Pada suatu hari ada seorang Pastor yang sedang berkeliling mengunjungi umatnya, dan mampir di rumah sebuah keluarga petani. Dia terkesan oleh kepandaian dan sikap ramah dari seorang anak tunggal dalam keluarga tersebut, yang baru saja berusia empat tahun. Pastor itu akhirnya dapat menemukan satu alasan mengapa anak itu bersikap begitu baik dan manis.
Saat itu, ibu dari anak tersebut sedang berada di dapur untuk mencuci bagian-bagian lemari es yang kotor. Tidak lama kemudian, datanglah anak kecil yang ramah tadi untuk menghampiri ibunya yang sedang sibuk membersihkan lemari es, dengan membawa sebuah majalah ditangannya. “Ibu, apa yang sedang dilakukan oleh orang ini dalam foto ini?” Tanya si bocah dengan penuh penasaran kepada ibunya yang sedang sibuk itu.
Sang ibu segera mengeringkan tangannya, duduk di sebuah kursi, mendudukkan anaknya dalam pangkuannya dan menghabiskan waktu selama sepuluh menit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan putranya dengan lemah lembut. Setelah anak itu puas dengan penjelasan ibunya, dia segera turun lalu berlari ke halaman rumah untuk bermain kembali.
Sang Pastor mengomentari perlakuan dan sikap istimewa dari ibu itu terhadap putranya, “Kebanyakan kaum ibu tidak mau diganggu seperti itu, kalau mereka sedang sibuk dengan pekerjaannya. Tidak sedikit dari mereka yang menyuruh anaknya untuk bertanya pada bapaknya, pembantunya atau pada kakaknya, untuk menjawab pertanyaan mereka. Bisakah ibu memberikan kepada saya sedikit penjelasan dari sikap istimewa yang sudah ibu berikan terhadap putra ibu tadi?”
“Pastor, saya masih dapat membersihkan lemari es itu selama sisa hidup saya. Tetapi, belum tentu saya akan mendapatkan kesempatan lagi, di mana pertanyaan itu akan ditanyakan lagi kepada saya, bila saya menyuruh putra saya untuk bertanya kepada orang lain.”
Pergunakan dan hargailah setiap waktu dan kesempatan yang sudah Tuhan percayakan kepada kita ini dengan sebaik, sebijaksana, dan semaksimal mungkin. Karena, belum tentu waktu dan kesempatan yang sama, yang berkualitas, akan terulang dua kali di dalam kehidupan setiap kita. Tuhan Yesus memberkati
1 Yohanes 4:10 "Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus anakNya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita"
Selasa, 26 April 2011
kesaksian Jim Caviezel pemeran Yesus dalam The Passion of the Christ.
JIM CAVIEZEL ADALAH SEORANG AKTOR BIASA DENGAN PERAN2 KECIL DALAM FILM2 YANG JUGA TIDAK BESAR. PERAN TERBAIK YANG PERNAH DIMILIKINYA (SEBELUM THE PASSION) ADALAH SEBUAH FILM PERANG YANG BERJUDUL “ THE THIN RED LINE”. ITUPUN HANYA SALAH SATU PERAN DARI BEGITU BANYAK AKTOR BESAR YANG BERPERAN DALAM FILM KOLOSAL ITU.
Dalam Thin Red Line, Jim berperan sebagai prajurit yang berkorban demi menolong teman-temannya yang terluka dan terkepung musuh, ia berlari memancing musuh kearah yang lain walaupun ia tahu ia akan mati, dan akhirnya musuhpun mengepung dan membunuhnya. Kharisma kebaikan, keramahan, dan rela berkorbannya ini menarik perhatian Mel Gibson, yang sedang mencari aktor yang tepat untuk memerankan konsep film yang sudah lama disimpannya, menunggu orang yang tepat untuk memerankannya.
“Saya terkejut suatu hari dikirimkan naskah sebagai peran utama dalam sebuah film besar. Belum pernah saya bermain dalam film besar apalagi sebagai peran utama. Tapi yang membuat saya lebih terkejut lagi adalah ketika tahu peran yang harus saya mainkan. Ayolah…, Dia ini Tuhan, siapa yang bisa mengetahui apa yang ada dalam pikiran Tuhan dan memerankannya? Mereka pasti bercanda.
Besok paginya saya mendapat sebuah telepon, “Hallo ini, Mel”. Kata suara dari telpon tersebut. “Mel siapa?”, Tanya saya bingung. Saya tidak menyangka kalau itu Mel Gibson, salah satu actor dan sutradara Hollywood yang terbesar. Mel kemudian meminta kami bertemu, dan saya menyanggupinya.
Saat kami bertemu, Mel kemudian menjelaskan panjang lebar tentang film yang akan dibuatnya. Film tentang Tuhan Yesus yang berbeda dari film2 lain yang pernah dibuat tentang Dia. Mel juga menyatakan bahwa akan sangat sulit dalam memerankan film ini, salah satunya saya harus belajar bahasa dan dialek alamik, bahasa yang digunakan pada masa itu.
Dan Mel kemudian menatap tajam saya, dan mengatakan sebuah resiko terbesar yang mungkin akan saya hadapi. Katanya bila saya memerankan film ini, mungkin akan menjadi akhir dari karir saya sebagai actor di Hollywood.
Sebagai manusia biasa saya menjadi gentar dengan resiko tersebut. Memang biasanya aktor pemeran Yesus di Hollywood, tidak akan dipakai lagi dalam film-film lain. Ditambah kemungkinan film ini akan dibenci oleh sekelompok orang Yahudi yang berpengaruh besar dalam bisnis pertunjukan di Hollywood . Sehingga habislah seluruh karir saya dalam dunia perfilman.
Dalam kesenyapan menanti keputusan saya apakah jadi bermain dalam film itu, saya katakan padanya. “Mel apakah engkau memilihku karena inisial namaku juga sama dengan Jesus Christ (Jim Caviezel), dan umurku sekarang 33 tahun, sama dengan umur Yesus Kristus saat Ia disalibkan?” Mel menggeleng setengah terperengah, terkejut, menurutnya ini menjadi agak menakutkan. Dia tidak tahu akan hal itu, ataupun terluput dari perhatiannya. Dia memilih saya murni karena peran saya di “Thin Red Line”. Baiklah Mel, aku rasa itu bukan sebuah kebetulan, ini tanda panggilanku, semua orang harus memikul salibnya. Bila ia tidak mau memikulnya maka ia akan hancur tertindih salib itu. Aku tanggung resikonya, mari kita buat film ini!
Maka saya pun ikut terjun dalam proyek film tersebut. Dalam persiapan karakter selama berbulan-bulan saya terus bertanya-tanya, dapatkah saya melakukannya? Keraguan meliputi saya sepanjang waktu. Apa yang seorang Anak Tuhan pikirkan, rasakan, dan lakukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membingungkan saya, karena begitu banya referensi mengenai Dia dari sudut pandang berbeda-beda.
Akhirnya hanya satu yang bisa saya lakukan, seperti yang Yesus banyak lakukan yaitu lebih banyak berdoa. Memohon tuntunanNya melakukan semua ini. Karena siapalah saya ini memerankan Dia yang begitu besar. Masa lalu saya bukan seorang yang dalam hubungan denganNya. Saya memang lahir dari keluarga Katolik yang taat, kebiasaan-kebiasaan baik dalam keluarga memang terus mengikuti dan menjadi dasar yang baik dalam diri saya.
Saya hanyalah seorang pemuda yang bermain bola basket dalam liga SMA dan kampus, yang bermimpi menjadi seorang pemain NBA yang besar. Namun cedera engkel menghentikan karir saya sebagai atlit bola basket. Saya sempat kecewa pada Tuhan, karena cedera itu, seperti hancur seluruh hidup saya.
Saya kemudian mencoba peruntungan dalam casting-casting, sebuah peran sangat kecil membawa saya pada sebuah harapan bahwa seni peran munkin menjadi jalan hidup saya. Kemudian saya mendalami seni peran dengan masuk dalam akademi seni peran, sambil sehari-hari saya terus mengejar casting.
Dan kini saya telah berada dipuncak peran saya. Benar Tuhan, Engkau yang telah merencanakan semuanya, dan membawaku sampai disini. Engkau yang mengalihkanku dari karir di bola basket, menuntunku menjadi aktor, dan membuatku sampai pada titik ini. Karena Engkau yang telah memilihku, maka apapun yang akan terjadi, terjadilah sesuai kehendakMu.
Saya tidak membayangkan tantangan film ini jauh lebih sulit dari pada bayangan saya.
Di make-up selama 8 jam setiap hari tanpa boleh bergerak dan tetap berdiri, saya adalah orang satu-satunya di lokasi syuting yang hampir tidak pernah duduk. Sungguh tersiksa menyaksikan kru yang lain duduk-duduk santai sambil minum kopi. Kostum kasar yang sangat tidak nyaman, menyebabkan gatal-gatal sepanjang hari syuting membuat saya sangat tertekan. Salib yang digunakan, diusahakan seasli mungkin seperti yang dipikul oleh Yesus saat itu. Saat mereka meletakkan salib itu dipundak saya, saya kaget dan berteriak kesakitan, mereka mengira itu akting yang sangat baik, padahal saya sungguh-sungguh terkejut. Salib itu terlalu berat, tidak mungkin orang biasa memikulnya, namun saya mencobanya dengan sekuat tenaga.
Yang terjadi kemudian setelah dicoba berjalan, bahu saya copot, dan tubuh saya tertimpa salib yang sangat berat itu. Dan sayapun melolong kesakitan, minta pertolongan. Para kru mengira itu akting yang luar biasa, mereka tidak tahu kalau saya dalam kecelakaan sebenarnya. Saat saya memulai memaki, menyumpah dan hampir pingsan karena tidak tahan dengan sakitnya, maka merekapun terkejut, sadar apa yang sesungguhnya terjadi dan segera memberikan saya perawatan medis.
Sungguh saya merasa seperti setan karena memaki dan menyumpah seperti itu, namun saya hanya manusia biasa yang tidak biasa menahannya. Saat dalam pemulihan dan penyembuhan, Mel datang pada saya. Ia bertanya apakah saya ingin melanjutkan film ini, ia berkata ia sangat mengerti kalau saya menolak untuk melanjutkan film itu. Saya bekata pada Mel, saya tidak tahu kalau salib yang dipikul Tuhan Yesus seberat dan semenyakitkan seperti itu. Tapi kalau Tuhan Yesus mau memikul salib itu bagi saya, maka saya akan sangat malu kalau tidak memikulnya walau sebagian kecil saja. Mari kita teruskan film ini. Maka mereka mengganti salib itu dengan ukuran yang lebih kecil dan dengan bahan yang lebih ringan, agar bahu saya tidak terlepas lagi, dan mengulang seluruh adegan pemikulan salib itu. Jadi yang penonton lihat didalam film itu merupakan salib yang lebih kecil dari aslinya.
Bagian syuting selanjutnya adalah bagian yang mungkin paling mengerikan, baik bagi penonton dan juga bagi saya, yaitu syuting penyambukan Yesus. Saya gemetar menghadapi adegan itu, Karena cambuk yang digunakan itu sungguhan. Sementara punggung saya hanya dilindungi papan setebal 3 cm. Suatu waktu para pemeran prajurit Roma itu mencambuk dan mengenai bagian sisi tubuh saya yang tidak terlindungi papan. Saya tersengat, berteriak kesakitan, bergulingan ditanah sambil memaki orang yang mencambuk saya. Semua kru kaget dan segera mengerubungi saya untuk memberi pertolongan.
Tapi bagian paling sulit, bahkan hampir gagal dibuat yaitu pada bagian penyaliban. Lokasi syuting di Italia sangat dingin, sedingin musim salju, para kru dan figuran harus manggunakan mantel yang sangat tebal untuk menahan dingin. Sementara saya harus telanjang dan tergantung diatas kayu salib, diatas bukit yang tertinggi disitu. Angin dari bukit itu bertiup seperti ribuan pisau menghujam tubuh saya. Saya terkena hypothermia (penyakit kedinginan yang biasa mematikan), seluruh tubuh saya lumpuh tak bisa bergerak, mulut saya gemetar bergoncang tak terkendalikan. Mereka harus menghentikan syuting, karena nyawa saya jadi taruhannya.
Semua tekanan, tantangan, kecelakaan dan penyakit membawa saya sungguh depresi. Adegan-adegan tersebut telah membawa saya kepada batas kemanusiaan saya. Dari adegan-keadegan lain semua kru hanya menonton dan menunggu saya sampai pada batas kemanusiaan saya, saat saya tidak mampu lagi baru mereka menghentikan adegan itu. Ini semua membawa saya pada batas-batas fisik dan jiwa saya sebagai manusia. Saya sungguh hampir gila dan tidak tahan dengan semua itu, sehingga seringkali saya harus lari jauh dari tempat syuting untuk berdoa. Hanya untuk berdoa, berseru pada Tuhan kalau saya tidak mampu lagi, memohon Dia agar memberi kekuatan bagi saya untuk melanjutkan semuanya ini. Saya tidak bisa, masih tidak bisa membayangkan bagaimana Yesus sendiri melalui semua itu, bagaimana menderitanya Dia. Dia bukan sekedar mati, tetapi mengalami penderitaan luar biasa yang panjang dan sangat menyakitkan, bagi fisik maupun jiwaNya.
Dan peristiwa terakhir yang merupakan mujizat dalam pembuatan film itu adalah saat saya ada diatas kayu salib. Saat itu tempat syuting mendung gelap karena badai akan datang, kilat sambung menyambung diatas kami. Tapi Mel tidak menghentikan pengambilan gambar, karena memang cuaca saat itu sedang ideal sama seperti yang seharusnya terjadi seperti yang diceritakan. Saya ketakutan tergantung diatas kayu salib itu, disamping kami ada dibukit yang tinggi, saya adalah objek yang paling tinggi, untuk dapat dihantam oleh halilintar. Baru saja saya berpikir ingin segera turun karena takut pada petir, sebuah sakit yang luar biasa menghantam saya beserta cahaya silau dan suara menggelegar sangat kencang (setan tidak senang dengan adanya pembuatan film seperti ini). Dan sayapun tidak sadarkan diri.
Yang saya tahu kemudian banyak orang yang memanggil-manggil meneriakkan nama saya, saat saya membuka mata semua kru telah berkumpul disekeliling saya, sambil berteriak-teriak “dia sadar! dia sadar!” (dalam kondisi seperti ini mustahil bagi manusia untuk bisa selamat dari hamtaman petir yang berkekuatan berjuta-juta volt kekuatan listrik, tapi perlindungan Tuhan terjadi disini).
“Apa yang telah terjadi?” Tanya saya. Mereka bercerita bahwa sebuah halilintar telah menghantam saya diatas salib itu, sehingga mereka segera menurunkan saya dari situ. Tubuh saya menghitam karena hangus, dan rambut saya berasap, berubah menjadi model Don King. Sungguh sebuah mujizat kalau saya selamat dari peristiwa itu.
Melihat dan merenungkan semua itu seringkali saya bertanya, “Tuhan, apakah Engkau menginginkan film ini dibuat? Mengapa semua kesulitan ini terjadi, apakah Engkau menginginkan film ini untuk dihentikan”? Namun saya terus berjalan, kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan. Selama itu benar, kita harus terus melangkah. Semuanya itu adalah ujian terhadap iman kita, agar kita tetap dekat padaNya, supaya iman kita tetap kuat dalam ujian.
Orang-orang bertanya bagaimana perasaan saya saat ditempat syuting itu memerankan Yesus. Oh… itu sangat luar biasa… mengagumkan… tidak dapat saya ungkapkan dengan kata-kata. Selama syuting film itu ada sebuah hadirat Tuhan yang kuat melingkupi kami semua, seakan-akan Tuhan sendiri berada disitu, menjadi sutradara atau merasuki saya memerankan diriNya sendiri.
Itu adalah pengalaman yang tak terkatakan. Semua yang ikut terlibat dalam film itu mengalami lawatan Tuhan dan perubahan dalam hidupnya, tidak ada yang terkecuali. Pemeran salah satu prajurit Roma yang mencambuki saya itu adalah seorang muslim, setelah adegan tersebut, ia menangis dan menerima Yesus sebagai Tuhannya. Adegan itu begitu menyentuhnya. Itu sungguh luar biasa. Padahal awalnya mereka datang hanya karena untuk panggilan profesi dan pekerjaan saja, demi uang. Namun pengalaman dalam film itu mengubahkan kami semua, pengalaman yang tidak akan terlupakan.
Dan Tuhan sungguh baik, walaupun memang film itu menjadi kontroversi. Tapi ternyata ramalan bahwa karir saya berhenti tidak terbukti. Berkat Tuhan tetap mengalir dalam pekerjaan saya sebagai aktor. Walaupun saya harus memilah-milah dan membatasi tawaran peran sejak saya memerankan film ini.
Saya harap mereka yang menonton The Passion Of Jesus Christ, tidak melihat saya sebagai aktornya. Saya hanyalah manusia biasa yang bekerja sebagai aktor, jangan kemudian melihat saya dalam sebuah film lain kemudian mengaitkannya dengan peran saya dalam The Passion dan menjadi kecewa.
Tetap pandang hanya pada Yesus saja, dan jangan lihat yang lain. Sejak banyak bergumul berdoa dalam film itu, berdoa menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan dalam hidup saya. Film itu telah menyentuh dan mengubah hidup saya, saya berharap juga hal yang sama terjadi pada hidup anda. Amin.
“TUHAN YESUS MEMBERKATI KITA SEMUA”
Dalam Thin Red Line, Jim berperan sebagai prajurit yang berkorban demi menolong teman-temannya yang terluka dan terkepung musuh, ia berlari memancing musuh kearah yang lain walaupun ia tahu ia akan mati, dan akhirnya musuhpun mengepung dan membunuhnya. Kharisma kebaikan, keramahan, dan rela berkorbannya ini menarik perhatian Mel Gibson, yang sedang mencari aktor yang tepat untuk memerankan konsep film yang sudah lama disimpannya, menunggu orang yang tepat untuk memerankannya.
“Saya terkejut suatu hari dikirimkan naskah sebagai peran utama dalam sebuah film besar. Belum pernah saya bermain dalam film besar apalagi sebagai peran utama. Tapi yang membuat saya lebih terkejut lagi adalah ketika tahu peran yang harus saya mainkan. Ayolah…, Dia ini Tuhan, siapa yang bisa mengetahui apa yang ada dalam pikiran Tuhan dan memerankannya? Mereka pasti bercanda.
Besok paginya saya mendapat sebuah telepon, “Hallo ini, Mel”. Kata suara dari telpon tersebut. “Mel siapa?”, Tanya saya bingung. Saya tidak menyangka kalau itu Mel Gibson, salah satu actor dan sutradara Hollywood yang terbesar. Mel kemudian meminta kami bertemu, dan saya menyanggupinya.
Saat kami bertemu, Mel kemudian menjelaskan panjang lebar tentang film yang akan dibuatnya. Film tentang Tuhan Yesus yang berbeda dari film2 lain yang pernah dibuat tentang Dia. Mel juga menyatakan bahwa akan sangat sulit dalam memerankan film ini, salah satunya saya harus belajar bahasa dan dialek alamik, bahasa yang digunakan pada masa itu.
Dan Mel kemudian menatap tajam saya, dan mengatakan sebuah resiko terbesar yang mungkin akan saya hadapi. Katanya bila saya memerankan film ini, mungkin akan menjadi akhir dari karir saya sebagai actor di Hollywood.
Sebagai manusia biasa saya menjadi gentar dengan resiko tersebut. Memang biasanya aktor pemeran Yesus di Hollywood, tidak akan dipakai lagi dalam film-film lain. Ditambah kemungkinan film ini akan dibenci oleh sekelompok orang Yahudi yang berpengaruh besar dalam bisnis pertunjukan di Hollywood . Sehingga habislah seluruh karir saya dalam dunia perfilman.
Dalam kesenyapan menanti keputusan saya apakah jadi bermain dalam film itu, saya katakan padanya. “Mel apakah engkau memilihku karena inisial namaku juga sama dengan Jesus Christ (Jim Caviezel), dan umurku sekarang 33 tahun, sama dengan umur Yesus Kristus saat Ia disalibkan?” Mel menggeleng setengah terperengah, terkejut, menurutnya ini menjadi agak menakutkan. Dia tidak tahu akan hal itu, ataupun terluput dari perhatiannya. Dia memilih saya murni karena peran saya di “Thin Red Line”. Baiklah Mel, aku rasa itu bukan sebuah kebetulan, ini tanda panggilanku, semua orang harus memikul salibnya. Bila ia tidak mau memikulnya maka ia akan hancur tertindih salib itu. Aku tanggung resikonya, mari kita buat film ini!
Maka saya pun ikut terjun dalam proyek film tersebut. Dalam persiapan karakter selama berbulan-bulan saya terus bertanya-tanya, dapatkah saya melakukannya? Keraguan meliputi saya sepanjang waktu. Apa yang seorang Anak Tuhan pikirkan, rasakan, dan lakukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membingungkan saya, karena begitu banya referensi mengenai Dia dari sudut pandang berbeda-beda.
Akhirnya hanya satu yang bisa saya lakukan, seperti yang Yesus banyak lakukan yaitu lebih banyak berdoa. Memohon tuntunanNya melakukan semua ini. Karena siapalah saya ini memerankan Dia yang begitu besar. Masa lalu saya bukan seorang yang dalam hubungan denganNya. Saya memang lahir dari keluarga Katolik yang taat, kebiasaan-kebiasaan baik dalam keluarga memang terus mengikuti dan menjadi dasar yang baik dalam diri saya.
Saya hanyalah seorang pemuda yang bermain bola basket dalam liga SMA dan kampus, yang bermimpi menjadi seorang pemain NBA yang besar. Namun cedera engkel menghentikan karir saya sebagai atlit bola basket. Saya sempat kecewa pada Tuhan, karena cedera itu, seperti hancur seluruh hidup saya.
Saya kemudian mencoba peruntungan dalam casting-casting, sebuah peran sangat kecil membawa saya pada sebuah harapan bahwa seni peran munkin menjadi jalan hidup saya. Kemudian saya mendalami seni peran dengan masuk dalam akademi seni peran, sambil sehari-hari saya terus mengejar casting.
Dan kini saya telah berada dipuncak peran saya. Benar Tuhan, Engkau yang telah merencanakan semuanya, dan membawaku sampai disini. Engkau yang mengalihkanku dari karir di bola basket, menuntunku menjadi aktor, dan membuatku sampai pada titik ini. Karena Engkau yang telah memilihku, maka apapun yang akan terjadi, terjadilah sesuai kehendakMu.
Saya tidak membayangkan tantangan film ini jauh lebih sulit dari pada bayangan saya.
Di make-up selama 8 jam setiap hari tanpa boleh bergerak dan tetap berdiri, saya adalah orang satu-satunya di lokasi syuting yang hampir tidak pernah duduk. Sungguh tersiksa menyaksikan kru yang lain duduk-duduk santai sambil minum kopi. Kostum kasar yang sangat tidak nyaman, menyebabkan gatal-gatal sepanjang hari syuting membuat saya sangat tertekan. Salib yang digunakan, diusahakan seasli mungkin seperti yang dipikul oleh Yesus saat itu. Saat mereka meletakkan salib itu dipundak saya, saya kaget dan berteriak kesakitan, mereka mengira itu akting yang sangat baik, padahal saya sungguh-sungguh terkejut. Salib itu terlalu berat, tidak mungkin orang biasa memikulnya, namun saya mencobanya dengan sekuat tenaga.
Yang terjadi kemudian setelah dicoba berjalan, bahu saya copot, dan tubuh saya tertimpa salib yang sangat berat itu. Dan sayapun melolong kesakitan, minta pertolongan. Para kru mengira itu akting yang luar biasa, mereka tidak tahu kalau saya dalam kecelakaan sebenarnya. Saat saya memulai memaki, menyumpah dan hampir pingsan karena tidak tahan dengan sakitnya, maka merekapun terkejut, sadar apa yang sesungguhnya terjadi dan segera memberikan saya perawatan medis.
Sungguh saya merasa seperti setan karena memaki dan menyumpah seperti itu, namun saya hanya manusia biasa yang tidak biasa menahannya. Saat dalam pemulihan dan penyembuhan, Mel datang pada saya. Ia bertanya apakah saya ingin melanjutkan film ini, ia berkata ia sangat mengerti kalau saya menolak untuk melanjutkan film itu. Saya bekata pada Mel, saya tidak tahu kalau salib yang dipikul Tuhan Yesus seberat dan semenyakitkan seperti itu. Tapi kalau Tuhan Yesus mau memikul salib itu bagi saya, maka saya akan sangat malu kalau tidak memikulnya walau sebagian kecil saja. Mari kita teruskan film ini. Maka mereka mengganti salib itu dengan ukuran yang lebih kecil dan dengan bahan yang lebih ringan, agar bahu saya tidak terlepas lagi, dan mengulang seluruh adegan pemikulan salib itu. Jadi yang penonton lihat didalam film itu merupakan salib yang lebih kecil dari aslinya.
Bagian syuting selanjutnya adalah bagian yang mungkin paling mengerikan, baik bagi penonton dan juga bagi saya, yaitu syuting penyambukan Yesus. Saya gemetar menghadapi adegan itu, Karena cambuk yang digunakan itu sungguhan. Sementara punggung saya hanya dilindungi papan setebal 3 cm. Suatu waktu para pemeran prajurit Roma itu mencambuk dan mengenai bagian sisi tubuh saya yang tidak terlindungi papan. Saya tersengat, berteriak kesakitan, bergulingan ditanah sambil memaki orang yang mencambuk saya. Semua kru kaget dan segera mengerubungi saya untuk memberi pertolongan.
Tapi bagian paling sulit, bahkan hampir gagal dibuat yaitu pada bagian penyaliban. Lokasi syuting di Italia sangat dingin, sedingin musim salju, para kru dan figuran harus manggunakan mantel yang sangat tebal untuk menahan dingin. Sementara saya harus telanjang dan tergantung diatas kayu salib, diatas bukit yang tertinggi disitu. Angin dari bukit itu bertiup seperti ribuan pisau menghujam tubuh saya. Saya terkena hypothermia (penyakit kedinginan yang biasa mematikan), seluruh tubuh saya lumpuh tak bisa bergerak, mulut saya gemetar bergoncang tak terkendalikan. Mereka harus menghentikan syuting, karena nyawa saya jadi taruhannya.
Semua tekanan, tantangan, kecelakaan dan penyakit membawa saya sungguh depresi. Adegan-adegan tersebut telah membawa saya kepada batas kemanusiaan saya. Dari adegan-keadegan lain semua kru hanya menonton dan menunggu saya sampai pada batas kemanusiaan saya, saat saya tidak mampu lagi baru mereka menghentikan adegan itu. Ini semua membawa saya pada batas-batas fisik dan jiwa saya sebagai manusia. Saya sungguh hampir gila dan tidak tahan dengan semua itu, sehingga seringkali saya harus lari jauh dari tempat syuting untuk berdoa. Hanya untuk berdoa, berseru pada Tuhan kalau saya tidak mampu lagi, memohon Dia agar memberi kekuatan bagi saya untuk melanjutkan semuanya ini. Saya tidak bisa, masih tidak bisa membayangkan bagaimana Yesus sendiri melalui semua itu, bagaimana menderitanya Dia. Dia bukan sekedar mati, tetapi mengalami penderitaan luar biasa yang panjang dan sangat menyakitkan, bagi fisik maupun jiwaNya.
Dan peristiwa terakhir yang merupakan mujizat dalam pembuatan film itu adalah saat saya ada diatas kayu salib. Saat itu tempat syuting mendung gelap karena badai akan datang, kilat sambung menyambung diatas kami. Tapi Mel tidak menghentikan pengambilan gambar, karena memang cuaca saat itu sedang ideal sama seperti yang seharusnya terjadi seperti yang diceritakan. Saya ketakutan tergantung diatas kayu salib itu, disamping kami ada dibukit yang tinggi, saya adalah objek yang paling tinggi, untuk dapat dihantam oleh halilintar. Baru saja saya berpikir ingin segera turun karena takut pada petir, sebuah sakit yang luar biasa menghantam saya beserta cahaya silau dan suara menggelegar sangat kencang (setan tidak senang dengan adanya pembuatan film seperti ini). Dan sayapun tidak sadarkan diri.
Yang saya tahu kemudian banyak orang yang memanggil-manggil meneriakkan nama saya, saat saya membuka mata semua kru telah berkumpul disekeliling saya, sambil berteriak-teriak “dia sadar! dia sadar!” (dalam kondisi seperti ini mustahil bagi manusia untuk bisa selamat dari hamtaman petir yang berkekuatan berjuta-juta volt kekuatan listrik, tapi perlindungan Tuhan terjadi disini).
“Apa yang telah terjadi?” Tanya saya. Mereka bercerita bahwa sebuah halilintar telah menghantam saya diatas salib itu, sehingga mereka segera menurunkan saya dari situ. Tubuh saya menghitam karena hangus, dan rambut saya berasap, berubah menjadi model Don King. Sungguh sebuah mujizat kalau saya selamat dari peristiwa itu.
Melihat dan merenungkan semua itu seringkali saya bertanya, “Tuhan, apakah Engkau menginginkan film ini dibuat? Mengapa semua kesulitan ini terjadi, apakah Engkau menginginkan film ini untuk dihentikan”? Namun saya terus berjalan, kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan. Selama itu benar, kita harus terus melangkah. Semuanya itu adalah ujian terhadap iman kita, agar kita tetap dekat padaNya, supaya iman kita tetap kuat dalam ujian.
Orang-orang bertanya bagaimana perasaan saya saat ditempat syuting itu memerankan Yesus. Oh… itu sangat luar biasa… mengagumkan… tidak dapat saya ungkapkan dengan kata-kata. Selama syuting film itu ada sebuah hadirat Tuhan yang kuat melingkupi kami semua, seakan-akan Tuhan sendiri berada disitu, menjadi sutradara atau merasuki saya memerankan diriNya sendiri.
Itu adalah pengalaman yang tak terkatakan. Semua yang ikut terlibat dalam film itu mengalami lawatan Tuhan dan perubahan dalam hidupnya, tidak ada yang terkecuali. Pemeran salah satu prajurit Roma yang mencambuki saya itu adalah seorang muslim, setelah adegan tersebut, ia menangis dan menerima Yesus sebagai Tuhannya. Adegan itu begitu menyentuhnya. Itu sungguh luar biasa. Padahal awalnya mereka datang hanya karena untuk panggilan profesi dan pekerjaan saja, demi uang. Namun pengalaman dalam film itu mengubahkan kami semua, pengalaman yang tidak akan terlupakan.
Dan Tuhan sungguh baik, walaupun memang film itu menjadi kontroversi. Tapi ternyata ramalan bahwa karir saya berhenti tidak terbukti. Berkat Tuhan tetap mengalir dalam pekerjaan saya sebagai aktor. Walaupun saya harus memilah-milah dan membatasi tawaran peran sejak saya memerankan film ini.
Saya harap mereka yang menonton The Passion Of Jesus Christ, tidak melihat saya sebagai aktornya. Saya hanyalah manusia biasa yang bekerja sebagai aktor, jangan kemudian melihat saya dalam sebuah film lain kemudian mengaitkannya dengan peran saya dalam The Passion dan menjadi kecewa.
Tetap pandang hanya pada Yesus saja, dan jangan lihat yang lain. Sejak banyak bergumul berdoa dalam film itu, berdoa menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan dalam hidup saya. Film itu telah menyentuh dan mengubah hidup saya, saya berharap juga hal yang sama terjadi pada hidup anda. Amin.
“TUHAN YESUS MEMBERKATI KITA SEMUA”
Senin, 11 April 2011
Hamba Tuhan Sendal Jepit
Ketika anda mendengar kata sendal jepit, apa yang terlintas dalam pikiran anda? Mungkin kemiskinan, kamar mandi atau tidak berharga. Kalau hanya tiga hal itu yang terlintas dalam pikiran anda, berarti anda perlu membuka pikiran anda lebih luas lagi. Faktanya sendal jepit bisa anda temukan dimana-mana, entah di mal, rumah sakit, perumahan mewah, perumahan kumuh, mungkin juga di istana presiden, di mesjid, pura, wihara dan bahkan di gereja anda.
Mungkin anda berpikir bahwa di gereja anda tidak ada sendal jepit karena semua umat gereja anda selalu memakai sepatu. Tetapi cobalah anda bertahan lebih lama di gereja anda setelah selesai ibadah, lihatlah bagaimana sendal jepit menemani kostor gereja anda menyapu atau mengepel lantai gereja anda. Sekarang anda percayakan kalau sendal jepit juga ada di gereja?
Ketika anda membaca judul posting ini mungkin anda bertanya-tanya apa hubungannya sendal jepit dengan hamba Tuhan dan sekarang anda juga semakin bingung kenapa saya ngomongin sendal jepit terus. Saya katakan bahwa seorang hamba Tuhan harus memiliki karakter sendal jepit! Ada filosofi apakah di balik sendal jepit? Saya akan memberitahukannya kepada anda.
� Sendal jepit bisa diterima di mana-mana, di segala kalangan dari yang miskin sampai yang kaya, dari pejabat sampai tukang sapu. Begitupun seorang hamba Tuhan, anda harus bisa diterima di segala kalangan, jangan hanya mau berada di posisi nyaman anda bersama orang-orang kaya dan juga jangan minder sehingga anda tidak berani bergaul dengan kalangan jet set.
� Pernahkah anda melihat sendal jepit yang mengambang di kala banjir atau mengambang di sungai? Apa yang anda bisa pelajari dari hal ini? Sebagai hamba tuhan Anda juga tidak boleh tenggelam di dalam permasalahan hidup anda atau gereja anda. Anda harus dapat mengambang mengatasi masalah-masalah hidup ini & tentunya hanya ada satu jalannya yaitu bergantung penuh kepada Tuhan Yesus Kristus.
� Faktanya sendal jepit lebih dekat dengan orang yang memakainya, kenapa saya katakan begitu? Coba anda perhatikan, sepatu mahal anda hanya berada di depan pintu atau di atas rak sepatu anda. Tetapi sendal jepit anda bisa masuk kedalam kamar tidur anda bahkan kamar mandi anda. Begitupun seorang hamba Tuhan, anda harus bisa dipercaya oleh orang yang anda layani & anda juga harus bisa diterima oleh orang yang anda layani. Anda harus melayani dengan sungguh-sungguh, tak perduli apapun kondisinya, seperti sendal jepit yang setia menemani kemanapun.
� Berapakah harga sendal jepit?? Harga sendal jepit sangatlah murah, mungkin harga sendal jepit hanya 10 persen, 5 persen atau mungkin kurang dari 1 persen dari harga sepatu anda. Tetapi peranan sendal jepit sungguh luar biasa. Jadi sebagai hamba Tuhan anda juga jangan menghitung berapa rupiah yang akan anda terima dari pelayanan anda tetapi berapa besar peranan anda bagi orang yang anda layani untuk lebih dekat lagi kepada Kristus.
� Satu hal yang paling penting, pernahkah anda melihat sendal jepit di tong sampah? Kalau belum pernah nanti suatu saat kalau anda melihat, coba anda perhatikan kenapa sendal jepit itu berada disana? Biasanya sendal jepit dibuang karena pengikatnya sudah terlepas dari dasar karetnya. Lalu apa hubungannya dengan hamba Tuhan? Saya katakan dengan tegas, ketika anda sudah terlepas dan tidak terikat erat dengan Yesus Kristus sebagai dasar hidup anda, maka tempat anda pun di sana, di tong sampah yang akan di buang ke neraka! Seorang hamba Tuhan tidak berguna lagi ketika ia sudah telepas dari Kristus.
Mungkin anda berpikir bahwa di gereja anda tidak ada sendal jepit karena semua umat gereja anda selalu memakai sepatu. Tetapi cobalah anda bertahan lebih lama di gereja anda setelah selesai ibadah, lihatlah bagaimana sendal jepit menemani kostor gereja anda menyapu atau mengepel lantai gereja anda. Sekarang anda percayakan kalau sendal jepit juga ada di gereja?
Ketika anda membaca judul posting ini mungkin anda bertanya-tanya apa hubungannya sendal jepit dengan hamba Tuhan dan sekarang anda juga semakin bingung kenapa saya ngomongin sendal jepit terus. Saya katakan bahwa seorang hamba Tuhan harus memiliki karakter sendal jepit! Ada filosofi apakah di balik sendal jepit? Saya akan memberitahukannya kepada anda.
� Sendal jepit bisa diterima di mana-mana, di segala kalangan dari yang miskin sampai yang kaya, dari pejabat sampai tukang sapu. Begitupun seorang hamba Tuhan, anda harus bisa diterima di segala kalangan, jangan hanya mau berada di posisi nyaman anda bersama orang-orang kaya dan juga jangan minder sehingga anda tidak berani bergaul dengan kalangan jet set.
� Pernahkah anda melihat sendal jepit yang mengambang di kala banjir atau mengambang di sungai? Apa yang anda bisa pelajari dari hal ini? Sebagai hamba tuhan Anda juga tidak boleh tenggelam di dalam permasalahan hidup anda atau gereja anda. Anda harus dapat mengambang mengatasi masalah-masalah hidup ini & tentunya hanya ada satu jalannya yaitu bergantung penuh kepada Tuhan Yesus Kristus.
� Faktanya sendal jepit lebih dekat dengan orang yang memakainya, kenapa saya katakan begitu? Coba anda perhatikan, sepatu mahal anda hanya berada di depan pintu atau di atas rak sepatu anda. Tetapi sendal jepit anda bisa masuk kedalam kamar tidur anda bahkan kamar mandi anda. Begitupun seorang hamba Tuhan, anda harus bisa dipercaya oleh orang yang anda layani & anda juga harus bisa diterima oleh orang yang anda layani. Anda harus melayani dengan sungguh-sungguh, tak perduli apapun kondisinya, seperti sendal jepit yang setia menemani kemanapun.
� Berapakah harga sendal jepit?? Harga sendal jepit sangatlah murah, mungkin harga sendal jepit hanya 10 persen, 5 persen atau mungkin kurang dari 1 persen dari harga sepatu anda. Tetapi peranan sendal jepit sungguh luar biasa. Jadi sebagai hamba Tuhan anda juga jangan menghitung berapa rupiah yang akan anda terima dari pelayanan anda tetapi berapa besar peranan anda bagi orang yang anda layani untuk lebih dekat lagi kepada Kristus.
� Satu hal yang paling penting, pernahkah anda melihat sendal jepit di tong sampah? Kalau belum pernah nanti suatu saat kalau anda melihat, coba anda perhatikan kenapa sendal jepit itu berada disana? Biasanya sendal jepit dibuang karena pengikatnya sudah terlepas dari dasar karetnya. Lalu apa hubungannya dengan hamba Tuhan? Saya katakan dengan tegas, ketika anda sudah terlepas dan tidak terikat erat dengan Yesus Kristus sebagai dasar hidup anda, maka tempat anda pun di sana, di tong sampah yang akan di buang ke neraka! Seorang hamba Tuhan tidak berguna lagi ketika ia sudah telepas dari Kristus.
DURIAN
Seorang anak sambil menangis pulang ke rumahnya. Sang Ayah heran dan bertanya padanya: "Anakku, mengapa kamu menangis? Apa yang terjadi padamu?" Si Anak menjawab: "Aku diejek oleh teman-temanku, kata mereka aku jelek, seram, kulitku kasar dan menakutkan..."
Dengan tersenyum Sang Ayah masuk ke dapur, lalu kembali membawa sebuah Durian. Sang Ayah berkata: "Makanlah ini, buah ini dinamakan Durian." Si Anak terkejut dan menjawab: "Ayahku, mengapa Ayah memberikan buah seperti ini padaku? Lihatlah, semuanya penuh dengan duri, bagaimana bisa Aku memakannya?"
Sambil memakan Durian tersebut, Sang Ayah bercerita pada Anaknya: "Anakku, sesungguhnya Allah itu sungguh baik. Allah menyediakan segala sesuatunya buat kita untuk ditaklukkan, untuk dimakan, untuk diolah dan bahkan untuk dipelajari. Hari ini belajarlah Kamu dari Durian ini!" Jawab Si Anak: "Apa yang perlu Aku pelajari dari Durian ini, Ayah?"
Dengan tenang Sang Ayah menjelaskan: "Lihatlah Durian ini, dari luar kelihatan jelek, seram, kulitnya kasar dan menakutkan. Tapi ketika dibuka ternyata buahnya sangat lembut, harum, manis dan lezat untuk dimakan. Siapapun yang pernah memakannya pasti tidak akan melupakan Kelezatannya. Jadilah Kamu seperti Durian ini, walau kelihatan tidak baik/cantik dari luarnya,
tapi sangat baik/cantik di dalamnya. Kelak bila tiba saatnya, ketika mereka sudah merasakan Kebaikanmu, pasti mereka tidak akan bisa melupakan kebaikanmu tersebut, apalagi menolak dirimu seperti yang Kamu alami sekarang ini. Apa Kamu mengerti dengan yang Ayah katakan ini???"
Lalu Si Anak mengangguk iya dan akhirnya kembali ceria. "Terimakasih Ayah atas bimbingannya.." kata Si Anak sambil masuk ke kamarnya
Dengan tersenyum Sang Ayah masuk ke dapur, lalu kembali membawa sebuah Durian. Sang Ayah berkata: "Makanlah ini, buah ini dinamakan Durian." Si Anak terkejut dan menjawab: "Ayahku, mengapa Ayah memberikan buah seperti ini padaku? Lihatlah, semuanya penuh dengan duri, bagaimana bisa Aku memakannya?"
Sambil memakan Durian tersebut, Sang Ayah bercerita pada Anaknya: "Anakku, sesungguhnya Allah itu sungguh baik. Allah menyediakan segala sesuatunya buat kita untuk ditaklukkan, untuk dimakan, untuk diolah dan bahkan untuk dipelajari. Hari ini belajarlah Kamu dari Durian ini!" Jawab Si Anak: "Apa yang perlu Aku pelajari dari Durian ini, Ayah?"
Dengan tenang Sang Ayah menjelaskan: "Lihatlah Durian ini, dari luar kelihatan jelek, seram, kulitnya kasar dan menakutkan. Tapi ketika dibuka ternyata buahnya sangat lembut, harum, manis dan lezat untuk dimakan. Siapapun yang pernah memakannya pasti tidak akan melupakan Kelezatannya. Jadilah Kamu seperti Durian ini, walau kelihatan tidak baik/cantik dari luarnya,
tapi sangat baik/cantik di dalamnya. Kelak bila tiba saatnya, ketika mereka sudah merasakan Kebaikanmu, pasti mereka tidak akan bisa melupakan kebaikanmu tersebut, apalagi menolak dirimu seperti yang Kamu alami sekarang ini. Apa Kamu mengerti dengan yang Ayah katakan ini???"
Lalu Si Anak mengangguk iya dan akhirnya kembali ceria. "Terimakasih Ayah atas bimbingannya.." kata Si Anak sambil masuk ke kamarnya
Jenny dan Kalung Permata
Sebuah kisah kecil tentang seorang gadis mungil berumur lima tahun. Setelah menabung sekian waktu dan setelah menampung uang sebesar dua dollar, akhirnya ia berhasil membeli seutas kalung permata dari sebuah kios kecil di samping rumahnya, sebuah kalung tiruan. Jenny, demikian nama gadis cilik ini, sungguh amat mencintai kalung permata tersebut. Ia merasa bahwa permata tersebut telah membuatnya nampak bagaikan seorang bidadari. Ia akan mengenakan kalung tersebut dalam kesempatan apapun, entah ke sekolah minggu, ke sekolah Taman Kanak-kanak, bahkan juga di saat tidur malam.
Jenny memiliki seorang ayah yang sangat mencintainya. Setiap malam saat Jenny siap tidur malam, ayahnya akan melepaskan kegiatan apa saja yang sedang dilakukannya dan duduk di samping ranjang Jenny membacakan cerita dongeng baginya. Suatu malam, setelah membacakan dongeng baginya, sang ayah bertanya;
"Jenny, apakah engkau mencintai daddy?"
"Oh Daddy…, daddy pasti tahu bahwa saya sungguh mencintai daddy.”"
"Nah kalau Jenny mencintai daddy, berikan kalung "permata itu buat daddy.” Demikian pinta ayahnya.
"Oh... Tidak!! Daddy bisa ambil boneka kuda yang ada di atas meja sana, kuda dengan ekor berwarna pink itu. Kuda itu salah satu kesayangan saya, tapi saya rela berikan itu untuk daddy." Demikian jawab Jenny.
"Oh sayang… Nggak apa-apa. Daddy mencintaimu! Selamat tidur yah!" Kata ayahnya samping mengecup pipi puterinya.
Kira-kira minggu berikutnya, setelah membacakan dongeng buat Jenny, sang ayah sekali lagi bertanya;
"Jenny, apakah engkau mencintai daddy?"
"Daddy, daddy tahu bahwa Jenny mencintai daddy?"
"Kalau demikian, berikan kalung permata itu buat daddy."
"Oh tidak daddy. Daddy boleh ambil boneka atau apa saja yang lain tetapi bukan kalung ini. Ambil aja 'baby-wawa' yang berdiri di sana. Jangan lupa kenakan gaun merah muda buatnya karena ia nampak cantik mengenakan gaun itu." Demikian jawab Jenny.
"Oh… Nggak apa-apa sayang. Daddy mencintaimu." Kata sang ayah sambil mengecup keningnya.
Beberapa malam berikutnya. Ketika sang ayah memasuki kamar Jenny, didapatinya Jenny sedang duduk bersila di atas ranjangnya. Ketika ia datang mendekat, sang ayah bisa melihat bahwa dada Jenny kini berguncang keras dan sebutir air mata meluncur jatuh di pipinya.
"Jenny, apa yang sedang terjadi pada dirimu?"
Tanpa mengatakan sepatah katapun Jenny mengangkat kedua tangannya yang sedang terkatup ke arah ayahnya. Dan ketika ia membuka tangannya, terlihatlah gemerlapan kalung perak di tangannya. "Daddy, ambillah ini. Ini untukmu." Kata Jenny di sela-sela tangisnya.
Dengan penuh haru sang ayah menerima kalung permata murahan itu sambil tangan yang lain mengeluarkan kalung permata sungguhan dari dalam sakunya dan memberikannya kepada puterinya. Ia tahu bahwa sang putrinya nampak cantik saat mengenakan kalung permata murahan itu dan sungguh mencintainya. Sang ayah ingin memberikannya dengan kalung permata asli. Kalung tersebut senantiasa dibawanya dalam sakunya, namun ia hanya akan memberikan kalung itu kepada Jenny saat ia rela meninggalkan kalung tiruan dan murahan yang sedang dikenakannya. Hanya ketika "Jenny" rela meninggalkan yang tidak real, ia akan diberi sesuatu yang real.
----------
Hal yang sama mungkin terjadi juga dengan Bapa kita di Surga. Yesus menghendaki agar kita meninggalkan ketergantungan kita pada hal duniawi yang amat kita cintai. Hanya dengan cara ini kita akan diberi harta istimewa surgawi.
"Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah! Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di sorga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Luk 12:32-48).
Jenny memiliki seorang ayah yang sangat mencintainya. Setiap malam saat Jenny siap tidur malam, ayahnya akan melepaskan kegiatan apa saja yang sedang dilakukannya dan duduk di samping ranjang Jenny membacakan cerita dongeng baginya. Suatu malam, setelah membacakan dongeng baginya, sang ayah bertanya;
"Jenny, apakah engkau mencintai daddy?"
"Oh Daddy…, daddy pasti tahu bahwa saya sungguh mencintai daddy.”"
"Nah kalau Jenny mencintai daddy, berikan kalung "permata itu buat daddy.” Demikian pinta ayahnya.
"Oh... Tidak!! Daddy bisa ambil boneka kuda yang ada di atas meja sana, kuda dengan ekor berwarna pink itu. Kuda itu salah satu kesayangan saya, tapi saya rela berikan itu untuk daddy." Demikian jawab Jenny.
"Oh sayang… Nggak apa-apa. Daddy mencintaimu! Selamat tidur yah!" Kata ayahnya samping mengecup pipi puterinya.
