Semalam saya keluar dari Ranch Market jam 8.30. Hujan deras. Petugas Ranch Market setengah berlari mendorong trolly berisi barang-barang belanjaan saya. Saya juga berlari-lari kecil menjajari langkahnya menuju mobil. Saya membukakan bagasi dan petugas memindahkan barang-barang belanjaan saya. Seorang penjaja kue semprong mendekati kami. Memang setahu saya banyak penjaja kue semprong disana menjajakan barang dagangannya dengan sedikit memaksa. Karena terlalu biasa saya tidak mengacuhkannya, apalagi di hujan deras seperti ini.
Setelah memberikan tip saya masuk mobil, namun masih saya dengar ucapan penjaja kue
semprong tersebut, ‘Bu, beli kue semprongnya untuk ongkos pulang ke Tangerang”. Didalam mobil saya berpikir saya kasih uang saja karena penganan yang saya beli di supermarket sudah cukup banyak, bagaimana jika tidak ada yang menghabisnya. Nanti jatuhnya mubazir.
Saya memang lebih suka dengan para penjaja kue seperti ini ketimbang pengemis. Pelajaran berharga yang pernah saya dapat dari mantan bos saya sembilan tahun lalu. Masih teringat ucapannya ketika itu kami berdiskusi di kantor. “Coba kalau ada penjaja makanan atau barang dan pengemis dilampu merah mana yang kamu berikan uang?”,tanyanya. Belum sampai kami menjawab, ia berkata lagi “Pasti yang kamu berikan uang si pengemis itu dan penjaja makanan atau barang itu kamu acuhkan”.
Secara serempak kami mengiyakan.
“Coba pikirkan lagi, si pengemis itu pemalas tidak bermoral, kenapa kita kasih uang, sementara si penjaja makanan ataupun barang punya harga diri, dan pastinya secara pribadi lebih baik dari si pengemis, lalu kenapa kita tidak membeli barang dagangan si penjaja makanan atau barang tersebut?”
Teman saya nyeletuk, “Karena kita ngga butuh”.
Mantan bos saya bergumam, “Ya betul karena kita tidak butuh”.
Obrolan itu begitu singkat, tapi begitu mengena di hati saya. Pak Teddy Sutiman membuka mata hati saya untuk lebih bijaksana dalam melihat suatu persoalan, bukan hanya berpikir praktis saja. Dan sejak itu saya lebih memberi perhatian kepada para penjaja makanan atau barang di jalanan dibandingkan para pengemis.
Penjaja jual kue semprong itu masih dengan setia menanti disisi mobil saya. Saya menghela nafas. Bukan karena tidak rela berbagi rejeki tapi karena menyesali banyak sekali penganan yang sudah saya beli tadi.
Akhirnya saya membuka kaca, “Pak, saya tidak mau beli kue semprongnya, tapi kalau bapak saya beri uang mau tidak?”.
Tidak disangka penjaja kue semprong itu menggelengkan kepalanya dan pergi dengan cepatnya dari sisi mobil saya. Saya tersentak dan menutup kaca jendela, hujan mengguyur deras dan membanjiri sisi kaca dalam mobil saya karena berbicara dengan si penjaja kue semprong.
Beberapa detik saya kehilangan daya ingat saya, karena tidak menyangka ucapan yang keluar dari penjaja kue semprong tadi. Sembilan tahun saya telah lebih memberi perhatian kepada para penjaja makanan ataupun barang dibanding pengemis. Sesekali jika saya tidak butuh barang mereka, selalu saya ucapkan kalimat tadi, dan hampir semuanya tidak pernah menolak pemberian saya. Baru kali ini ada yang menolaknya.
Baru kali ini …
Hujan mengguyur makin deras dan saya masih terpaku di mobil, terbayang ucapannya
“untuk ongkos pulang ke Tangerang..” sementara total nilai belanjaan saya tadi mungkin bisa untuk ongkos pulang Bapak penjaja kue semprong selama tiga bulan. Tersentak saya mencari-cari bayangan penjaja kue semprong ditengah kabut dari derasnya hujan, terlihat pikulannya ada di pinggir teras sebuah toko tutup. Penjajanya duduk dibawah dengan muka pasrah.
Saya mundurkan mobil menuju kearahnya. Kembali saya buka kaca jendela sebelah kiri
ditengah guyuran hujan dan menjerit, ‘Pak, memang harganya berapa ?”.
Ia menyebutkan sejumlah harga yang sangat murah. Akhirnya saya katakan, “Ya sudah deh, beli satu”.
Dia membawa kue semprong pesanan saya didalam plastik. Sampai di mobil, saya serahkan uang, dan dia bengong karena saya tidak menyerahkan uang pas. Saya tau dia pasti bingung memikirkan kembaliannya, tapi dengan cepat saya katakan, “Kembaliannya ambil buat Bapak saja”.
Dia bengong.
“Ambil saja Pak, ini rejeki Bapak, memang hak Bapak”.
Dia meneguk ludah, sebelum sempat dia mengucapkan apa-apa saya langsung menutup kaca mobil dan pergi.
Tiba-tiba air mata ini mengalir deras melebihi derasnya hujan diluar sana. Kalau Bapak itu tidak menerimanya, saya tidak tahu seberapa sakitnya hati saya, karena didalam rejeki saya ada hak mereka termasuk hak Bapak penjaja kue semprong itu. Tiap bulan memang selalu saya sisihkan buat mereka, tapi mengetahui bahwa saya telah memberikan betul- betul kepada orang yang berhak menerimanya, betul betul kepada orang yang berhati mulia, dan betul- betul kepada orang yang membutuhkannya, betul- betul membuat saya merasa hidup saya begitu bermakna dan saya sangat bersyukur atas rahmat-Nya.
Di tengah leher saya yang sakit sekali karena tercekat, saya berdoa kepada Allah agar Bapak penjaja kue semprong tersebut dan keluarganya diberikan rahmat, kemurahan rezeki dan kemudahan hidup oleh Allah. Dan saya bersyukur atas segala rahmat dan kemudahan hidup yang diberikan Allah kepada saya dan keluarga saya.
Hujan masih deras mengguyur kaca mobil. Mudah-mudahan hujan cepat reda supaya bapak penjaja kue semprong tadi bisa pulang tanpa kehujanan. (ldf 30/7/06)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar