya dan siap sedia kapan saja untuk menolong saya.
Nama saya Rachel, lahir dan dibesarkan di kota Sukabumi. Kini usia saya 26 tahun. Saya baru ke Jakarta sejak kuliah, tidak dengan orang tua.
Nah, sekarang saya akan mulai bercerita apa adanya. Kalau bisa teman-teman siapin secangkir kopi saja dulu biar tetap segar saat membaca cerita saya yang puanjang ini, he he he..!! Oh ya, sebelumnya saya mau jelaskan dulu kalau saya mengetik kesaksian saya ini menggunakan laptop yang sudah di install sebuah program yang namanya JAWS. Dialah yang selalu setia membantu saya membaca ataupun menulis, karena setiap huruf yang saya tulis akan dia bacakan dengan lafalnya yang masih inggris, semua program di komputerpun akan dia bacakan sehingga teman-teman tunanetra seperti saya bisa mengoperasikan komputer seperti layaknya teman-teman non tunanetra lainnya.
Saya dilahirkan sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, kakak saya laki-laki dan adik saya perempuan. Saya dilahirkan sebagai bayi yang sehat tak kekurangan suatu apapun, mata saya jernih dan bersinar seperti bayi-bayi lainnya. Seturut bergulirnya waktu, sayapun bertumbuh menjadi seorang gadis kecil yang lincah, barlarian kesana-kemari, merasakan indahnya dunia bermain saya. Tetapi ketika saya hendak masuk ke kelas satu SD, kira-kira usia saya saat itu belum genap 6 tahun, saya mulai menampakkan tingkah laku yang ganjil. Saya mulai sering menabrak barang-barang kecil yang ada di depan saya, saat menonton TV-pun mata saya begitu dekat dengan layar televisi. Ibu saya mencoba mengajari saya membaca, tapi yang saya lihat hanyalah gumpalan-gumpalan hitam yang bergaris-garis. Lantas saja orang tua saya heran tak karuan. Akhirnya mereka membawa saya ke doktor mata di Sukabumi, semua ukuran kacamata mulai dari yang tipis hingga yang tebal dicobakan ke mata saya, tapi semuanya itu tak berpengaruh bagi penglihatan saya, hingga membuat doktor itu jadi ikut-ikutan bingung. Tidak putus asa, orang tua sayapun terus membawa saya berobat ke Jakarta, tujuh doktor kami datangi, tapi semua angkat tangan dengan kasus mata saya. Hingga akhirnya kami sampai pada doktor terakhir yang mengatakan kepada orang tua saya bahwa mata saya akan buta dan menyarankan agar orang tua saya segera mengirim saya ke SLBA (Sekolah Luar Biasa untuk penyandang tunanetra). Mendengar itu, orang tua sayapun menjadi shock berat, tak pernah disangkanya kalau anak kedua mereka akan menjadi seorang penyandang tunanetra. Setelah hari itu, ibu saya sering menemukan ayah sedang membenturkan kepalanya ke tembok, seakan begitu putus asa dan tak punya lagi pengharapan. Memang saat itu ayah belum mengenal Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Karena itu ibu yang sudah mengenal Tuhan Yesus sebagai sumber pengharapannya, terus mendampingi dam memberikan kekuatan kepada ayah.
Begitulah, sementara ibu terus bergumul dalam doanya untuk ayah agar mau menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya, tapi bukannya jawaban doa yang dia terima, melainkan kenyataan pahit bahwa anak keduanya buta. Memang terkadang pikiran Tuhan begitu dalam hingga tak dapat terselami, jalanNYA bukanlah jalan kita, rencanaNYA bukanlah rencana kita, tapi satu yang saya tahu dan yakini bahwa Tuhan tidak pernah merancangkan sesuatu yang buruk bagi anak-anakNYA, melainkan rancangan yang penuh damai sejahtera untuk memberikan hari depan yang penuh pengharapan (Yer 29:11).
Dan inilah jawaban Tuhan bagi doa ibu. Hingga pada suatu hari, ayah berkata kepada ibu: “Kalau memang benar Tuhan yang kamu sembah itu adalah Tuhan yang hidup, tolong nyatakan pada anak ini, saya tidak mau kalau sampai anak ini di masukan ke SLBA!”
Akhirnya ibu mendaftarkan saya ke salah satu sekolah swasta terbaik di Sukabumi. Awalnya tak mudah bagi saya untuk menyesuaikan diri di lingkungan yang baru dengan keterbatasan penglihatan yang saya miliki. Saya di tempatkan di deretan bangku paling depan, tetapi untuk membaca tulisan yang ada di papan tulis, saya harus tetap berlari ke dekat papan tulis itu dan kemudian kembali ketempat duduk saya untuk menuliskannya ke dalam buku catatan saya. Begitulah yang terus saya lakukan sampai semua tulisan yang ada di papan tulis selesai saya catat. Sementara untuk membaca tulisan yang ada di buku saya menggunakan alat bantu kaca pembesar, sehingga membaca saya menjadi lambat. Sering kali saat pulang sekolah ibu menemukan saya sedang menangis di dekat papan tulis karena belum dapat menyelesaikan catatan saya sementara teman-teman saya yang lain sudah pulang.
Banyak sekali tantangan dan hambatan yang harus saya lalui, baik dari teman-teman yang sering mengejek saya, bermainpun tak lagi selincah anak-anak lain, maupun dari sistem pengajaran yang memang tidak di khususkan bagi anak tunanetra seperti saya, jadi mau tak mau saya harus berusaha untuk menyesuaikan dengan sistem pengajaran mereka agar tidak ketinggalan pelajaran. Tak jarang nilai-nilai pelajaran saya menjadi buruk karena saat ujian saya sering tidak dapat menyelesaikannya karena lambatnya saya membaca sementara waktu yang di sediakan sangat terbatas. Sering saya merasa sedih dan malu dengan keadaan mata saya yang lain dari pada yang lain, sehingga sering saya mencoba menutupi kecacatan saya itu dengan menyembunyikan setiap kesulitan-kesulitan yang ada dihadapan saya, saya tidak mau diperlakukan berbeda dengan teman-teman, jadi saya berusaha sekuatnya agar saya tetap sama dengan kondisi mereka, jika teman saya bermain lompat tali atau benteng-bentengan, atau petak umpet, saya akan tetap ikut walupun akhirnya saya harus juga mengalah untuk hanya menjadi anak bawang. Kalau mereka disuruh membaca bergiliran oleh guru, sayapun harus membaca seperti mereka, walaupun akhirnya saya menjadi bahan tertawaan teman-teman karena baca saya sangat lambat dan sering salah-salah, sehingga sering tangan saya menjadi gemetaran dan mengeluarkan keringat dingin. Buat saya membaca adalah kegiatan yang sangat menakutkan dan melelahkan. Tapi Tuhan begitu baik, tidak pernah sedetikpun Ia meninggalkan saya. Meski berat hari-hari yang harus saya jalani tapi tangan Tuhan selalu menopang saya sehingga membuat kaki saya tetap kuat untuk berpijak dan melanjutkan langkah hidup saya bersama dengan Dia yang dengan setia menggendong saya. Tahun demi tahun saya lalui tanpa saya harus tinggal kelas. Melihat itu, ayah memutuskan untuk menerima Tuhan Yesus menjadi Tuhan dan Juru Selamat pribadinya. Itulah mujizat pertama yang keluarga saya terima.