Kira-kira minggu berikutnya, setelah membacakan dongeng buat Jenny, sang ayah sekali lagi bertanya;
"Jenny, apakah engkau mencintai daddy?"
"Daddy, daddy tahu bahwa Jenny mencintai daddy?"
"Kalau demikian, berikan kalung permata itu buat daddy."
"Oh tidak daddy. Daddy boleh ambil boneka atau apa saja yang lain tetapi bukan kalung ini. Ambil aja 'baby-wawa' yang berdiri di sana. Jangan lupa kenakan gaun merah muda buatnya karena ia nampak cantik mengenakan gaun itu." Demikian jawab Jenny.
"Oh… Nggak apa-apa sayang. Daddy mencintaimu." Kata sang ayah sambil mengecup keningnya.
Beberapa malam berikutnya. Ketika sang ayah memasuki kamar Jenny, didapatinya Jenny sedang duduk bersila di atas ranjangnya. Ketika ia datang mendekat, sang ayah bisa melihat bahwa dada Jenny kini berguncang keras dan sebutir air mata meluncur jatuh di pipinya.
"Jenny, apa yang sedang terjadi pada dirimu?"
Tanpa mengatakan sepatah katapun Jenny mengangkat kedua tangannya yang sedang terkatup ke arah ayahnya. Dan ketika ia membuka tangannya, terlihatlah gemerlapan kalung perak di tangannya. "Daddy, ambillah ini. Ini untukmu." Kata Jenny di sela-sela tangisnya.
Dengan penuh haru sang ayah menerima kalung permata murahan itu sambil tangan yang lain mengeluarkan kalung permata sungguhan dari dalam sakunya dan memberikannya kepada puterinya. Ia tahu bahwa sang putrinya nampak cantik saat mengenakan kalung permata murahan itu dan sungguh mencintainya. Sang ayah ingin memberikannya dengan kalung permata asli. Kalung tersebut senantiasa dibawanya dalam sakunya, namun ia hanya akan memberikan kalung itu kepada Jenny saat ia rela meninggalkan kalung tiruan dan murahan yang sedang dikenakannya. Hanya ketika "Jenny" rela meninggalkan yang tidak real, ia akan diberi sesuatu yang real.
----------
Hal yang sama mungkin terjadi juga dengan Bapa kita di Surga. Yesus menghendaki agar kita meninggalkan ketergantungan kita pada hal duniawi yang amat kita cintai. Hanya dengan cara ini kita akan diberi harta istimewa surgawi.
"Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah! Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di sorga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Luk 12:32-48).
Kisah Tiga Ayam Petelur
Suatu hari tiga telur menetas bersamaan dalam rimbun jerami tua di pesawahan desa. Anak-anak ayam itu terlihat begitu cantik dengan bulu kuning halusnya. Tak lama kemudian pak tani pemilik sawah menemukan mereka dan memeliharanya hingga mereka tumbuh besar menjadi ayam-ayam betina yang sehat dan kuat.
Tibalah saat mereka untuk mulai bertelur. Pak tani mulai menyiapkan tempat khusus dan nyaman untuk ayam-ayamnya dan seperti yang diharapkan, ayam-ayampun bertelur.
Ayam pertama saat mulai bertelur, begitu gembira terutama melihat pak tani tersenyum pada telurnya. Namun disayangkan si ayam mulai merasa dimanfaatkan pak tani ketika telur diambil dari kandang. Iapun mogok bertelur, pak tani lalu memberikan berbagai macam vitamin dan pakan kesukaan si ayam. Ayam pun mulai bertelur kembali meski sering tersendat-sendat. Pada akhirnya pak tani memutuskan untuk memotong ayam pertama karena ongkos pakan yang lebih tinggi daripada telur yang dihasilkan.
Ayam kedua saat bertelur juga merasa bahagia melihat pak tani tersenyum. Ia merasa jika bertelur, ia menjadi begitu menarik. Maka saat bertelur, ia selalu berkotek untuk menarik perhatian pak tani. Namun beberapa hari kemudian ia kecewa karena kotekannya diabaikan pak tani dan menyuruh orang suruhannya untuk memungut telur si ayam tiap berkotek.
Kegembiraan juga dirasa oleh ayam ketiga saat mulai bertelur. Namun hal itu tak terlalu menguasai perasaannya karena ia menyadari bahwa ia adalah jenis ayam petelur. Dan si ayampun terus bertelur dan bertelur hingga melewati usia produktifnya.
*Kebaikan bagai telur dan kita adalah ayamnya. Saat kita merasa kebaikan adalah sesuatu yang perlu diperdagangkan maka jadilah kita ayam yang pertama. Begitu pula saat kita menyadari keindahan dari kebaikan-kebaikan kita jadilah kita sebagai tipe yang kedua. Namun saat kesadaran akan panggilan hidup mulai menguasai pikiran dan hati kita maka saat itulah kesejatian, ketulusan dan keindahan akan menjadi milik kita tanpa kita menyadarinya. Oh betapa Besarnya Tuhan.
Tibalah saat mereka untuk mulai bertelur. Pak tani mulai menyiapkan tempat khusus dan nyaman untuk ayam-ayamnya dan seperti yang diharapkan, ayam-ayampun bertelur.
Ayam pertama saat mulai bertelur, begitu gembira terutama melihat pak tani tersenyum pada telurnya. Namun disayangkan si ayam mulai merasa dimanfaatkan pak tani ketika telur diambil dari kandang. Iapun mogok bertelur, pak tani lalu memberikan berbagai macam vitamin dan pakan kesukaan si ayam. Ayam pun mulai bertelur kembali meski sering tersendat-sendat. Pada akhirnya pak tani memutuskan untuk memotong ayam pertama karena ongkos pakan yang lebih tinggi daripada telur yang dihasilkan.
Ayam kedua saat bertelur juga merasa bahagia melihat pak tani tersenyum. Ia merasa jika bertelur, ia menjadi begitu menarik. Maka saat bertelur, ia selalu berkotek untuk menarik perhatian pak tani. Namun beberapa hari kemudian ia kecewa karena kotekannya diabaikan pak tani dan menyuruh orang suruhannya untuk memungut telur si ayam tiap berkotek.
Kegembiraan juga dirasa oleh ayam ketiga saat mulai bertelur. Namun hal itu tak terlalu menguasai perasaannya karena ia menyadari bahwa ia adalah jenis ayam petelur. Dan si ayampun terus bertelur dan bertelur hingga melewati usia produktifnya.
*Kebaikan bagai telur dan kita adalah ayamnya. Saat kita merasa kebaikan adalah sesuatu yang perlu diperdagangkan maka jadilah kita ayam yang pertama. Begitu pula saat kita menyadari keindahan dari kebaikan-kebaikan kita jadilah kita sebagai tipe yang kedua. Namun saat kesadaran akan panggilan hidup mulai menguasai pikiran dan hati kita maka saat itulah kesejatian, ketulusan dan keindahan akan menjadi milik kita tanpa kita menyadarinya. Oh betapa Besarnya Tuhan.
Langganan:
Postingan (Atom)