Kamis, 25 Maret 2010

Waktu

Bayangkan ada sebuah bank yang memberi anda uang sejumlah Rp. 86.400,- setiap paginya.
Semua uang itu dapat anda gunakan (tidak lebih).
Pada malam hari, bank akan menghapus sisa uang yang tidak anda gunakan selama sehari.
Coba tebak, apa yang akan anda lakukan?
Tentu saja, menghabiskan semua uang pinjaman itu.
Siapapun dari kita memiliki bank semacam itu; bernama WAKTU.
Setiap pagi, ia akan memberi anda 86.400 detik.
Pada malam harinya ia akan menghapus sisa waktu yang tidak anda gunakan untuk tujuan baik.
Karena ia tidak memberikan sisa waktunya pada anda.
Ia juga tidak memberikan waktu tambahan.
Setiap hari ia akan membuka satu rekening baru untuk anda.
Setiap malam ia akan menghanguskan yang tersisa.
Jika anda tidak menggunakannya maka kerugian akan menimpa anda.
Anda tidak bisa menariknya kembali.
Juga, anda tidak bisa meminta “uang muka” untuk keesokan hari.
Anda harus hidup di dalam simpanan hari ini.
Maka dari itu, investasikanlah untuk kesehatan, kebahagiaan dan kesuksesan anda.
Jam terus berdetak.
Gunakan waktu anda sebaik-baiknya.
Agar tahu pentingnya waktu SETAHUN, tanyakan pada murid yang gagal kelas.
Agar tahu pentingnya waktu SEBULAN, tanyakan pada ibu yang melahirkan bayi prematur.
Agar tahu pentingnya waktu SEMINGGU, tanyakan pada editor majalah mingguan.
Agar tahu pentingnya waktu SEJAM, tanyakan pada kekasih yang menunggu untuk bertemu.
Agar tahu pentingnya waktu SEMENIT, tanyakan pada orang yang ketinggalan pesawat terbang.
Agar tahu pentingnya waktu SEDETIK, tanyakan pada orang yang baru saja terhindar dari kecelakaan.
Agar tahu pentingnya waktu SEMILIDETIK, tanyakan pada peraih medali perak Olimpiade.
RENUNGAN……
“Hargailah setiap waktu yang anda miliki. Dan ingatlah waktu tidaklah menunggu siapa-siapa”

Harapan

Seorang teman bertanya,
“kenapa jam di rumah mu tidak ada yang tepat waktu”?
Kalau diperhatikan memang demikian, Jam di ruang tamu ku lebih 30 menit, di ruang TV juga demikian sedangkan di ruang kamar tamu dan kamarku sendiri berbeda sekitar 1 jam. Walau demikian aku hafal dengan perbedaan waktu tersebut. Lalu seperti pertanyaan dari teman ku…”untuk apa itu dilakukan”??
Hmmm rasanya enak saja kalau tiba-tiba terbangun jam menunjukan pukul 05:30 pagi, dan aku tahu bahwa itu masih jam 04:30 pagi.. artinya masih ada waktu kurang lebih 1/2 jam untuk tidur kembali sebelum kemudian bangun untuk melaksanakan sholat subuh. Atau ketika terburu-buru hendak pergi atau melakukan sesuatu begitu melihat jam di ruang keluarga masih menyisakan waktu 1/2 jam untuk mempersiapkan segala sesuatunya dan memastikan semuanya sudah siap.
Entahlah .bagiku mempunyai kelebihan waktu 1/2 jam sampai 1 jam menjadi suatu sumber harapan dimana saya masih berharap untuk tidur kembali atau bisa datang ke kantor ku tepat waktu walau jam di pergelangan tangan ku menunjukan hal yang sebaliknya.
Harapan…mungkin inilah yang membuat saya senang memajukan jam di rumah dan juga dipergelangan tangan ku untuk tidak tepat waktu
Seperti harapan yang dimiliki Ben teman ku yang dengan mata berbinar-binar menyerahkan proposal project kepadaku walau berulang kali kukatakan bahwa aku hanya bersifat membantu mendaftakrkan saja tanpa bisa membantunya untuk lolos tender kali ini. Atau seperti Tika yang terlihat cerah dengan senyum manisnya ketika tahu bahwa menurut dokter kandunganya dia dan suaminya tidak mempunyai masalah dalam hal reproduksi maka besar kemungkinan untuk mempunyai anak..ini hanya tinggal masalah waktu.. begitu katanya..
Harapan seringkali membangun mimpi seseorang, dengan harapan seseorang bisa melihat dunia dengan segala keindahannya..mensyukuri keberadaan dirinya dan merasa mampu untuk tetap bertahan.
Seorang penyair menyatakan bahwa harapan itu seperti sayap burung yang mampu membawa terbang dirinya ke alam bebas untuk bisa merasakan hidup yang sejatinya. Berbeda dengan orang-orang yang tidak mempunyai harapan, mereka akan berputus asa. Melihat dunia dari kegelapan, merasakan bahwa keberadaanya tak ada gunanya lagi sehingga banyak juga orang yang berputus asa akhirnya menyakiti diri mereka sendiri bahkan ada yang bisa untuk mengakhiri keberadaan dirinya sendiri.
Jangan heran kalau berkunjung ke rumah Pakde ku yang tinggal di kawasan Bandung timur, di rumahnya ada 3 tangga kayu yang tergeletak di dalam garasi mobilnya. Padahal dengan kondisi rumah hanya satu lantai tanpaada pohon besar, boleh di pertanyakan kegunaan tangga tsb.
Itupun yang kutanyakan pada Beliau, mengapa Pakde harus memiliki tangga kayu bahwa sampai 3 buah banyaknya.Pakde ku mengatakan bahwa kadang kala beliau melihat penjual tangga yang berkeliling komplek, mereka memikul tangga2 tersebut di pundaknya bahkan sampai 5 buah banyaknya. Bagaimana perasaan tukang tangga yang dengan susah payah memikul tangga tersebut berjalan berkilo-kilo dan berharap bahwa tangga2 akan terjual dan ternyata tidak satupun tangga yang terjual..
Beliau mengatakan bahwa tidak semata-mata dia membeli tangga untuk mendapatkan tangganya tapi lebih kepada memberikan harapan dan berbagi rezeki dengan si tukang tangga.Mungkin harga tangga dan keuntungan bagi tukang tangga tidaklah seberapa tapi harapan yang muncul dalam dirinyalah yang bisa membuat tukang tangga bertahan memikul dengan susah payah tangga2 yang berat di pundaknya dan menjajakan tangga tersebut dengan berjalan kaki berkilo-kilo.
Harapan seringkali membuat kita kuat dan mampun bertahan, tanpa harapan mungkin saja kita tidak akan dapat bertahan walau hanya sesaat.
Lalu harapan apa yang kau pegang hari ini???

Minggu, 14 Maret 2010

Di Balik Cermin

Ketika saya masih kecil, kami tinggal di kota New York, hanya satu blok dari rumah kakek-nenek saya. Setiap malam, kakek saya selalu melakukan “kewajibannya,” dan di setiap musim panas, saya selalu ikut dengannya.
Pada suatu malam, ketika Grandpa (kakek) dan saya sedang jalan kaki bersama, saya menanyakan apa bedanya keadaan sekarang dengan dulu, ketika dia masih kecil di tahun 1964. Grandpa bercerita tentang jamban-jamban di luar rumah, bukan toilet mengkilap, kuda- kuda, bukan mobil, surat-surat, bukan telepon, dan lilin-lilin, bukan lampu-lampu listrik.
Sementara dia menceritakan semua hal-hal indah yang sama sekali tidak pernah terbayang di kepala saya, hati kecil saya mulai penasaran. Lalu saya tanyakan kepadanya,”Grandpa, apa hal paling susah yang pernah terjadi dalam hidupmu?”
Grandpa berhenti melangkah, memandang cakrawala, dan membisu beberapa saat. Lalu dia berlutut, menggenggam tangan saya, dan dengan air mata berlinang dia mengatakan: “Ketika ibumu dan adik-adiknya masih kecil-kecil, Grandma (nenek) sakit parah dan untuk bisa sembuh, dia harus di rawat di satu tempat yang namanya sanatorium, untuk waktu yang lama sekali.
Tidak ada orang yang bisa merawat ibu dan paman-pamanmu kalau aku sedang pergi kerja, jadi mereka kutitipkan di panti asuhan. Para biarawati yang membantuku mengurusi mereka, sementara aku harus melakukan dua atau tiga pekerjaan untuk bisa mengumpulkan uang, agar Grandma bisa sembuh dan semua orang bisa berkumpul lagi di rumah.”
“Yang paling sulit dalam hidupku adalah, aku harus menaruh mereka di panti asuhan. Setiap minggu aku mengunjungi mereka, tetapi para biarawati itu tidak pernah mengijinkan aku mengobrol dengan mereka, atau memeluk mereka. Aku hanya bisa memperhatikan mereka bermain dari balik sebuah cermin satu arah. Aku selalu membawakan permen setiap minggu, berharap mereka tahu itu pemberianku. Aku hanya bisa menaruh kedua tanganku di atas cermin itu selama tiga puluh menit penuh, waktu yang mereka ijinkan untuk aku melihat anak- anakku, berharap mereka akan datang dan menyentuh tanganku. ”
“Satu tahun penuh kulalui tanpa menyentuh anak-anakku. Aku sangat merindukan mereka. Tetapi aku juga tahu bahwa itulah tahun yang lebih sulit lagi bagi mereka. Aku tidak pernah bisa memaafkan diriku sendiri karena tidak bisa memaksa biarawati itu mengijinkan aku memeluk anak-anakku. Tetapi kata mereka, kalau diijinkan, itu malah akan lebih memperburuk keadaan, bukan memperbaikinya, dan mereka akan menjadi lebih sulit tinggal di panti asuhan itu. Jadi aku menurut saja.”
Saya tidak pernah melihat Grandpa menangis. Dia memeluk saya erat-erat dan saya katakan kepadanya bahwa saya memiliki Grandpa terbaik di seluruh dunia dan saya sangat menyayanginya.
Lima belas tahun berlalu, dan saya tidak pernah menceritakan acara jalan-jalan istimewa dengan Grandpa itu kepada siapapun. Dari tahun ke tahun kami tetap rajin jalan-jalan, sampai keluarga saya dan kakek-nenek saya pindah ke negara bagian yang berbeda.
Setelah nenek saya meninggal dunia, kakek saya mengalami penurunan ingatan dan saya yakin itulah periode penuh tekanan baginya. Saya memohon kepada ibu saya untuk memperbolehkan Grandpa tinggal bersama kami, tetapi ibu saya menolaknya.
Saya terus merengek, “Ini kan sudah kewajiban kita sebagai keluarga untuk memikirkan apa yang terbaik baginya.”
Dengan sedikit marah, ibu membentak, “Kenapa? Dia sendiri sama sekali tidak pernah perduli pada apa yang terjadi terhadap kami, anak-anaknya!”
Saya tahu apa yang ibu maksud. “Dia selalu memperhatikan dan menyayangi kalian,” kata saya.
Ibu saya menjawab,” Kau tidak mengerti apa yang kau bicarakan!”
“Hal tersulit baginya adalah harus menaruh ibu dan paman Eddie dan paman Kevin di panti asuhan.”
“Siapa yang cerita begitu padamu?” tanyanya.
Ibu saya sama sekali tidak pernah membicarakan masa-masa itu kepada kami.
“Mom, dia selalu datang ke tempat itu setiap minggu untuk mengunjungi anak-anaknya. Dia selalu memperhatikan kalian bermain dari belakang cermin satu arah itu. Dia selalu membawakan permen setiap kali dia datang. Dia tidak pernah absen setiap minggu. Dia benci tidak bisa memeluk kalian selama satu tahun itu!”
“Kau bohong! Dia tidak pernah datang. Tidak pernah ada yang datang menjenguk kami.”
“Lalu bagaimana aku bisa tahu soal kunjungan itu kalau bukan dia yang cerita ? Bagaimana aku bisa tahu oleh-oleh yang dibawanya? Dia benar-benar datang. Dia selalu datang. Para biarawati itulah yang tidak pernah mengijinkan dia menemui kalian, karena kata mereka, akan terlalu sulit bagi anak-anak kalau melihat ayahnya sudah harus pergi lagi. Mom, Grandpa menyayangimu, dan selalu begitu!”
Grandpa selalu beranggapan anak-anaknya tahu dia berdiri dibalik cermin satu arah itu, tetapi karena mereka tidak pernah merasakan kehangatan dan kekuatan pelukannya, dia pikir mereka telah melupakan kunjungan-kunjungannya. Sementara, ibu saya dan adik- adiknya beranggapan dia tidak pernah datang mengunjungi mereka.
Setelah saya menceritakan kebenaran itu kepada ibu saya, hubungannya dengan Grandpa mulai berubah. Dia menyadari bahwa ayahnya selalu menyayanginya, dan akhirnya Grandpa tinggal bersama kami sampai akhir hidupnya.

LAURA REILLY

Jumat, 12 Maret 2010

ASAL KUJAMAH SAJA

Dr. Charles Gerkin, seorang psikolog, mengatakan, “Seorang hamba Tuhan yang tidak rela menyentuh secara jasmani tak mungkin dapat menjamah secara rohani. Bila Anda tidak bersedia menyentuh seseorang yang tidak mempunyai tempat kediaman karena sangat miskin, atau seorang pemabuk, atau seorang yang berpakaian kotor dan berpenampilan tidak menarik, Anda sesungguhnya tidak siap secara batin untuk melayani!" Ia menceritakan pengalaman seorang Pendeta saat menghadapi seorang anggota jemaatnya yang kena penyakit AIDS. Pada suatu saat ia mengunjunginya di rumah sakit dan perawat yang sedang bertugas memberikan kepadanya sepasang sarung tangan untuk dipakai sebelum dia masuk kamar pasien. Orang sakit itu begitu bergembira saat melihat siapa yang datang membesuknya dan segera mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Namun saat pendetanya itu mengulurkan tangannya sendiri, yang ia melihat hanyalah sarung tangan! Tiba-tiba perasaan gembira dan sukacita yang ada pada awalnya berubah menjadi keadaan memalukan bagi mereka berdua! Si pendeta langsung meminta maaf. Setelah pengalamannya itu, dalam tiap pelayanannya mengunjungi orang-orang di rumah sakit, ia tak pernah memakai sarung tangan lagi. Katanya, “Saya hanya merasa tidak dapat membawa Kristus kepada mereka tanpa hubungan pribadi dan sentuhan yang langsung.”

Sentuhan, sama dengan pelukan dan berbagai bahasa tubuh tertentu merupakan ungkapan kasih dan kerelaan kita menerima sesama apa adanya dengan cara yang unik dan tak terungkap dengan kata-kata. Namun sentuhan itu adalah komunikasi dua-arah: ia mempengaruhi baik orang yang disentuh maupun orang yang menyentuh. Berbagai tradisi dan budaya mempunyai peraturan-peraturan mengenai apa dan siapa yang boleh dan tak boleh menyentuh atau disentuh. Bahkan ada kepercayaan bahwa dengan menyentuh orang atau benda yang salah, orang yang menyentuh itu langsung menjadi najis! Jadi bayangkan kagetnya orang-orang Yahudi, terutama para ahli Taurat dan Farisi, karena Yesus berkali-kali melanggar semua tradisi itu! Dengan melakukan hal-hal yang “dilarang,” yakni menyentuh dan membiarkan Diri-Nya disentuh oleh mereka yang dianggap najis oleh hukum dan peraturan, justru Yesus menyelamatkan mereka.

Pada suatu saat, sambil orang-orang berbondong-bondong mengelilingi Yesus dan berdesak-desakan dekat-Nya, tiba-tiba Ia berpaling dan bertanya, “Siapa yang menjamah Aku?” Ia mengetahui dan merasakan ada yang menyentuh-Nya secara berbeda sehingga ada tenaga yang keluar dari Diri-Nya! Berarti adalah dua macam sentuhan yang sedang terjadi pada peristiwa itu: sentuhan orang-orang yang berdesak-desakan dekat-Nya yang tidak menyebabkan apa-apa dan sentuhan seorang perempuan yang sudah lama menderita pendarahan yang menyebabkan mukjizat. Apa bedanya di antara sentuhan-sentuhan dari orang banyak dan sentuhan dari seorang wanita itu? Dia yang sedang sakit pendarahan itu menyentuh Yesus dengan Iman yang berpengharapan. Dia begitu yakin bahwa “ada sesuatu yang akan terjadi” asal dia dapat menyentuh Yesus!

Jika Yesus sedang lewat di sini, sekarang, dan kamu ada kesempatan untuk menyentuh jubah-Nya, apakah kamu akan menyentuh-Nya karena penasaran ataukah dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa kamu akan disembuhkan dan dipulihkan? Sesungguhnya di dalam Perayaan Ekaristi, pada saat Komuni Kudus, kamu tidak hanya menyentuh Yesus; kamu menyantap Tubuh dan Darah-Nya. Ucapkanlah dengan penuh iman dan harapan doa kita itu sebelum menyambut-Nya: “Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya, tetapi bersabdalah saja maka saya akan sembuh!” (P.Noel,SDB)

HUKUM GEMA

Adalah seorang petani yang biasa menjual setengah kilo mentega kepada seorang tukang roti. Pada suatu saat si tukang roti itu mencoba untuk menimbang mentega yang dia sering beli itu, jangan-jangan kurang dari setengah kilo. Ternyata memang tidak sampai segitu, maka dia marah-marah dan membawa petani ke pengadilan!

Sang hakim bertanya kepada petani kalau dia menggunakan neraca atau tidak. Ia menjelaskan bahwa memang dia tak punya alat seperti itu tapi dia menggunakan timbangan. Kemudian hakim bertanya, “Jadi bagaimana cara kamu menimbang mentega yang kamu jual?” “Yang Mulia,” jawabnya, “jauh sebelum tukang roti itu membeli mentega dari saya, saya sudah biasa beli setengah kilo roti daripadanya. Tiap hari rotinya diantar ke tempat saya, saya menaruhnya di atas timbangan dan memberikan kepadanya mentega yang sama beratnya.”

Apakah pelajaran dari ceritera kecil ini? Bahwasannya di dalam hidup ini, apapun yang kita berikan itu kembali kepada kita. Orang menyebutnya “Karma.” Saya menyebutnya “Hukum Gema.” Jika saya berdiri di depan lembah dan saya berteriak, “Hello!” pasti bunyi yang bergema kembali kepada saya adalah “Hello” juga. Tidak mungkin saya berteriak “Hei orang ganteng!” dan gemanya jadi “Hei orang jelek!” Jika saya berseru “Kejahatan!” maka gema yang kembali kepada saya ialah “Kejahatan!” Dan apabila saya berseru “I LOVE YOU,” maka yang kembali kepada saya ialah “I LOVE YOU” too!

Apapun yang kita berikan itu kembali kepada kita. Sesederhana itu. Kita tidak bisa luput dari “Hukum Gema.” Kata Santo Paulus, “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.” Dan Yesus tentang kemurahan-hati mengajar demikan, “Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.”
(P.Noel,SDB)

KEJUJURAN

Salah satu ceritera dari fabel-fabel Aesop yang menjadi terkenal adalah yang tentang gembala yang suka berbohong. Pada suatu hari seorang gembala muda sedang menjaga domba-dombanya. Entah karena bosan atau hanya iseng, dia memikirkan untuk melakukan sesuatu yang dia anggap lucu. Dia mulai berteriak, “Serigala! Serigala! Tolong ada serigala menyerang domba-domba!” Dengan segera sekelompok penduduk desa datang bersenjatakan tongkat, kayu dan sebagainya! “Dimana serigala?” tanya mereka dengan siap mengusir serigala itu. “Ha ha ha... tidak ada serigala koq!” jawab si pemuda itu sambil terbahak-bahak, “Saya cuma bercanda!” Dan rombongan itu pun pergi dengan kecewa atas sikap gembala muda itu yang membohongi mereka.

Dua kali lagi gembala muda itu melakukan hal yang sama dan setiap saat dia tertawa puas karena berhasil membohongi orang-orang desa itu. Pada suatu hari seekor serigala benar-benar menyerang dan memangsa domba-dombanya, dan pemuda itu berteriak minta tolong tapi tak satu pun yang datang sebab para penduduk desa berpikir dia berbohong lagi!

Kebanyakan dari kita bertumbuh dengan orang tua yang sering berkata kepada kita, “Apapun yang kamu lakukan, janganlah berbohong kepada orangtua.” “Kalau kamu berbohong terus, nanti Mama dan Papa sudah sulit percaya kamu!” Memang benar bahwa seorang pembohong itu tidak dipercaya lagi ketika ia mengatakan yang benar.

Tentu saja tidak ada seorang pun yang sempurna. Kita semua berbuat kesalahan. Kita meminta maaf seperti kita pun bersedia memaafkan orang lain. Namun menjadi orang yang jujur dan bisa dipercayai itu penting. Kadang-kadang kita meremehkan kesalahan kita, “Itu kan cuma bohong-bohongan kecil!” atau “Saya berbohong demi kebaikan!” Tapi yang jelas itu tetap kebohongan! Termasuk menyuruh anak atau pasangan kita mengatakan kepada orang bahwa kita “tidak ada,” padahal kita ada! Inti ajaran Yesus tentang Kejujuran ialah: Orang yang tidak bisa jujur dalam hal-hal yang kecil juga tak bisa jujur dalam perkara besar! Sebab akhirnya ketidakjujuran itu menjadi kebiasaan kita dan contoh ketidakjujuran itu mudah sekali menular ke anak-anak serta keluarga kita! (P.Noel,SDB)

KEBUTAAN YANG TRAGIS

Ada seorang wanita muda buta yang selalu penuh dengan kedengkian karena tidak bisa menerima keadaannya. Oleh karena kecacatannya itu maka ia membenci seluruh dunia dan setiap orang di sekitarnya, kecuali kekasihnya yang sangat mengasihinya. Pemuda ini setiap saat mendampingnya. Dia pernah menyatakan kepada pria ini bahwa kalau saja dia dapat melihat keindahan dunia maka dia siap untuk menikah dengannya. Pada suatu saat, dia mendapatkan sepasang mata dari seorang donor dan ia pun mulai saat itu dapat melihat keindahan dunia, dan juga kekasihnya! Pemuda ini bertanya kepadanya, “Sayang, sekarang kamu sudah dapat melihat keindahan dunia. Maukah menikah dengan aku?” Wanita muda itu begitu kaget melihat bahwa ternyata kekasihnya itu buta juga, dan dia tidak mau lagi menikah dengannya. Pemuda itu pergi dengan sedih menangis, dan beberapa hari kemudian ia mengirim surat ini kepadanya, “Selamat tinggal, sayang, jaga baik-baik dirimu... dan mataku.”

Bukankah demikian juga tragedi hubungan manusia dengan Tuhan? Apa artinya “Allah menjelma menjadi Manusia?” Begitu besar kasih-Nya kepada saya, sehingga Dia menjadi seperti saya dalam segala hal, kecuali dosa. Dalam segala hal! Dia ingin supaya saya melihat keindahan segala ciptaan-Nya... bahkan supaya saya memiliki hidup dalam segala kelimpahan. Tragedinya ialah setelah saya sudah dapat menikmati segalanya, saya seringkali sudah tidak mengingat-Nya lagi, yang telah berkorban menjadi seperti saya dalam segala hal dan rela mengalami segala kelemahan dan kerapuhan saya demi keselamatan saya!


Sesaat dengan Tuhan

Ya Tuhan, aku sungguh bersyukur dan berterima kasih kepada-Mu sebab Engkau selalu memberikan yang terbaik untukku! Amin.

Sesaat dengan Firman

“Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya” (II Korintus 8:9). (P.Noel, SDB)

Senin, 08 Maret 2010

Tangan Ibuku

Beberapa tahun yang lalu, ketika ibu saya berkunjung, ia mengajak saya untuk
berbelanja bersamanya karena dia membutuhkan sebuah gaun yang baru.

Saya sebenarnya tidak suka pergi berbelanja bersama dengan orang lain, dan saya
bukanlah orang yang sabar, tetapi walaupun demikian kami berangkat juga ke pusat
perbelanjaan tersebut.

Kami mengunjungi setiap toko yang menyediakan gaun wanita, dan ibu saya mencoba
gaun demi gaun dan mengembalikan semuanya. Seiring hari yang berlalu, saya mulai
lelah dan ibu saya mulai frustasi. Akhirnya, pada toko terakhir yang kami kunjungi, ibu saya mencoba satu stel gaun biru yang cantik terdiri dari tiga helai. Pada blusnya terdapat sejenis tali di bagian tepi lehernya, dan karena ketidaksabaran saya, maka untuk kali ini saya ikut masuk dan berdiri bersama ibu saya dalam ruang ganti pakaian.

Saya melihat bagaimana ia mencoba pakaian tersebut, dan dengan susah mencoba
untuk mengikat talinya.Ternyata tangan-tangannya sudah mulai dilumpuhkan oleh
penyakit radang sendi dan sebab itu dia tidak dapat melakukannya.

Seketika ketidaksabaran saya digantikan oleh suatu rasa kasihan yang dalam kepadanya. Saya berbalik pergi dan mencoba menyembunyikan air mata saya yang mengalir keluar tanpa saya sadari.

Setelah saya mendapatkan ketenangan lagi, saya kembali masuk ke kamar ganti untuk mengikatkan tali gaun tersebut. Pakaian ini begitu indah, dan dia membelinya.

Perjalanan belanja telah berakhir, tetapi kejadian tersebut terukir dan tidak dapat terlupakan dari ingatan saya. Sepanjang sisa hari itu, pikiran saya tetap saja kembali pada saat berada di dalam ruang ganti pakaian tersebut dan terbayang tangan ibu saya yang sedang berusaha mengikat tali blusnya. Kedua tangan yang penuh dengan kasih, yang pernah menyuapi saya, memandikan saya, memakaikan baju, membelai dan memeluk saya, dan terlebih dari semuanya, berdoa untuk saya, sekarang tangan itu telah menyentuh hati saya dengan cara yang paling membekas dalam hati saya.

Kemudian pada sore harinya, saya pergi ke kamar ibu saya, mengambil tangannya, menciumnya dan, yang membuatnya terkejut,memberitahukannya bahwa bagi saya kedua
tangan tersebut adalah tanganyang paling indah di dunia ini.

Saya sangat bersyukur bahwa Tuhan telah membuat saya dapat melihat dengan mata saya yang baru betapa bernilai dan berharganya kasih sayang yang penuh pengorbanan dari seorang ibu. Saya hanya dapat berdoa bahwa suatu hari kelak tangan saya dan hati saya akan memiliki keindahannya tersendiri.

Dunia ini memiliki banyak keajaiban, Segala ciptaan Allah yang begitu agung; Tetapi tak satu pun yang dapat menandingi Keindahan tangan ibu

(Bev Hulsizer)

Terimalah Dia Apa Adanya

Seorang pria dan kekasihnya menikah dan acaranya pernikahannya sungguh megah.
Semua kawan-kawan dan keluarga mereka hadir menyaksikan dan menikmati hari yang berbahagia tersebut. Suatu acara yang luar biasa mengesankan.
Mempelai wanita begitu anggun dalam gaun putihnya dan pengantin pria dalam tuxedo hitam yang gagah. Setiap pasang mata yang memandang setuju mengatakan bahwa mereka sungguh-sungguh saling mencintai.
Beberapa bulan kemudian, sang istri berkata kepada suaminya, “Sayang, aku baru membaca sebuah artikel di majalah tentang bagaimana memperkuat tali pernikahan” katanya sambil menyodorkan majalah tersebut. “Masing-masing kita akan mencatat hal-hal yang kurang kita sukai dari pasangan kita”.
Kemudian, kita akan membahas bagaimana merubah hal-hal tersebut dan membuat hidup pernikahan kita bersama lebih bahagia…..” Suaminya setuju dan mereka mulai memikirkan hal-hal dari pasangannya yang tidak mereka sukai dan berjanji tidak akan tersinggung ketika pasangannya mencatat hal-hal yang kurang baik sebab hal tersebut untuk kebaikkan mereka bersama.
Malam itu mereka sepakat untuk berpisah kamar dan mencatat apa yang terlintas dalam benak mereka masing-masing. Besok pagi ketika sarapan, mereka siap mendiskusikannya. “Aku akan mulai duluan ya”, kata sang istri. Ia lalu mengeluarkan daftarnya.
Banyak sekali yang ditulisnya, sekitar 3 halaman… Ketika ia mulai membacakan satu persatu hal yang tidak dia sukai dari suaminya, ia memperhatikan bahwa airmata suaminya mulai mengalir….. “Maaf, apakah aku harus berhenti ?” tanyanya. “Oh tidak, lanjutkan… ” jawab suaminya.
Lalu sang istri melanjutkan membacakan semua yang terdaftar, lalu kembali melipat kertasnya dengan manis diatas meja dan berkata dengan bahagia “Sekarang gantian ya, engkau yang membacakan daftarmu”.
Dengan suara perlahan suaminya berkata “Aku tidak mencatat sesuatupun di kertasku. Aku berpikir bahwa engkau sudah sempurna, dan aku tidak ingin merubahmu. Engkau adalah dirimu sendiri. Engkau cantik dan baik bagiku. Tidak satupun dari pribadimu yang kudapatkan kurang…. ”
Sang istri tersentak dan tersentuh oleh pernyataan dan ungkapan cinta serta isi hati suaminya. Bahwa suaminya menerimanya apa adanya… Ia menunduk dan menangis…..
Dalam hidup ini, banyak kali kita merasa dikecewakan, depressi, dan sakit hati. Sesungguhnya tak perlu menghabiskan waktu memikirkan hal- hal tersebut. Hidup ini penuh dengan keindahan, kesukacitaan dan pengharapan. Mengapa harus menghabiskan waktu memikirkan sisi yang buruk, mengecewakan dan menyakitkan jika kita bisa menemukan banyak hal-hal yang indah di sekeliling kita ? Saya percaya kita akan menjadi orang yang berbahagia jika kita mampu melihat dan bersyukur untuk hal-hal yang baik dan mencoba melupakan yang buruk.

JANGAN BENCI AKU, MAMA..

Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak

laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh.

Sam, suamiku, memberinya nama Eric. Semakin lama semakin

nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya

berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan

budak atau pelayan.

Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya

membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan

saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang

cantik mungil. Saya menamainya Angelica. Saya sangat

menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami

mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian

anak-anak yang indah-indah.

Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya mem iliki

beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun

saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang

keluarga. Sam selalu menuruti perkataan saya. Saat usia

Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur 4

tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan

hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil

tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya

pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica.

Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja.

Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku

terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10

tahun.. telah berlalu sejak kejadian itu.

Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa.

Usia Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat

Brad, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan

tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar

dan penyayang. Angelica telah berumur 12 tahun dan kami

menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak

ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang

mengingatnya.

Sampai suatu malam. Malam di mana saya bermimpi tentang

seorang anak. Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali.

Ia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum ia berkata, "Tante,

Tante kenal mama saya? Saya lindu cekali pada Mommy!"

Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya

menahannya, "Tunggu..., sepertinya saya mengenalmu. Siapa

namamu anak manis?"

"Nama saya Elic, Tante."

"Eric? Eric... Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric?"

Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan

berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu

juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi

dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru

sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya

dulu.Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus

mati..., mati..., mati... Ketika tinggal seinchi jarak pisau

yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba

bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric,

Mommy akan menjemputmu Eric...

Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah

gubuk, dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari

samping. "Mary, apa yang sebenarnya terjadi?"

"Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan

hal yang telah saya lakukan dulu." tTpi aku menceritakannya

juga dengan terisak-isak. ..

Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan

suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis

saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari

belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang

dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk

itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric..

Eric...

Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu. Dengan

perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan

membuka pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap sekali...

Tidak terlihat sesuatu apa pun! Perlahan mata saya mulai

terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu.

Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya

ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya

mengambil seraya mengamatinya dengan seksama... Mata mulai

berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai

bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya. ..

Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan,

saya pun keluar dari ruangan itu... Air mata saya mengalir

dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian

saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat

tersebut. Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil

kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali.

Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor.

Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget

manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang

parau.

"Heii...! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!"

Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, "Ibu, apa ibu

kenal dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di

sini?" Ia menjawab, "Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan

terkutuk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu

meninggalkannya di sini, Eric terus menunggu ibunya dan

memanggil, 'Mommy..., mommy!' Karena tidak tega, saya

terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama

saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai

pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya

seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik

kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama

bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu..."

Saya pun membaca tulisan di kertas itu...

"Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi...? Mommy

marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi

Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama

Eric. Bye, Mom..." Saya menjerit histeris membaca surat itu.

"Bu, tolong katakan... katakan di mana ia sekarang? Saya

berjanji akan meyayanginya sekarang! Saya tidak akan

meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!"

Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.

"Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang,

Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk

ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi

menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia

berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang,

Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana

... Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang

gubuk ini... Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang

lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana .

Nyonya,dosa anda tidak terampuni!"

Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi. (kisah nyata

dari Irlandia Utara)

Minggu, 07 Maret 2010

--- Tuhan...Beri aku waktu 1 jam saja...---

Los Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota sebuah negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh diseluruh kota.

Ada sebuah kisah yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang, dan itu dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil.

Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli disitu, melainkan dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya.

Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, dan belum setahun mereka di kota itu, mereka kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa mereka tidak tahu dimana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeserpun uang ada dikantong.

Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang berumur 1 tahun. Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya, dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi dimana puing-puing sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh.

Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat dibawah atap toko itu, sang suami berkata: "Saya harus meninggalkan kalian sekarang. Saya harus mendapatkan pekerjaan, apapun, kalau tidak malam nanti kita akan tidur disini."
Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak pernah kembali.

Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika.
Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan suami nya, dan bila malam tidur di emperan toko itu.

Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu,orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, dan jadilah mereka pengemis di sana selama 6 bulan berikutnya.
Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja.

Masalahnya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita.
Tampaknya tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu disitu dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka.
Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia tidak kemana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau menawarkan gula-gula.

Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak ditempat.

"Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak lagi tidur dengan angin di rambut kita".
Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus dimana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan anak nya dengan hati-hati di dalamnya.
Di sebelahnya ia meletakkan sepotong roti.
Kemudian, dengan mata basah ibu itu menuju kepabrik sepatu, di mana ia bekerja sebagai pemotong kulit.
Begitu lah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga di kantong sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh.
Dengan suka cita ia menuju ke penginapan orang-orang miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya. Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota.

Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya dan membawanya ke sebuah rumah mewah
dipusat kota.
Di situ gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun.

Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan mereka memanjakannya dengan amat sangat. Di tengah-tengah kemewahan istana itulah gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano.Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, dan mengendarai Mercedes Benz kemanapun ia pergi.

Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya,dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat.

Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain piano, yang aktif di gereja, dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama Geraldo.

Setahun setelah perkimpoian mereka, ayahnya wafat, dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real-estate sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota itu.

Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang merubah kehidupan wanita itu.

Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan di laci meja kerja ayah nya ia melihat selembar foto seorang anak bayi yang digendong sepasang suami istri.
Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam.
Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang.
Ia mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni.
Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-surat pribadi.
Tapi diantara benda-benda mewah itu terdapat sesuatu terbungkus kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan emas murni.

Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan untuk tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu anting-anting, di mana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting-anting itu didekat foto.

Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang . Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri.
Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, yang tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama sekali.
Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan-pertanya annya, misalnya:
kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya.

Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya
kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu.

Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama.

Mata nya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca koran: "Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkinkah ibu saya masih ada di jalan sekarang setelah 25 tahun?"

Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa laluSerrafonna. Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian diseluruh negeri.

Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat kabar dan kantor catatan sipil.
Ia membentuk yayasan -yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badansosial di seluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita.

Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah.
Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah.
Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian mereka. Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik.

Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad.
Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian.

Pagi, siang dan sore ia berdoa: "Tuhan, ijinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya: temukan saya dengan ibu saya".

Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerimakabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ke tempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka.

Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto.
Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu.

Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan dimana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota dimana Serrafonna diculik.

Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur.
Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya.

Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. "Tuhan maha kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak banyak lagi."

Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main ditepi jalan.

Dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil, kemudian masih belok lagi kejalanan berikut nya yang lebih kecil lagi.
Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan. Tubuh Serrrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu. "Lekas, Serrafonna, mama menunggumu, sayang".

Ia mulai berdoa "Tuhan, beri saya setahun untuk melayani mama.
Saya akan melakukan apa saja".

Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: "Tuhan beri saya sebulan saja".

Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia mendengar lagi panggilan mamanya , dan ia mulai
menangis: "Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan ".

Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas.
Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung keujung. Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak.

Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya dan 3 mobil polisi. Di belakang mereka sebuah ambulansberhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain.
Dari kanan kiri muncul pengemis- pengemis yang segera memenuhi tempat itu.

"Belum bergerak dari tadi." lapor salah seorang.
Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun.
Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya.
"Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu ."

Serrafona memandang tembok dihadapann ya, dan ingat saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kaki nya dan ingat ketika ia belajar berjalan.
Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkan nya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.

"Tuhan, ia meminta dengan seluruh jiwa raganya,beri kami sehari...... Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberitahunya bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia....Jadi mama tidak menyia-nyia kan saya".

Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya.
Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia masih muda.

"Mama.. ..", ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang ditunggunya tiap malam - antara waras dan tidak - dan tiap hari - antara sadar dan tidak - kini menjadi kenyataan.
Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatann ya menarik lagi jiwanya yang akan lepas.

Perlahan ia membuka genggaman tangann ya, tampak sebentuk anting-anting yang sudah menghitam.
Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada mamanya.

"Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari. Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita lakukan bersama-sama.
Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan. Mama jangan pergi dulu... Mama..."

Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: "Tuhan maha pengasih dan pemberi, Tuhan.....
satu jam saja.... ...satu jam saja....."

Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia.

Teman....mungkin saat ini kita sedang beruntung. Hidup ditengah kemewahan dan kondisi berkecukupan. Mungkin kita mendapatkannya dari hasil keringat sendiri tanpa bantuan orang tua kita. Namun yang perlu kita sadari, bahwa orang tua kita senantiasa berdoa untuk kita, meski itu hanya di peraduan.

Dari milist tetangga dan cuplikan dari beberapa blog....
mgkn ada yg sudah pernah dapat....just ignore it...


--- Tuhan...Beri aku waktu 1 jam saja...---
Dari: "Berty Tijow, msc"

Try Again

Mazmur 37:24
"apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN
menopang tangannya."

Bacaan Kitab Setahun: Mazmur 99; Lukas 20; Yehezkiel 2-3

Suatu kali ayah Randi sedang melatih anaknya bersepeda disebuah taman yang ada di depan rumahmereka. Awalnya, sang ayah memegang dari samping sepeda yang dikendarai Randi. Dengan sabar, iamengajari anaknya itu bagaimana mengayuh sepeda dan menyeimbangkan badan. Namun, tiba-tiba sang ayah melepaskan tangannya dari sepeda, tentu saja Randi yang belum siap ketika itu pun jatuh.

Air mata Randi keluar saat ia melihat ada darah keluar dari kakinya. Perih, itulah yang dirasakannya ketika itu. Sang ayah yang tidak jauh dari jatuh anaknya itu pun hanya tersenyum dan mendatangi Randi yang sedang menangis dan memegang kakinya yang luka. Ia pun mendatangi anaknya dan memegang kakinya.

Dengan santai, ia berkata kepada anaknya, "ah, ini mah gak papa,besok juga lukanya udah kering.Randi, masih mau melanjutkan latihan sepedanya atau tidak?"

Randi yang mendapat pertanyaan dari sang ayah pun terdiam. Air matanya berhenti saat itu dan pikirannya saat itu berputar. Sambil terisak-isak, ia menganggukkan kepalanya tanda untuk mau latihan. Sang ayah pun mengambil sepeda dan meminta anaknya untuk bangkit kembali. Dengan menahan rasa perih, ia pun menuruti permintaan ayahnya. Sepeda kembali ia dipegang dan Randi pun duduk di jok sepedanya.

Sewaktu sang ayah ingin membantunya untuk mengendarai sepeda, tawaran itu ia tolak. Ia meminta ayahnya untuk berada cukup jauh dari dirinya. Sambil menghela nafas panjang, Randi pun mulai mengayuh sepedanya. Pada ayuhan yang pertama dia begitu senang karena ia bisa mengendalikan sepedanya, tapi itu tidak berlangsung lama dan dia pun terjatuh. Hal itu terus terjadi sampai usahanya yang ke-9.

Pada usahanya yang ke-10, Randi kembali mengambil sepedanya. Dia pun dengan semangat mengangkat sepeda yang telah jatuh ke tanah dan kembali mencoba mengayuh sepedanya. Dan usahanya kali ini berhasil. Randi telah bisa menguasai sepedanya seorang diri. Ia pun menghampiri ayahnya dan mengatakan bahwa ia telah bisa berhasil mengendarai sepeda.

Tuhan menginginkan hal yang sama kepada kita. Walaupun mempunyai kuasa untuk menolong saat kita sedang dalam masa "jatuh", Dia ingin kita tetap berusaha untuk bangkit. Dia mau anak-anakNya menjadi anak yang tangguh; anak-anak yang tidak mudah menyerah oleh keadaan yang sukar; anak-anak yang berkata "ya" kepada kebenaran firman Tuhan dan "tidak" kepada dosa.

Saat ini Tuhan bertanya kepada Anda, "Apakah engkau mau melanjutkan ujian dari-Ku dan menjadi pemenang sejati?" jika iya, berusaha terus saat Anda merasa gagal dan jatuh. Percayalah tangan-Nya selalu tersedia dan siap membantu ketika Anda membutuhkannya.

Untuk melihat janji Tuhan digenapi, terkadang Anda harus mengeluarkan usaha yang ekstra.