Ketika saya harus mengikuti EBTANAS di kelas 6, tiba-tiba kepala sekolah melarang saya untuk mengikutinya, dengan alasan takut kalau-kalau NEM sekolah menjadi NEM terendah di antara sekolah-sekolah lainnya hanya gara-gara anak tunanetra yang satu ini. Tapi orang tua saya tidak mengalah begitu saja, akhirnya dengan doa dan kegigihan mereka, saya diijinkan mengikuti EBTANAS itu. Dipikiran saya saat itu yang penting lulus saja saya sudah bersyukur banget. Tapi Tuhan tidak berpikiran seperti itu, Dia tidak pernah mempermalukan anak-anakNYA. Setelah NEM keluar saya sangat tercengang, ternyata Tuhan memberikan saya NEM 42.45, sementara NEM tertinggi di sekolah saya 44._!
Sayapun masuk ke SMP menjadi seorang gadis remaja. Jarak penglihatan saya makin memburuk tetapi masih mampu berjalan sendiri tak perlu di tuntun orang lain. Proteksi saya terhadap kecacatan sayapun semakin ketat, apalagi sebagai gadis remaja saya juga ingin mendapatkan perhatian lebih dari teman lawan jenis, dan itu membuat perasaan sayapun menjadi lebih sensitif. Saya sering menangis sendirian di dalam kamar, bertanya-tanya mengapa Tuhan tega memberikan mata seperti ini kepada saya, sementara kakak dan adik saya tidak perlu mengalami keterbatasan penglihatan seperti yang saya alami. Sering saya marah pada Tuhan karena ketidakadilanNYA ini. Sering saya berpikir tentang masa depan saya, bagaimana saya bisa bekerja, apakah saya akan terus bergantung pada orang tua saya, tak mampu hidup mandiri, dan apa mungkin ada cowok yang mau menikahi seorang gadis cacat seperti saya. Pikiran-pikiran seperti itulah yang membuat saya merasa sedih dan frustasi. Tapi biasanya saya tidak mau membiarkan diri saya berlarut-larut dalam kesedihan saya, secepat saya memikirkannya secepat itu pula saya berusaha melupakannya. Saya sadar kalau bukan karena turut campur tangan Tuhan, saya tidak mungkin kuat menghadapi semuanya ini sendiri. Saya tahu ada Roh Kudus yang selalu menolong, menghibur, dan memberikan kekuatan kepada saya.
Waktu Smp, ibu saya membelikan saya sebuah kacamata berteropong yang memang dirancang untuk anak-anak tunanetra yang masih memiliki sedikit penglihatan seperti saya.(jenis tunanetra ada 2 macam, totally blind adalah tunanetra yang sudah total atau yang sama sekali sudah tidak dapat melihat apa-apa termasuk cahaya. Sementara low vision adalah tunanetra yang masih memiliki sisa panglihatan di bawah normal (saya masih termasuk yang low vision) ). Kacamata berteropong itu bisa membantu saya melihat dari jarak tertentu dan di dalamnya sudah di berikan kaca pembesar sehingga setiap objek yang di tangkap oleh lensa teropong itu bisa terlihat lebih dekat dan membesar. Saya gunakan kacamata teropong itu untuk membaca tulisan yang ada di papan tulis sehingga saya tak perlu lagi mondar-mandir dari meja ke papan tulis. Tapi kacamata itu begitu berat dan besar sahingga membuat mata saya cepat lelah dan tentu saja memaksa saya untuk menahan malu di depan teman-teman saya, apalagi di depan cowok incaran saya. Tetapi kemampuan saya membaca dengan alat itupun tidak bertahan lama, penglihatan saya terus menurun. Saya mengandalkan teman-teman saya untuk membantu membacakan setiap tulisan yang ada di papan tulis, meski terkadang ada juga teman yang menolak dengan alasan sedang malas. Kegiatan menangis sendiri di dalam kamarpun semakin padat dan intonasi nada menangisnyapun semakin bervariasi. Saya tidak mau kalau hobi saya menangis sampai diketahui orang lain apalagi orang tua saya. Jadi setiap kepedihan, ketakutan, keputusasaan, dan jeritan hati sayapun hanya saya tujukan pada Tuhan. Tapi semakin saya menjerit dalam hati, saya semakin merasakan Tuhan dekat dengan saya, semakin saya sering protes sama Tuhan, semakin hati saya merasa sangat bersalah. Tapi lewat semuanya itu, Tuhan tidak pernah marah pada saya, malah saya semakin merasakan Tuhan tambah sayang pada saya. Karenanya, saya berusaha sebisa mungkin untuk tidak lagi menyalahkan, apalagi sampai marah pada Tuhan, saya menganggap kalau sampai saya melakukan hal itu lagi berarti saya termasuk orang yang tidak tahu terimakasih.
Orang tua saya mencoba mengajak saya lagi berobat ke luar negeri, ke Singapura dan ke Belanda. Tapi tak satupun doktor atau profesor mata yang sanggup menolong saya. Mulai saat itu saya memastikan pada diri sendiri bahwa tidak ada lagi yang dapat menolong saya selain Tuhan, karena itu saya mulai belajar untuk berserah penuh pada keputusanNya.
Lulus SMP, saya mendaftarkan diri ke SMU. Tapi belum apa-apa kepala sekolah SMU sudah menolak saya dengan alasan belum pernah punya pengalaman menerima murid cacat. Tapi waktu Tuhan selalu tepat. Calon kepala sekolah baru yang akan menggantikan kepala sekolah yang menolak saya itu di tahun ajaran baru, lebih optimis terhadap saya sehingga dialah yang memperjuangkan saya di depan kepala sekolah yang lama. Akhirnya sayapun masuk ke SMU itu, belajar seperti anak-anak lainnya. Saya senang bersekolah di sana, karena selain teman-temannya yang baik-baik, mereka juga senang menolong saya. Mereka mengatakan kalau saya adalah seorang gadis yang cantik, tentu saja hal itu membuat saya menjadi lebih percaya diri, apalagi dalam hal mencari pacar seperti teman-teman perempuan yang lain. Sayapun semakin bisa menerima diri apa adanya dengan segala kecacatan yang saya miliki, saya tidak malu lagi mengatakan kalau mata saya tidak bisa melihat. Sayapun meminta ijin kepada ibu untuk belajar huruf braille, dan ibupun segera mencarikan saya seorang guru SLBA untuk mengajari saya membaca dan menulis dengan jari-jari saya. Sayapun mulai mengenal banyak teman-teman tunanetra di SLBA. Hati saya begitu senang seakan saya sudah menemukan dunia saya sendiri, ternyata banyak sekali teman-teman yang juga mengalami kecacatan seperti yang saya alami. Banyak sekali hal-hal baru yang saya terima dari mereka, bagaimana cara mereka berjalan sendiri dengan tongkat mereka, bagaimana cara mereka membersihkan rumah, memasak, dan permainan-permainan apa saja yang biasa mereka lakukan, dan masih banyak lagi hal-hal lain yang membuat saya begitu tertarik untuk mempelajarinya. Sayapun menjadi sering bermain ke SLBA itu dengan diantar dan dijemput oleh orang tua saya. Tapi pada suatu hari orang tua saya tiba-tiba melarang saya untuk bermain ke sana, mereka berkata bahwa saya berbeda dengan teman-teman di SLBA itu. Saya benar-benar merasa sedih dan seketika itu juga rasa sepi seakan kembali menyergap hati saya, seolah-olah saya telah kehilangan seorang sahabat terbaik yang sudah lama saya cari dan berhasil saya temukan tapi dengan secepat kilat juga ia kembali pergi meninggalkan saya seorang diri. ternyata orang tua saya belum juga bisa mengakui kalau anaknya adalah seorang tunanetra. Tapi itu semua proses...
Ketika saya lulus SMU dan harus pindah ke Jakarta untuk melanjutkan ke Universitas, dan saat itu kami masih kebingungan memilih universitas yang bisa menerima saya. Suatu hari ibu melihat seorang tunanetra bergelar S2 sedang diwawancarai di salah satu stasiun televisi perihal PEMILU, segera ibu menghubungi stasiun TV itu untuk menanyakan nomor telepon tunanetra tersebut, dengan cara begitu, akhirnya saya dan ibu berhasil menemui tunanetra itu yang ternyata seorang dosen honorer di salah satu Universitas Katolik di Jakarta dan juga ketua dari sebuah yayasan tunanetra di bawah Lembaga Daya Darma KAJ, bernama Laetitia (Laetitia berarti ‘Gembira’, berlokasi di Jakarta pusat).
Singkatnya, pada tahun 1999 sayapun mendaftar di Universitas Katolik AtmaJaya mengambil jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan. Selain itu, saya juga tergabung dalam keanggotaan Laetitia. Teman-teman tunanetranya lebih banyak dari pada di SLBA Sukabumi, sayapun kembali senang bukan kepalang, dan ternyata orang tua sayapun tidak lagi melarang saya untuk bermain dengan mereka, malah orang tua saya juga terlihat begitu bersimpatik dengan teman-teman tunanetra yang sangat luar biasa itu. Diam-diam orang tua saya mulai bisa menerima keadaan saya yang sebenarnya sebagai tunanetra, merekapun tidak malu lagi untuk mengatakan kepada khalayak umum bahwa anak kedua mereka adalah seorang tunanetra, tetapi malah mereka bangga dengan anak keduanya yang meski tidak melihat tapi bisa berkuliah dan bisa bersaing dengan mahasiswa lainnya yang noncacat.
Di kampus, saya belajar seperti mahasiswa lainnya, dalam ruangan yang sama dan sistem pengajaran yang sama pula, tidak ada perlakuan khusus untuk saya. Saya merekam setiap pengajaran dosen di kelas ke dalam pita kaset dengan menggunakan tape recorder, demikian juga dengan buku-buku atau catatan-catatan, tapi ada juga yang saya tulis dalam huruf braille. Hanya saat quiz atau ujian, biasanya saya di bantu oleh orang dari sekretariat kampus atau teman-teman dari pastoran kampus untuk membacakan soal-soal dan kemudian menuliskan jawaban yang saya berikan dengan lisan ke dalam lembar jawaban. Kesulitannya adalah pada saat membuat gambar atau grafik-grafik, biasanya saya menggambarkannya di telapak tangan mereka dengan jari telunjuk saya, setelah mereka paham, barulah mereka mencoba untuk menggambarkannya ke lembar jawaban. Biasanya saya mengerjakan ujian itu di ruang dosen.
Selain itu, teman-teman dari Legio Maria juga sering membantu saya merekamkan buku-buku atau diktat-diktat ke dalam pita kaset. Jadi saya bisa menyelesaikan setiap tugas-tugas kampus dengan rapi dan tepat waktu. Nilai-nilai mata kuliah sayapun cukup memuaskan. Dan pada 15 November 2003 akhirnya saya dapat meraih gelar sarjana S1 saya sebagai sarjana pendidikan (SPD).
Sementara itu saya sedang bergumul dalam doa untuk langkah selanjutnya yaitu pekerjaan, karena banyak sekali teman-teman tunanetra senior saya belum mendapat pekerjaan hanya karena kecacatan mereka. Sudah banyak perusahaan yang menolak mereka padahal gelar sarjana sudah mereka sandang. Jujur saja saya sempat merasa kuatir tentang yang satu ini. Saya hanya bisa menyerahkan semuanya ke dalam tangan Tuhan, saya yakin kalau selama ini Tuhan sudah menyertai langkah hidup saya sampai menjadi seorang sarjana, masakan sekarang saya meragukan Tuhan hanya karena melihat kenyataan yang pahit dari teman-teman tunanetra yang sulit mendapat pekerjaan.
Pada 19 desember masih di tahun 2003, saya diundang oleh sebuah perusahaan besar di Cikarang untuk membagikan kesaksian hidup saya di acara Natal mereka. Tak satupun orang saya kenal di sana, hanya yang mengundang saya saat itu seorang karyawati yang pernah mendengar kesaksian saya sebelumnya di tempat lain.
Saat saya memasuki gedung tempat di mana perayaan Natal itu diselenggarakan, saya mendengar sebuah bisikan ditelinga saya,tapi seperti juga muncul dari dalam hati saya. Bisikan itu berkata “kamu akan bekerja di sini!”. Saya sempat bingung dengan suara itu, tapi pada saat itu saya hanya berpikir bahwa suara itu datang dari hati saya sendiri yang sedang begitu mengharapkan untuk mendapatkan pekerjaan.
Sesuai susunan acara, saya seharusnya di tempatkan di acara terakhir dari acara perayaan. Tapi Tuhan punya rencana lain, karena pembicara pada saat itu terlambat datang, sehingga saya di minta untuk mengisi di awal acara. Ya sudah, jadilah saya bersaksi dan menutupnya dengan satu nyanyian. Setelah saya bersaksi, dilanjutkan dengan acara penyalaan lilin Natal, tiba-tiba owner dari perusahaan tersebut menghampiri saya dan bertanya kepada saya: “Apa kamu sudah bekerja?”
“Belum, pak!” jawab saya.
“Kamu mau kerja?” tanyanya lagi.
“Mau, pak!” kata saya cepat tanpa sedikitpun keraguan, dan inilah jawaban yang saya dengar dari owner itu
“Ya sudah, kamu bekerja dengan saya!”
Seketika itu juga, suara yang tadi saya dengar saat memasuki gedung terngiang kembali di telinga saya. begitu senangnya sampai semuanya terasa seperti mimpi, saya mengerti, ternyata suara tadi pasti dari Tuhan, Tuhan telah memberitahu saya lebih dulu sebelum owner ini memberitahu saya. Tuhan memang benar-benar baik bahkan teramat sangat baik buat saya. Saya benar-benar merasakan sebagai anak Raja. Raja telah memerintahkan owner itu untuk menerima saya bekerja di perusahaan yang besar miliknya. Selesai owner itu berbicara dengan saya, acara di lanjutkan dengan penyampaian khotbah Natal. Selesai khotbah, owner itupun pulang, tidak mengikuti acara sampai akhir. Cara Tuhan dalam menolong saya memang sungguh ajaib.
Begitulah, sekarang sudah 4 tahun saya bekerja di perusahaan Mulia keramik. Pertama sebagai resepsionis di mana pekerjaan saya selain menerima telepon, menghafalkan begitu banyak nomor extention, dan juga harus menghadapi tamu-tamu baik dari lokal maupun dari luar negeri. Hal itu membuat saya semakin berani dalam menghadapi orang banyak.
Walaupun jarak penglihatan saya semakin kabur, tapi saya masih mampu melihat bayang-bayang dan cahaya. Jadi kalau ada tamu yang datang ke depan meja saya saya masih bisa mengetahuinya, meski sering juga teman sekantor yang sedang berdiri di depan meja sayapun, saya kira tamu. Dan bulan agustus kemarin (tahun 2007), saya baru di pindahkan ke bagian recruitment. Saya bekerja dengan menggunakan laptop yang sudah di install program JAWS, seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Selain komputer, program JAWS juga dapat di gunakan pada handphone, hanya namanya saja yang beda, pada HP program bicara itu dinamakan TALK, tapi cara kerjanya sama persis.
Nah, begitulah kira-kira kisah hidup saya. Oh ya, ada yang kelupaan, tentang pacar. Waktu kelas 3 SMU, saya pernah punya pacar. Kata teman saya, wajah pacar saya itu sangat tampan, sehingga banyak teman-teman wanita yang lainpun diam-diam naksir dia. Pacar saya bilang kalau dia sangat sayang pada saya apapun keadaan saya. Tapi selang beberapa waktu, ternyata orang tuanya tidak menyetujui hubungan kami, mereka berkata kepada pacar saya itu kalau saya hanya bisa jadi beban saja. Sakit rasanya mendengar itu. Akhirnya hubungan kamipun tidak berlangsung lama. Waktu saya sudah kuliah di Jakarta, saya memutuskan untuk mengakhiri saja hubungan kami. Meski pahit, harus tetap saya jalani.
Tapi sekarang, Tuhan sudah membawa seorang calon pendamping hidup yang luar biasa. Awalnya dia adalah anggota baru Legio Maria, dan pada suatu hari minggu, teman-teman legio mau mengajak saya pergi jalan-jalan, nah, dia ada di antara mereka. Jadilah kami kenalan di depan pintu rumah saya.beberapa hari kemudian, dia menelepon saya, dan hubungan kamipun semakin dekat. Dia sangat mengasihi Tuhan dan juga sangat menyayangi saya. Dia tidak pernah menganggap kalau kecacatan saya itu sebagai beban atau sesuatu yang memalukan sehingga harus di tutup-tutupi, malah dia begitu bangga mengenalkan saya pada teman-temannya dengan mengatakan “pacar saya ini tunanetra!”. Bukan hanya itu, orang tua dan saudara-saudaranyapun sangat baik terhadap saya, mereka begitu bisa menerima saya apa adanya. Dan tahun ini kami pun akan menikah. Doain ya!
Hampir 26 tahun sudah saya mengalami begitu banyak kebaikan-kebaikan Tuhan. Meski mata saya secara fisik belum sembuh, tapi saya bersyukur karena Tuhan telah lebih dulu mencelikan mata hati saya sehingga saya dapat merasakan betapa baiknya Tuhan dan dapat melihat betapa indahnya rencana Tuhan dalam kehidupan saya dan keluarga. Kalau Tuhan mau menyembuhkan mata saya, detik inipun saya yakin Tuhan sanggup melakukannya, tapi janganlah kehendak saya yang terjadi melainkan biarlah kehendak Tuhan saja yang jadi dalam hidup saya. Yang saya inginkan sekarang adalah menggunakan hidup ini untuk menjadi kemuliaan bagi nama Tuhan.
Akhir kata, saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih karena teman-teman sudah bersedia membaca kesaksian saya yang puanjang kayak gerbong kereta api ini. Kiranya Tuhan selalu memberkati teman-teman sekalian dengan kasih-Nya yang berlimpah-limpah, Amin.
Rachel Stefanie Halim
Salam Sejahtera,
Shalom semua, saya senang sekali bisa berbagi kesaksian hidup saya sebagai seorang tunanetra. Bagaimana Tuhan tetap baik buat saya meski saya harus menjalani hari-hari saya dengan mata yang tidak dapat melihat. Saya berdoa agar kesaksian saya ini bisa menjadi berkat dan semangat bagi teman-teman semua, terlebih buat teman-teman yang sudah Tuhan berikan fisik yang sempurna. Tapi lebih dari semuanya itu, biarlah kesaksian saya ini semata-mata hanya untuk kemuliaan nama Tuhan saja. Karena saya ada hingga saat ini, bukan karena kuat dan gagah saya, melainkan semua hanyalah karena kasih karunia Tuhan yang teramat besar, yang telah dengan setia menemani hari-hari saya dan siap sedia kapan saja untuk menolong saya.
Nama saya Rachel, lahir dan dibesarkan di kota Sukabumi. Kini usia saya 26 tahun. Saya baru ke Jakarta sejak kuliah, tidak dengan orang tua.
Nah, sekarang saya akan mulai bercerita apa adanya. Kalau bisa teman-teman siapin secangkir kopi saja dulu biar tetap segar saat membaca cerita saya yang puanjang ini, he he he..!! Oh ya, sebelumnya saya mau jelaskan dulu kalau saya mengetik kesaksian saya ini menggunakan laptop yang sudah di install sebuah program yang namanya JAWS. Dialah yang selalu setia membantu saya membaca ataupun menulis, karena setiap huruf yang saya tulis akan dia bacakan dengan lafalnya yang masih inggris, semua program di komputerpun akan dia bacakan sehingga teman-teman tunanetra seperti saya bisa mengoperasikan komputer seperti layaknya teman-teman non tunanetra lainnya.
Saya dilahirkan sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, kakak saya laki-laki dan adik saya perempuan. Saya dilahirkan sebagai bayi yang sehat tak kekurangan suatu apapun, mata saya jernih dan bersinar seperti bayi-bayi lainnya. Seturut bergulirnya waktu, sayapun bertumbuh menjadi seorang gadis kecil yang lincah, barlarian kesana-kemari, merasakan indahnya dunia bermain saya. Tetapi ketika saya hendak masuk ke kelas satu SD, kira-kira usia saya saat itu belum genap 6 tahun, saya mulai menampakkan tingkah laku yang ganjil. Saya mulai sering menabrak barang-barang kecil yang ada di depan saya, saat menonton TV-pun mata saya begitu dekat dengan layar televisi. Ibu saya mencoba mengajari saya membaca, tapi yang saya lihat hanyalah gumpalan-gumpalan hitam yang bergaris-garis. Lantas saja orang tua saya heran tak karuan. Akhirnya mereka membawa saya ke doktor mata di Sukabumi, semua ukuran kacamata mulai dari yang tipis hingga yang tebal dicobakan ke mata saya, tapi semuanya itu tak berpengaruh bagi penglihatan saya, hingga membuat doktor itu jadi ikut-ikutan bingung. Tidak putus asa, orang tua sayapun terus membawa saya berobat ke Jakarta, tujuh doktor kami datangi, tapi semua angkat tangan dengan kasus mata saya. Hingga akhirnya kami sampai pada doktor terakhir yang mengatakan kepada orang tua saya bahwa mata saya akan buta dan menyarankan agar orang tua saya segera mengirim saya ke SLBA (Sekolah Luar Biasa untuk penyandang tunanetra). Mendengar itu, orang tua sayapun menjadi shock berat, tak pernah disangkanya kalau anak kedua mereka akan menjadi seorang penyandang tunanetra. Setelah hari itu, ibu saya sering menemukan ayah sedang membenturkan kepalanya ke tembok, seakan begitu putus asa dan tak punya lagi pengharapan. Memang saat itu ayah belum mengenal Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Karena itu ibu yang sudah mengenal Tuhan Yesus sebagai sumber pengharapannya, terus mendampingi dam memberikan kekuatan kepada ayah.
Begitulah, sementara ibu terus bergumul dalam doanya untuk ayah agar mau menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya, tapi bukannya jawaban doa yang dia terima, melainkan kenyataan pahit bahwa anak keduanya buta. Memang terkadang pikiran Tuhan begitu dalam hingga tak dapat terselami, jalanNYA bukanlah jalan kita, rencanaNYA bukanlah rencana kita, tapi satu yang saya tahu dan yakini bahwa Tuhan tidak pernah merancangkan sesuatu yang buruk bagi anak-anakNYA, melainkan rancangan yang penuh damai sejahtera untuk memberikan hari depan yang penuh pengharapan (Yer 29:11).