Kamu Sangat Diberkati

Pernah nggak sih kamu ngerasain kalo hidup itu bener-bener ‘bad’ dan nggak berarti lagi dan berharap, coba kalo kita bisa ada di kehidupan yang lain! Saya akui, saya cukup sering merasa begitu.
Saya pikir, hidup ini kayanya cuma nambahin kesulitan-kesulitan saya aja! ‘Kerja menyebalkan’, hidup tak berguna’, dan nggak ada sesuatu yang beres!
Tapi semua itu berubah… sejak kemarin…
Pandangan saya tentang hidup ini benar-benar telah berubah! Tepatnya terjadi setelah saya bercakap-cakap dengan teman saya. Ia mengatakan kepada saya bahwa walau ia mempunyai 2 pekerjaan dan berpenghasilan sangat minim setiap bulannya, namun ia tetap merasa bahagia dan senantiasa bersukacita.
Saya pun jadi bingung, bagaimana bisa ia bersukacita selalu dengan gajinya yang minim itu untuk menyokong kedua orangtuanya, mertuanya, istrinya, 2 putrinya, ditambah lagi tagihan-tagihan rumah tangga yang numpuk!
Kemudian ia menjelaskan bahwa itu semua karena suatu kejadian yang ia alami di India. Hal ini dialaminya beberapa tahun yang lalu saat ia sedang berada dalam situasi yang berat.
Setelah banyak kemunduran yang ia alami itu, ia memutuskan untuk menarik nafas sejenak dan mengikuti tur ke India. Ia mengatakan bahwa di India, ia melihat tepat di depan matanya sendiri bagaimana seorang ibu MEMOTONG tangan kanan anaknya sendiri dengan sebuah golok!!
Keputusasaan dalam mata sang ibu, jeritan kesakitan dari seorang anak yang tidak berdosa yang saat itu masih berumur 4 tahun! terus menghantuinya sampai sekarang.
Kamu mungkin sekarang bertanya-tanya, kenapa ibu itu begitu tega melakukan hal itu? Apa anaknya itu ’so naughty’ atau tangannya itu terkena suatu penyakit sampai harus dipotong? Ternyata tidak!
Semua itu dilakukan sang ibu hanya agar anaknya dapat …MENGEMIS…!
Ibu itu sengaja menyebabkan anaknya cacat agar dikasihani orang-orang saat mengemis di jalanan! Saya benar-benar tidak dapat menerima hal ini, tetapi ini adalah KENYATAAN!
Hanya saja hal mengerikan seperti ini terjadi di belahan dunia yang lain yang tidak dapat saya lihat sendiri!
Kembali pada pengalaman sahabat saya itu, ia juga mengatakan bahwa setelah itu ketika ia sedang berjalan-jalan sambil memakan sepotong roti, ia tidak sengaja menjatuhkan potongan kecil dari roti yang ia makan itu ke tanah. Kemudian dalam sekejap mata, segerombolan anak kira-kira 6 orang anak sudah mengerubungi potongan kecil dari roti yang sudah kotor itu… mereka berebutan untuk memakannya! (suatu reaksi yang alami dari kelaparan).
Terkejut dengan apa yang baru saja ia alami, kemudian sahabatku itu menyuruh guidenya untuk mengantarkannya ke toko roti terdekat.
Ia menemukan 2 toko roti dan kemudian membeli semua roti yang ada di kedua toko itu! Pemilik toko sampai kebingungan, tetapi ia bersedia menjual semua rotinya. Kurang dari $100 dihabiskan untuk memperoleh 400 potong roti (jadi tidak sampai $0,25 / potong) dan ia juga meng- habiskan kurang lebih $ 100 lagi untuk membeli barang keperluan sehari-hari. Kemudian ia pun berangkat kembali ke jalan yang tadi dengan membawa satu truk yang dipenuhi dengan roti dan barang-barang keperluan sehari-hari kepada anak-anak (yang kebanyakan CACAT) dan beberapa orang-orang dewasa disitu! Ia pun mendapatkan imbalan yang sungguh tak ternilai harganya, yaitu kegembiraan dan rasa hormat dari orang-orang yang kurang beruntung ini!
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa heran bagaimana seseorang bisa melepaskan kehormatan dirinya hanya untuk sepotong roti yang tidak sampai $ 0,25! Ia mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri, betapa beruntungnya ia masih mempunyai tubuh yang sempurna, pekerjaan yang baik, juga keluarga yang hangat. Juga untuk setiap kesempatan dimana ia masih dapat berkomentar mana makanan yang enak, mempunyai kesempatan untuk berpakaian rapi, punya begitu banyak hal dimana orang-orang yang ada di hadapannya ini AMAT KEKURANGAN!
Sekarang aku pun mulai berpikir seperti itu juga! Sebenarnya, apakah hidup saya ini sedemikian buruknya? TIDAK, sebenarnya tidak buruk sama sekali!! Nah, bagaimana dengan kamu?
Mungkin di waktu lain saat kamu mulai berpikir seperti aku, cobalah ingat kembali tentang seorang anak kecil yang HARUS KEHILANGAN sebelah tangannya hanya untuk mengemis di pinggir jalan!
Saudara, banyak hal yang sudah kita alami dalam menjalani kehidupan kita selama ini, sudahkah kita BERSYUKUR? Apakah kita mengeluh saja dan selalu merasa tidak puas dengan apa yang sudah kita miliki?
Hadiah Dari Wendy0
Posted by Administrator in H (Tuesday July 11, 2006 at 10:57 pm)
(Robert Pettersen)
Anak perempuan ini berumur eman tahun ketika saya pertama kali menemuinya di tepi pantai dekat tempat tinggal saya.
Pantai ini berjarak sekitar empat mil dari rumah saya.
Dia sedang membuat sesuatu seperti istana pasir dan kemudian melihat saya, matanya biru seperti laut.
“Hai”, katanya.
Saya menjawab acuh tak acuh, hati saya sedang tidak enak dan tidak mau diganggu oleh seorang anak kecil.
“Aku sedang membangun,” katanya.
“Saya tahu. Apa itu ?” saya bertanya sekedarnya, tidak peduli.
“Oh, tidak tahu, aku cuma senang main pasir.”
Kelihatannya baik, saya berpikir, kemudian melepaskan sepatu saya.
Seekor burung laut terbang melintas.
“Itu kebahagiaan”
“Itu apa?”
“Itu kebahagiaan. Mama berkata burung laut membawa kebahagiaan untuk kita”
Burung itu terbang menjauhi pantai.
“Selamat tinggal kebahagiaan,” saya bergumam kepada diri sendiri, “Halo kepedihan,” dan berbalik untuk meneruskan perjalanan.
Saya sedang depresi; hidup saya kelihatannya benar-benar kacau.
“Siapa namamu?” anak itu tidak menyerah.
“Robert,” saya menjawab. “Saya Robert Peterson.”
“Namaku Wendy ? aku umur enam.”
“Hai, Wendy.”
Dia tertawa geli. “Kamu lucu,” katanya.
Dengan mengabaikan perasaan saya, saya ikut tertawa dan kemudian berjalan pergi.
Irama tertawa geli anak itu mengikuti saya.
“Datang lagi ya, Pak Peter” dia memanggil.
“Kita masih punya hari menyenangkan yang lain.”
Hari dan minggu-minggu berikut bukan milik saya: sekelompok anak yang tidak dapat diatur, pertemuan orang-tua dan guru, ibu yang sakit. Matahari bersinar cerah ketika suatu pagi saya sedang mencuci tangan.
“Saya butuh burung laut”, saya berkata kepada diri sendiri, sambil mengambil jaket.
Suasana pantai sedang menunggu. Angin terasa dingin, tapi saya terus melanjutkan, mencoba untuk memperoleh kedamaian yang saya butuhkan. Saya sudah melupakan anak kecil itu dan terkejut ketika menjumpai dia.
“Halo pak Peter,” dia berkata.
“Mau main ?”
“Kamu mau main apa sih ?” saya berkata dengan sedikit terganggu.
“Aku tidak tahu? Terserah.”
“Bagaimana kalau kita main pura-pura?” saya bertanya dengan kasar.
Suara tertawa terdengar lagi.
“Aku tak tahu apa itu.”
“Kalau begitu kita jalan saja.”
Sambil memandangnya, saya mengenali wajah lembutnya yang tulus.
“Kamu tinggal dimana?” saya bertanya.
“Di sana.” Dia menunjuk ke barisan cottage untuk musim panas di depan.
Aneh, saya berpikir, ini musim dingin.
“Kamu sekolah dimana?”
“Aku tidak sekolah. Mama bilang kita sedang liburan”
Dia berceloteh seperti layaknya seorang anak perempuan kecil sepanjang perjalanan menyusur pantai, tapi saya sedang memikirkan hal yang lain. Wendy berkata bahwa ia menikmati hari menyenangkan. Aneh, sekarang saya merasa lebih baik, saya tersenyum padanya dan menyetujuinya.
Tiga minggu berikut, saya terburu-buru pergi ke pantai dalam keadaan yang boleh dibilang panik. Saya sama sekali sedang tidak ‘in the mood’ sekalipun hanya untuk memberi salam kepada Wendy.
“Lihat, kalau kamu tidak berkeberatan,” saya berkata dengan gusar ketika Wendy menangkap saya, “Saya ingin sendirian hari ini.”
Dia kelihatannya lebih pucat dari biasanya dan tampak kelelahan.
“Kenapa ?” dia bertanya.
Saya berbalik kepadanya dan berteriak, “Karena ibu saya meninggal !!!” dan tersentak sendiri, ya Tuhan, kenapa saya berkata seperti ini kepada seorang anak kecil?
“Oh,” dia berkata perlahan, “Kalau begitu ini hari buruk.”
“Ya,” kata saya, “Dan kemarin dan kemarin lagi dan? ah semuanya sudah berlalu!”
“Apa kamu sedih?” anak ini terus bertanya.
“Sedih?” saya kecewa terhadapnya dan terhadap diri saya sendiri.
“Kapan dia meninggal ?”
“Tentu saja itu menyedihkan !!!!” saya berseru, salah mengerti, perasaan saya campur aduk dalam diri saya.
Saya pergi meninggalkannya begitu saja.
Satu bulan setelah itu, ketika saya datang lagi ke pantai itu, Wendy, anak perempuan kecil itu tidak ada di sana.
Dengan merasa bersalah, malu dan harus mengakui bahwa sebenarnya saya kehilangan dia, saya pergi ke cottage setelah berjalan-jalan dan mengetuk pintu.
Seorang wanita muda yang menarik perhatian dengan rambut berwarna kuning-madu membuka pintu.
“Halo,” saya berkata. “Saya Robert Peterson. Saya kehilangan anak perempuan kecilmu dan ingin tahu dimana dia sekarang.”
“Oh ya, Pak Peterson, silahkan masuk. Wendy banyak bercerita tentang dirimu. Saya khawatir kalau saya telah membiarkannya mengganggumu. Kalau dia telah sudah mengganggu, terimalah permohonan maaf saya.”
“Tidak juga - dia anak yang menyenangkan,” saya berkata, tiba-tiba saya menyadari bahwa benarlah demikian adanya.
“Dimana dia?”
“Wendy meninggal minggu lalu, Pak Peterson. Dia menderita leukemia. Mungkin dia belum memberitahu anda.”
Seperti dipukul, saya segera mencari pegangan pada kursi. Napas saya seperti berhenti.
“Dia suka sekali pantai ini; maka ketika dia meminta untuk datang ke tempat ini, kami tidak dapat menolaknya. Dia kelihatannya menjadi lebih baik disini dan mempunyai banyak hari yang disebutnya sebagai hari menyenangkan. Tetapi minggu-minggu terakhir, kondisinya menurun dengan cepat?” suaranya melemah,
“Dia meninggalkan sesuatu untukmu. Kalau saja saya dapat menemukannya. Dapatkah anda menunggu sebentar sementara saya mencari?”
Saya mengangguk, pikiran saya bekerja keras mencari sesuatu, apa saja, untuk diucapkan kepada wanita muda terkasih ini.
Dia memberikan saya sebuah amplop agak kotor, dengan tulisan tebal Pak Peter, tulisan anak-anak.
Didalamnya ada sebuah gambar dibuat dari krayon cerah - gambar satu pantai bewarna kuning, laut biru, dan seekor burung coklat.
Dibawahnya tertulis dengan rapi : BURUNG LAUT MEMBAWA KEBAHAGIAAN UNTUK KAMU
Mata saya terasa basah, dan satu bagian hati yang hampir terlupakan selama ini terbuka lebar untuk mengasihi. Saya menggenggam tengan ibu Wendy.
“Saya sangat menyesal, saya menyesal, saya menyesal, ” saya menggumamkannya berkali-kali dan kita menangis bersama.
Gambar kecil yang sangat berharga itu sekarang diberi bingkai dan digantung di kamar belajar saya.
Enam kata - satu untuk setiap tahun kehidupannya - telah berbicara kepada saya tentang harmoni, kekuatan, kasih yang tidak menuntut.
Hadiah dari seorang ank kecil dengan mata biru dan rambut pasir telah mengajar saya arti pemberian kasih.
Mengenal, Lebih Penting!0
Posted by Administrator in M (Tuesday July 11, 2006 at 4:08 pm)
Alkisah, pada suatu hari, diadakan sebuah pesta emas peringatan 50 tahun pernikahan sepasang kakek -nenek. Pesta ini pun dihadiri oleh keluarga besar kakek dan nenek tersebut beserta kerabat dekat dan kenalan.
Pasangan kakek-nenek ini dikenal sangat rukun, tidak pernah terdengar oleh siapapun bahkan pihak keluarga mengenai berita mereka perang mulut. Singkat kata, mereka telah mengarungi bahtera pernikahan yang cukup lama bagi kebanyakan orang. Mereka telah dikaruniai anak-anak yang sudah dewasa dan mandiri baik secara ekonomi maupun pribadi. Pasangan tersebut merupakan gambaran sebuah keluarga yang sangat ideal.
Di sela-sela acara makan malam yang telah tersedia, pasangan yang merayakan peringatan ulang tahun pernikahan mereka ini pun terlihat masih sangat romantis. Di meja makan, telah tersedia hidangan ikan yang sangat menggiurkan yang merupakan kegemaran pasangan tersebut.
Sang kakek pun, pertama kali melayani sang nenek dengan mengambil kepala ikan dan memberikannya kepada sang nenek, kemudian mengambil sisa ikan tersebut untuknya sendiri.
Sang nenek melihat hal ini, perasaannya terharu bercampur kecewa dan heran. Akhirnya sang nenek berkata kepada sang kakek: “Suamiku, kita telah melewati 50 tahun bahtera pernikahan kita. Ketika engkau memutuskan untuk melamarku, aku memutuskan untuk hidup bersamamu dan menerima dengan segala kekurangan yang ada untuk hidup sengsara denganmu walaupun aku tahu waktu itu kondisi keuangan engkau pas-pasan. Aku menerima hal tersebut karena aku sangat mencintaimu. Sejak awal pernikahan kita, ketika kita mendapatkan keberuntungan untuk dapat menyantap hidangan ikan, engkau selalu hanya memberiku kepala ikan yang sebetulnya sangat tidak aku suka, namun aku tetap menerimanya dengan mengabaikan ketidaksukaanku tersebut karena aku ingin membahagiakanmu. Aku tidak pernah lagi menikmati daging ikan yang sangat aku suka selama masa pernikahan kita. Sekarangpun, setelah kita berkecukupan, engkau tetap memberiku hidangan kepala ikan ini. Aku sangat kecewa, suamiku. Aku tidak tahan lagi untuk mengungkapkan hal ini.”
Sang kakek pun terkejut dan bersedihlah hatinya mendengarkan penuturan Sang nenek. Akhirnya, sang kakek pun menjawab, “Istriku, ketika engkau memutuskan untuk menikah denganku, aku sangat bahagia dan aku pun bertekad untuk selalu membahagiakanmu dengan memberikan yang terbaik untukmu. Sejujurnya, hidangan kepala ikan ini adalah hidangan yang sangat aku suka. Namun, aku selalu menyisihkan hidangan kepala ikan ini untukmu, karena aku ingin memberikan yang terbaik bagimu. Semenjak menikah denganmu, tidak pernah lagi aku menikmati hidangan kepala ikan yang sangat aku suka itu. Aku hanya bisa menikmati daging ikan yang tidak aku suka karena banyak tulangnya itu. Aku minta maaf, istriku.”
Mendengar hal tersebut, sang nenek pun menangis. Merekapun akhirnya berpelukan. Percakapan pasangan ini didengar oleh sebagian undangan yang hadir sehingga akhirnya merekapun ikut terharu.
Kadang kala kita terkejut mendengar atau mengalami sendiri suatu hubungan yang sudah berjalan cukup lama dan tidak mengalami masalah yang berarti, kandas di tengah-tengah karena hal yang sepele, seperti masalah pada cerita di atas.
Kualitas suatu hubungan tidak terletak pada lamanya hubungan tersebut, melainkan terletak sejauh mana kita mengenali pasangan kita masing-masing.