Dan inilah jawaban Tuhan bagi doa ibu. Hingga pada suatu hari, ayah berkata kepada ibu: “Kalau memang benar Tuhan yang kamu sembah itu adalah Tuhan yang hidup, tolong nyatakan pada anak ini, saya tidak mau kalau sampai anak ini di masukan ke SLBA!”
Akhirnya ibu mendaftarkan saya ke salah satu sekolah swasta terbaik di Sukabumi. Awalnya tak mudah bagi saya untuk menyesuaikan diri di lingkungan yang baru dengan keterbatasan penglihatan yang saya miliki. Saya di tempatkan di deretan bangku paling depan, tetapi untuk membaca tulisan yang ada di papan tulis, saya harus tetap berlari ke dekat papan tulis itu dan kemudian kembali ketempat duduk saya untuk menuliskannya ke dalam buku catatan saya. Begitulah yang terus saya lakukan sampai semua tulisan yang ada di papan tulis selesai saya catat. Sementara untuk membaca tulisan yang ada di buku saya menggunakan alat bantu kaca pembesar, sehingga membaca saya menjadi lambat. Sering kali saat pulang sekolah ibu menemukan saya sedang menangis di dekat papan tulis karena belum dapat menyelesaikan catatan saya sementara teman-teman saya yang lain sudah pulang.
Banyak sekali tantangan dan hambatan yang harus saya lalui, baik dari teman-teman yang sering mengejek saya, bermainpun tak lagi selincah anak-anak lain, maupun dari sistem pengajaran yang memang tidak di khususkan bagi anak tunanetra seperti saya, jadi mau tak mau saya harus berusaha untuk menyesuaikan dengan sistem pengajaran mereka agar tidak ketinggalan pelajaran. Tak jarang nilai-nilai pelajaran saya menjadi buruk karena saat ujian saya sering tidak dapat menyelesaikannya karena lambatnya saya membaca sementara waktu yang di sediakan sangat terbatas. Sering saya merasa sedih dan malu dengan keadaan mata saya yang lain dari pada yang lain, sehingga sering saya mencoba menutupi kecacatan saya itu dengan menyembunyikan setiap kesulitan-kesulitan yang ada dihadapan saya, saya tidak mau diperlakukan berbeda dengan teman-teman, jadi saya berusaha sekuatnya agar saya tetap sama dengan kondisi mereka, jika teman saya bermain lompat tali atau benteng-bentengan, atau petak umpet, saya akan tetap ikut walupun akhirnya saya harus juga mengalah untuk hanya menjadi anak bawang. Kalau mereka disuruh membaca bergiliran oleh guru, sayapun harus membaca seperti mereka, walaupun akhirnya saya menjadi bahan tertawaan teman-teman karena baca saya sangat lambat dan sering salah-salah, sehingga sering tangan saya menjadi gemetaran dan mengeluarkan keringat dingin. Buat saya membaca adalah kegiatan yang sangat menakutkan dan melelahkan. Tapi Tuhan begitu baik, tidak pernah sedetikpun Ia meninggalkan saya. Meski berat hari-hari yang harus saya jalani tapi tangan Tuhan selalu menopang saya sehingga membuat kaki saya tetap kuat untuk berpijak dan melanjutkan langkah hidup saya bersama dengan Dia yang dengan setia menggendong saya. Tahun demi tahun saya lalui tanpa saya harus tinggal kelas. Melihat itu, ayah memutuskan untuk menerima Tuhan Yesus menjadi Tuhan dan Juru Selamat pribadinya. Itulah mujizat pertama yang keluarga saya terima.
Ketika saya harus mengikuti EBTANAS di kelas 6, tiba-tiba kepala sekolah melarang saya untuk mengikutinya, dengan alasan takut kalau-kalau NEM sekolah menjadi NEM terendah di antara sekolah-sekolah lainnya hanya gara-gara anak tunanetra yang satu ini. Tapi orang tua saya tidak mengalah begitu saja, akhirnya dengan doa dan kegigihan mereka, saya diijinkan mengikuti EBTANAS itu. Dipikiran saya saat itu yang penting lulus saja saya sudah bersyukur banget. Tapi Tuhan tidak berpikiran seperti itu, Dia tidak pernah mempermalukan anak-anakNYA. Setelah NEM keluar saya sangat tercengang, ternyata Tuhan memberikan saya NEM 42.45, sementara NEM tertinggi di sekolah saya 44._!
Sayapun masuk ke SMP menjadi seorang gadis remaja. Jarak penglihatan saya makin memburuk tetapi masih mampu berjalan sendiri tak perlu di tuntun orang lain. Proteksi saya terhadap kecacatan sayapun semakin ketat, apalagi sebagai gadis remaja saya juga ingin mendapatkan perhatian lebih dari teman lawan jenis, dan itu membuat perasaan sayapun menjadi lebih sensitif. Saya sering menangis sendirian di dalam kamar, bertanya-tanya mengapa Tuhan tega memberikan mata seperti ini kepada saya, sementara kakak dan adik saya tidak perlu mengalami keterbatasan penglihatan seperti yang saya alami. Sering saya marah pada Tuhan karena ketidakadilanNYA ini. Sering saya berpikir tentang masa depan saya, bagaimana saya bisa bekerja, apakah saya akan terus bergantung pada orang tua saya, tak mampu hidup mandiri, dan apa mungkin ada cowok yang mau menikahi seorang gadis cacat seperti saya. Pikiran-pikiran seperti itulah yang membuat saya merasa sedih dan frustasi. Tapi biasanya saya tidak mau membiarkan diri saya berlarut-larut dalam kesedihan saya, secepat saya memikirkannya secepat itu pula saya berusaha melupakannya. Saya sadar kalau bukan karena turut campur tangan Tuhan, saya tidak mungkin kuat menghadapi semuanya ini sendiri. Saya tahu ada Roh Kudus yang selalu menolong, menghibur, dan memberikan kekuatan kepada saya.
Waktu Smp, ibu saya membelikan saya sebuah kacamata berteropong yang memang dirancang untuk anak-anak tunanetra yang masih memiliki sedikit penglihatan seperti saya.(jenis tunanetra ada 2 macam, totally blind adalah tunanetra yang sudah total atau yang sama sekali sudah tidak dapat melihat apa-apa termasuk cahaya. Sementara low vision adalah tunanetra yang masih memiliki sisa panglihatan di bawah normal (saya masih termasuk yang low vision) ). Kacamata berteropong itu bisa membantu saya melihat dari jarak tertentu dan di dalamnya sudah di berikan kaca pembesar sehingga setiap objek yang di tangkap oleh lensa teropong itu bisa terlihat lebih dekat dan membesar. Saya gunakan kacamata teropong itu untuk membaca tulisan yang ada di papan tulis sehingga saya tak perlu lagi mondar-mandir dari meja ke papan tulis. Tapi kacamata itu begitu berat dan besar sahingga membuat mata saya cepat lelah dan tentu saja memaksa saya untuk menahan malu di depan teman-teman saya, apalagi di depan cowok incaran saya. Tetapi kemampuan saya membaca dengan alat itupun tidak bertahan lama, penglihatan saya terus menurun. Saya mengandalkan teman-teman saya untuk membantu membacakan setiap tulisan yang ada di papan tulis, meski terkadang ada juga teman yang menolak dengan alasan sedang malas. Kegiatan menangis sendiri di dalam kamarpun semakin padat dan intonasi nada menangisnyapun semakin bervariasi. Saya tidak mau kalau hobi saya menangis sampai diketahui orang lain apalagi orang tua saya. Jadi setiap kepedihan, ketakutan, keputusasaan, dan jeritan hati sayapun hanya saya tujukan pada Tuhan. Tapi semakin saya menjerit dalam hati, saya semakin merasakan Tuhan dekat dengan saya, semakin saya sering protes sama Tuhan, semakin hati saya merasa sangat bersalah. Tapi lewat semuanya itu, Tuhan tidak pernah marah pada saya, malah saya semakin merasakan Tuhan tambah sayang pada saya. Karenanya, saya berusaha sebisa mungkin untuk tidak lagi menyalahkan, apalagi sampai marah pada Tuhan, saya menganggap kalau sampai saya melakukan hal itu lagi berarti saya termasuk orang yang tidak tahu terimakasih.
Orang tua saya mencoba mengajak saya lagi berobat ke luar negeri, ke Singapura dan ke Belanda. Tapi tak satupun doktor atau profesor mata yang sanggup menolong saya. Mulai saat itu saya memastikan pada diri sendiri bahwa tidak ada lagi yang dapat menolong saya selain Tuhan, karena itu saya mulai belajar untuk berserah penuh pada keputusanNya.
Lulus SMP, saya mendaftarkan diri ke SMU. Tapi belum apa-apa kepala sekolah SMU sudah menolak saya dengan alasan belum pernah punya pengalaman menerima murid cacat. Tapi waktu Tuhan selalu tepat. Calon kepala sekolah baru yang akan menggantikan kepala sekolah yang menolak saya itu di tahun ajaran baru, lebih optimis terhadap saya sehingga dialah yang memperjuangkan saya di depan kepala sekolah yang lama. Akhirnya sayapun masuk ke SMU itu, belajar seperti anak-anak lainnya. Saya senang bersekolah di sana, karena selain teman-temannya yang baik-baik, mereka juga senang menolong saya. Mereka mengatakan kalau saya adalah seorang gadis yang cantik, tentu saja hal itu membuat saya menjadi lebih percaya diri, apalagi dalam hal mencari pacar seperti teman-teman perempuan yang lain. Sayapun semakin bisa menerima diri apa adanya dengan segala kecacatan yang saya miliki, saya tidak malu lagi mengatakan kalau mata saya tidak bisa melihat. Sayapun meminta ijin kepada ibu untuk belajar huruf braille, dan ibupun segera mencarikan saya seorang guru SLBA untuk mengajari saya membaca dan menulis dengan jari-jari saya. Sayapun mulai mengenal banyak teman-teman tunanetra di SLBA. Hati saya begitu senang seakan saya sudah menemukan dunia saya sendiri, ternyata banyak sekali teman-teman yang juga mengalami kecacatan seperti yang saya alami. Banyak sekali hal-hal baru yang saya terima dari mereka, bagaimana cara mereka berjalan sendiri dengan tongkat mereka, bagaimana cara mereka membersihkan rumah, memasak, dan permainan-permainan apa saja yang biasa mereka lakukan, dan masih banyak lagi hal-hal lain yang membuat saya begitu tertarik untuk mempelajarinya. Sayapun menjadi sering bermain ke SLBA itu dengan diantar dan dijemput oleh orang tua saya. Tapi pada suatu hari orang tua saya tiba-tiba melarang saya untuk bermain ke sana, mereka berkata bahwa saya berbeda dengan teman-teman di SLBA itu. Saya benar-benar merasa sedih dan seketika itu juga rasa sepi seakan kembali menyergap hati saya, seolah-olah saya telah kehilangan seorang sahabat terbaik yang sudah lama saya cari dan berhasil saya temukan tapi dengan secepat kilat juga ia kembali pergi meninggalkan saya seorang diri. ternyata orang tua saya belum juga bisa mengakui kalau anaknya adalah seorang tunanetra. Tapi itu semua proses...
Ketika saya lulus SMU dan harus pindah ke Jakarta untuk melanjutkan ke Universitas, dan saat itu kami masih kebingungan memilih universitas yang bisa menerima saya. Suatu hari ibu melihat seorang tunanetra bergelar S2 sedang diwawancarai di salah satu stasiun televisi perihal PEMILU, segera ibu menghubungi stasiun TV itu untuk menanyakan nomor telepon tunanetra tersebut, dengan cara begitu, akhirnya saya dan ibu berhasil menemui tunanetra itu yang ternyata seorang dosen honorer di salah satu Universitas Katolik di Jakarta dan juga ketua dari sebuah yayasan tunanetra di bawah Lembaga Daya Darma KAJ, bernama Laetitia (Laetitia berarti ‘Gembira’, berlokasi di Jakarta pusat).
Singkatnya, pada tahun 1999 sayapun mendaftar di Universitas Katolik AtmaJaya mengambil jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan. Selain itu, saya juga tergabung dalam keanggotaan Laetitia. Teman-teman tunanetranya lebih banyak dari pada di SLBA Sukabumi, sayapun kembali senang bukan kepalang, dan ternyata orang tua sayapun tidak lagi melarang saya untuk bermain dengan mereka, malah orang tua saya juga terlihat begitu bersimpatik dengan teman-teman tunanetra yang sangat luar biasa itu. Diam-diam orang tua saya mulai bisa menerima keadaan saya yang sebenarnya sebagai tunanetra, merekapun tidak malu lagi untuk mengatakan kepada khalayak umum bahwa anak kedua mereka adalah seorang tunanetra, tetapi malah mereka bangga dengan anak keduanya yang meski tidak melihat tapi bisa berkuliah dan bisa bersaing dengan mahasiswa lainnya yang noncacat.
Di kampus, saya belajar seperti mahasiswa lainnya, dalam ruangan yang sama dan sistem pengajaran yang sama pula, tidak ada perlakuan khusus untuk saya. Saya merekam setiap pengajaran dosen di kelas ke dalam pita kaset dengan menggunakan tape recorder, demikian juga dengan buku-buku atau catatan-catatan, tapi ada juga yang saya tulis dalam huruf braille. Hanya saat quiz atau ujian, biasanya saya di bantu oleh orang dari sekretariat kampus atau teman-teman dari pastoran kampus untuk membacakan soal-soal dan kemudian menuliskan jawaban yang saya berikan dengan lisan ke dalam lembar jawaban. Kesulitannya adalah pada saat membuat gambar atau grafik-grafik, biasanya saya menggambarkannya di telapak tangan mereka dengan jari telunjuk saya, setelah mereka paham, barulah mereka mencoba untuk menggambarkannya ke lembar jawaban. Biasanya saya mengerjakan ujian itu di ruang dosen.
Selain itu, teman-teman dari Legio Maria juga sering membantu saya merekamkan buku-buku atau diktat-diktat ke dalam pita kaset. Jadi saya bisa menyelesaikan setiap tugas-tugas kampus dengan rapi dan tepat waktu. Nilai-nilai mata kuliah sayapun cukup memuaskan. Dan pada 15 November 2003 akhirnya saya dapat meraih gelar sarjana S1 saya sebagai sarjana pendidikan (SPD).
Sementara itu saya sedang bergumul dalam doa untuk langkah selanjutnya yaitu pekerjaan, karena banyak sekali teman-teman tunanetra senior saya belum mendapat pekerjaan hanya karena kecacatan mereka. Sudah banyak perusahaan yang menolak mereka padahal gelar sarjana sudah mereka sandang. Jujur saja saya sempat merasa kuatir tentang yang satu ini. Saya hanya bisa menyerahkan semuanya ke dalam tangan Tuhan, saya yakin kalau selama ini Tuhan sudah menyertai langkah hidup saya sampai menjadi seorang sarjana, masakan sekarang saya meragukan Tuhan hanya karena melihat kenyataan yang pahit dari teman-teman tunanetra yang sulit mendapat pekerjaan.
Pada 19 desember masih di tahun 2003, saya diundang oleh sebuah perusahaan besar di Cikarang untuk membagikan kesaksian hidup saya di acara Natal mereka. Tak satupun orang saya kenal di sana, hanya yang mengundang saya saat itu seorang karyawati yang pernah mendengar kesaksian saya sebelumnya di tempat lain.
Saat saya memasuki gedung tempat di mana perayaan Natal itu diselenggarakan, saya mendengar sebuah bisikan ditelinga saya,tapi seperti juga muncul dari dalam hati saya. Bisikan itu berkata “kamu akan bekerja di sini!”. Saya sempat bingung dengan suara itu, tapi pada saat itu saya hanya berpikir bahwa suara itu datang dari hati saya sendiri yang sedang begitu mengharapkan untuk mendapatkan pekerjaan.
Sesuai susunan acara, saya seharusnya di tempatkan di acara terakhir dari acara perayaan. Tapi Tuhan punya rencana lain, karena pembicara pada saat itu terlambat datang, sehingga saya di minta untuk mengisi di awal acara. Ya sudah, jadilah saya bersaksi dan menutupnya dengan satu nyanyian. Setelah saya bersaksi, dilanjutkan dengan acara penyalaan lilin Natal, tiba-tiba owner dari perusahaan tersebut menghampiri saya dan bertanya kepada saya: “Apa kamu sudah bekerja?”
“Belum, pak!” jawab saya.
“Kamu mau kerja?” tanyanya lagi.
“Mau, pak!” kata saya cepat tanpa sedikitpun keraguan, dan inilah jawaban yang saya dengar dari owner itu
“Ya sudah, kamu bekerja dengan saya!”
Seketika itu juga, suara yang tadi saya dengar saat memasuki gedung terngiang kembali di telinga saya. begitu senangnya sampai semuanya terasa seperti mimpi, saya mengerti, ternyata suara tadi pasti dari Tuhan, Tuhan telah memberitahu saya lebih dulu sebelum owner ini memberitahu saya. Tuhan memang benar-benar baik bahkan teramat sangat baik buat saya. Saya benar-benar merasakan sebagai anak Raja. Raja telah memerintahkan owner itu untuk menerima saya bekerja di perusahaan yang besar miliknya. Selesai owner itu berbicara dengan saya, acara di lanjutkan dengan penyampaian khotbah Natal. Selesai khotbah, owner itupun pulang, tidak mengikuti acara sampai akhir. Cara Tuhan dalam menolong saya memang sungguh ajaib.
Begitulah, sekarang sudah 4 tahun saya bekerja di perusahaan Mulia keramik. Pertama sebagai resepsionis di mana pekerjaan saya selain menerima telepon, menghafalkan begitu banyak nomor extention, dan juga harus menghadapi tamu-tamu baik dari lokal maupun dari luar negeri. Hal itu membuat saya semakin berani dalam menghadapi orang banyak.
Walaupun jarak penglihatan saya semakin kabur, tapi saya masih mampu melihat bayang-bayang dan cahaya. Jadi kalau ada tamu yang datang ke depan meja saya saya masih bisa mengetahuinya, meski sering juga teman sekantor yang sedang berdiri di depan meja sayapun, saya kira tamu. Dan bulan agustus kemarin (tahun 2007), saya baru di pindahkan ke bagian recruitment. Saya bekerja dengan menggunakan laptop yang sudah di install program JAWS, seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Selain komputer, program JAWS juga dapat di gunakan pada handphone, hanya namanya saja yang beda, pada HP program bicara itu dinamakan TALK, tapi cara kerjanya sama persis.
Nah, begitulah kira-kira kisah hidup saya. Oh ya, ada yang kelupaan, tentang pacar. Waktu kelas 3 SMU, saya pernah punya pacar. Kata teman saya, wajah pacar saya itu sangat tampan, sehingga banyak teman-teman wanita yang lainpun diam-diam naksir dia. Pacar saya bilang kalau dia sangat sayang pada saya apapun keadaan saya. Tapi selang beberapa waktu, ternyata orang tuanya tidak menyetujui hubungan kami, mereka berkata kepada pacar saya itu kalau saya hanya bisa jadi beban saja. Sakit rasanya mendengar itu. Akhirnya hubungan kamipun tidak berlangsung lama. Waktu saya sudah kuliah di Jakarta, saya memutuskan untuk mengakhiri saja hubungan kami. Meski pahit, harus tetap saya jalani.
Tapi sekarang, Tuhan sudah membawa seorang calon pendamping hidup yang luar biasa. Awalnya dia adalah anggota baru Legio Maria, dan pada suatu hari minggu, teman-teman legio mau mengajak saya pergi jalan-jalan, nah, dia ada di antara mereka. Jadilah kami kenalan di depan pintu rumah saya.beberapa hari kemudian, dia menelepon saya, dan hubungan kamipun semakin dekat. Dia sangat mengasihi Tuhan dan juga sangat menyayangi saya. Dia tidak pernah menganggap kalau kecacatan saya itu sebagai beban atau sesuatu yang memalukan sehingga harus di tutup-tutupi, malah dia begitu bangga mengenalkan saya pada teman-temannya dengan mengatakan “pacar saya ini tunanetra!”. Bukan hanya itu, orang tua dan saudara-saudaranyapun sangat baik terhadap saya, mereka begitu bisa menerima saya apa adanya. Dan tahun ini kami pun akan menikah. Doain ya!
Hampir 26 tahun sudah saya mengalami begitu banyak kebaikan-kebaikan Tuhan. Meski mata saya secara fisik belum sembuh, tapi saya bersyukur karena Tuhan telah lebih dulu mencelikan mata hati saya sehingga saya dapat merasakan betapa baiknya Tuhan dan dapat melihat betapa indahnya rencana Tuhan dalam kehidupan saya dan keluarga. Kalau Tuhan mau menyembuhkan mata saya, detik inipun saya yakin Tuhan sanggup melakukannya, tapi janganlah kehendak saya yang terjadi melainkan biarlah kehendak Tuhan saja yang jadi dalam hidup saya. Yang saya inginkan sekarang adalah menggunakan hidup ini untuk menjadi kemuliaan bagi nama Tuhan.
Akhir kata, saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih karena teman-teman sudah bersedia membaca kesaksian saya yang puanjang kayak gerbong kereta api ini. Kiranya Tuhan selalu memberkati teman-teman sekalian dengan kasih-Nya yang berlimpah-limpah, Amin.
Rachel Stefanie Halim
Berkat Yang Tersamar
Sering kali pada saat kejadian yang tidak menyenangkan menimpa, kita bertanya-tanya mengapa TUHAN membiarkan hal itu terjadi? Terlebih bila selama ini kita merasa telah menjadi anak Allah yang baik. Mengapa hal-hal buruk masih terjadi pada kita? Ada peristiwa-peristiwa dalam hidup kita yang sulit dimengerti pada saat kita mengalaminya. Kita hanya dapat berpasrah padaNYA, percaya bahwa DIA tidak akan memberikan yang buruk kepada kita (bdk Yer 29:11).
Ilustrasi di bawah ini mungkin dapat membantu kita memahami bahwa sebenarnya di balik “kemalangan” itu ada berkat yang tersamar, yang belum kita sadari pada saat itu.
Ada sebuah kisah tentang seorang raja yang mempunyai seorang teman baik. Temannya ini punya kebiasaan berkomentar, “Ini bagus!” atas semua situasi dalam hidupnya, positif maupun negatif.
Suatu hari Sang Raja dan temannya pergi berburu. Temannya mempersiapkan dan mengisikan peluru untuk senapan Sang Raja. Kelihatannya Sang Teman melakukan kesalahan dalam mempersiapkan senjata tersebut, karena setelah raja menerima senapan itu dari temannya, senapan itu meletus dan mengenai jempolnya.
Seperti biasa Sang Teman berkomentar, “ Ini bagus!”, yang oleh raja dijawab, “Tidak, ini tidak bagus!” dan raja tersebut menjebloskan temannya ke penjara.
Kurang lebih setahun kemudian, Sang Raja pergi berburu ke daerah yang berbahaya. Ia ditangkap oleh sekelompok orang kanibal, kemudian dibawa ke desa mereka. Mereka mengikat tangannya dan menumpuk kayu bakar, bersiap untuk membakarnya. Ketika mereka mendekat untuk menyalakan kayu tersebut, mereka melihat bahwa Sang Raja tidak mempunyai jempol. Karena percaya pada tahayul, mereka tidak pernah makan orang yang tidak utuh. Jadi mereka membebaskan raja itu.
Dalam perjalanan pulang, raja tersebut ingat akan kejadian yang menyebabkan dia kehilangan jempolnya dan merasa menyesal atas perlakuannya terhadap teman baiknya. Raja langsung pergi ke penjara untuk berbicara dengan temannya. “Kamu benar, “ katanya, “baguslah bahwa aku kehilangan jempolku.” Dan ia menceritakan kejadian yang baru dialaminya kepada temannya itu. “Saya menyesal telah menjebloskan kamu ke penjara begitu lama. Saya telah berlaku jahat kepadamu.”
“Tidak,” kata temannya,”Ini bagus!”. “Apa maksudmu, ‘Ini bagus!’? Bagaimana bisa bagus, aku telah mengirim kamu ke penjara selama satu tahun.” Temannya itu menjawab, “Kalau kamu tidak memenjarakan aku, aku tadi pasti bersamamu.”
-----------------
Kehilangan jempol ataupun kebebasan karena di penjara bukanlah hal yang menyenangkan. Namun karena 2 peristiwa itulah, Sang Raja dan temannya tidak menemui ajalnya dalam peristiwa tahun berikutnya.
Demikian pula dalam hidup kita, ada peristiwa yang menyebabkan kita kehilangan materi, mata pencaharian bahkan orang yang kita kasihi. Tentu saja itu membuat kita sedih, kesal, marah, bahkan menggugat TUHAN karenanya. Beberapa di antara kita mengalami pergumulan batin yang panjang karena penolakan kita atas kejadian yang tidak menyenangkan ini. Ada yang menolak begitu keras, sehingga menjauh dari TUHAN.
Namun jika kita dapat mengikuti sikap teman raja di atas, yang secara positif menerima setiap peristiwa baik maupun buruk dalam hidup kita, niscaya suatu hari nanti kita akan menyadari adanya berkat-berkat yang tersamar dalam setiap peristiwa yang kita alami.
Jadi, seperti kata Anthony de Mello, marilah belajar untuk berkata “YA” terhadap setiap peristiwa dalam hidup kita. “YA” berarti menerima tanpa syarat segala sesuatu yang direncanakan TUHAN dalam hidup ini. Pada saatnya nanti, kita akan dapat “melihat” berkat-berkat yang tersamar dalam berbagai peristiwa di kehidupan kita; karena TUHAN bekerja dengan caraNYA yang misterius, yang tidak terselami oleh keterbatasan akal kita
Ilustrasi di bawah ini mungkin dapat membantu kita memahami bahwa sebenarnya di balik “kemalangan” itu ada berkat yang tersamar, yang belum kita sadari pada saat itu.
Ada sebuah kisah tentang seorang raja yang mempunyai seorang teman baik. Temannya ini punya kebiasaan berkomentar, “Ini bagus!” atas semua situasi dalam hidupnya, positif maupun negatif.
Suatu hari Sang Raja dan temannya pergi berburu. Temannya mempersiapkan dan mengisikan peluru untuk senapan Sang Raja. Kelihatannya Sang Teman melakukan kesalahan dalam mempersiapkan senjata tersebut, karena setelah raja menerima senapan itu dari temannya, senapan itu meletus dan mengenai jempolnya.
Seperti biasa Sang Teman berkomentar, “ Ini bagus!”, yang oleh raja dijawab, “Tidak, ini tidak bagus!” dan raja tersebut menjebloskan temannya ke penjara.
Kurang lebih setahun kemudian, Sang Raja pergi berburu ke daerah yang berbahaya. Ia ditangkap oleh sekelompok orang kanibal, kemudian dibawa ke desa mereka. Mereka mengikat tangannya dan menumpuk kayu bakar, bersiap untuk membakarnya. Ketika mereka mendekat untuk menyalakan kayu tersebut, mereka melihat bahwa Sang Raja tidak mempunyai jempol. Karena percaya pada tahayul, mereka tidak pernah makan orang yang tidak utuh. Jadi mereka membebaskan raja itu.
Dalam perjalanan pulang, raja tersebut ingat akan kejadian yang menyebabkan dia kehilangan jempolnya dan merasa menyesal atas perlakuannya terhadap teman baiknya. Raja langsung pergi ke penjara untuk berbicara dengan temannya. “Kamu benar, “ katanya, “baguslah bahwa aku kehilangan jempolku.” Dan ia menceritakan kejadian yang baru dialaminya kepada temannya itu. “Saya menyesal telah menjebloskan kamu ke penjara begitu lama. Saya telah berlaku jahat kepadamu.”
“Tidak,” kata temannya,”Ini bagus!”. “Apa maksudmu, ‘Ini bagus!’? Bagaimana bisa bagus, aku telah mengirim kamu ke penjara selama satu tahun.” Temannya itu menjawab, “Kalau kamu tidak memenjarakan aku, aku tadi pasti bersamamu.”
-----------------
Kehilangan jempol ataupun kebebasan karena di penjara bukanlah hal yang menyenangkan. Namun karena 2 peristiwa itulah, Sang Raja dan temannya tidak menemui ajalnya dalam peristiwa tahun berikutnya.
Demikian pula dalam hidup kita, ada peristiwa yang menyebabkan kita kehilangan materi, mata pencaharian bahkan orang yang kita kasihi. Tentu saja itu membuat kita sedih, kesal, marah, bahkan menggugat TUHAN karenanya. Beberapa di antara kita mengalami pergumulan batin yang panjang karena penolakan kita atas kejadian yang tidak menyenangkan ini. Ada yang menolak begitu keras, sehingga menjauh dari TUHAN.
Namun jika kita dapat mengikuti sikap teman raja di atas, yang secara positif menerima setiap peristiwa baik maupun buruk dalam hidup kita, niscaya suatu hari nanti kita akan menyadari adanya berkat-berkat yang tersamar dalam setiap peristiwa yang kita alami.
Jadi, seperti kata Anthony de Mello, marilah belajar untuk berkata “YA” terhadap setiap peristiwa dalam hidup kita. “YA” berarti menerima tanpa syarat segala sesuatu yang direncanakan TUHAN dalam hidup ini. Pada saatnya nanti, kita akan dapat “melihat” berkat-berkat yang tersamar dalam berbagai peristiwa di kehidupan kita; karena TUHAN bekerja dengan caraNYA yang misterius, yang tidak terselami oleh keterbatasan akal kita
Langganan:
Postingan (Atom)