Jumat, 05 Maret 2010

Doa Sally

Sally baru berumur delapan tahun ketika dia mendengar ibu dan ayahnya sedang berbicara mengenai adik lelakinya, Georgi. Ia sedang menderita sakit yang parah dan mereka telah melakukan apapun yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkan jiwanya. Hanya operasi yang sangat mahal yang sekarang bisa menyelamatkan jiwa Georgi… tapi mereka tidak punya biaya untuk itu.
Sally mendengar ayahnya berbisik, “Hanya keajaiban yang bisa menyelamatkannya sekarang.”
Sally pergi ke tempat tidur dan mengambil celengan dari tempat persembunyiannya. Lalu dikeluarkannya semua isi celengan tersebut ke lantai dan menghitung secara cermat…tiga kali. Nilainya harus benar-benar tepat.
Dengan membawa uang tersebut, Sally menyelinap keluar dan pergi ke toko obat di sudut jalan. Ia menunggu dengan sabar sampai sang apoteker memberi perhatian… tapi dia terlalu sibuk dengan orang lain untuk diganggu oleh seorang anak berusia delapan tahun. Sally berusaha menarik perhatian dengan menggoyang-goyangkan kakinya, tapi gagal.
Akhirnya dia mengambil uang koin dan melemparkannya ke kaca etalase.
Berhasil !
“Apa yang kamu perlukan?” tanya apoteker tersebut dengan suara marah.
“Saya sedang berbicara dengan saudara saya.”
“Tapi, saya ingin berbicara kepadamu mengenai adik saya,” Sally menjawab dengan nada yang sama. “Dia sakit…dan saya ingin membeli keajaiban.”
“Apa yang kamu katakan?” ,tanya sang apoteker.
“Ayah saya mengatakan hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan jiwanya sekarang… jadi berapa harga keajaiban itu ?”
“Kami tidak menjual keajaiban, adik kecil. Saya tidak bisa menolongmu.”
“Dengar, saya mempunyai uang untuk membelinya. Katakan saja berapa harganya.”
Seorang pria berpakaian rapi berhenti dan bertanya, “Keajaiban jenis apa yang dibutuhkan oleh adikmu?”
“Saya tidak tahu,” jawab Sally. Air mata mulai menetes dipipinya.
“Saya hanya tahu dia sakit parah dan mama mengatakan bahwa ia membutuhkan operasi.
Tapi kedua orang tua saya tidak mampu membayarnya… tapi saya juga mempunyai uang.”
“Berapa uang yang kamu punya ?” tanya pria itu lagi.
“Satu dollar dan sebelas sen,” jawab Sally dengan bangga.
“Dan itulah seluruh uang yang saya miliki di dunia ini.”
“Wah, kebetulan sekali,” kata pria itu sambil tersenyum. Satu dollar dan sebelas sen… harga yang tepat untuk membeli keajaiban yang dapat menolong adikmu. Dia Mengambil uang tersebut dan kemudian memegang tangan Sally sambil berkata, “Bawalah saya kepada adikmu. Saya ingin bertemu dengannya dan juga orang tuamu.”
Pria itu adalah Dr. Carlton Armstrong, seorang ahli bedah terkenal….
Operasi dilakukannya tanpa biaya dan membutuhkan waktu yang tidak lama sebelum Georgi dapat kembali ke rumah dalam keadaan sehat.
Kedua orang tuanya sangat bahagia mendapatkan keajaiban tersebut.
“Operasi itu,” bisik ibunya, “Adalah seperti keajaiban. Saya tidak dapat membayangkan berapa harganya”
Sally tersenyum. Dia tahu secara pasti berapa harga keajaiban tersebut…satu dollar dan sebelas sen… ditambah dengan keyakinan

Ibu Teresa - Cara yang sangat Sederhana

RAHASIAKU sungguh sederhana: Aku berdoa.
Para murid bertanya kepada Yesus, "Tuhan ajarilah kami berdoa,"
sebab mereka begitu sering melihat Dia berdoa dan mereka tahu bahwa
Dia sedang berbicara dengan Bapa-Nya. Bagaimana kira-kira saat-saat
doa tersebut kita hanya tahu dari cinta Yesus yang terus menerus
kepada Bapa-Nya, "Bapa-Ku!" Dan Dia mengajari murid-murid-Nya suatu
cara sederhana untuk berbicara dengan Allah sendiri.
Doa. yang membuahkan hasil harus datang dari hati dan harus mampu
menyentuh hati Allah. Lihatlah bagaimana Yesus mengajari
murid-murid-Nya berdoa:
'Panggillah Allah sebagai Bapamu; puji dan muliakanlah nama-Nya:
-Bapa-kami yang ada surga, dimuliakanlah nama-Mu."
Lakukanlah kehendak-Nya, mintalah makanan setiap hari, baik rohani
maupun yang duniawi: "Datanglah Kerajaan-Mu. Jadilah hendak-Mu di
atas bumi, seperti di dalam surga. Berilah kami rejeki pada hari
ini."
Mintalah pengampunan atas dosa-dosamu sehingga kita dapat mengampuni
orang-orang lain; mintalah juga rahmat agar kita dibebaskan dari
yang jahat yang ada di dalam diri kita dan di sekitar kita: "Dan
ampunilah kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni orang yang
bersalah kepada kami. Dan janganlah masukkan kami ke dalam
percobaan, melainkan bebaskanlah kami dari yang jahat. "
. Doa yang sempurna tidak terdiri dari banyak kata, melainkan dari
kegairahan hasrat yang menggugah hati Yesus.

Kita memiliki masa-masa bahagia dan sedih, penyakit dan
penderitaan.Itu adalah bagian dari salib. Setiap orang yang
mengikuti Dia sepenuh-penuhnya harus juga ikut serta dalam
penderitaanNya.
Itulah sebabnya kita membutuhkan doa; itulah sebabnya kita
membutuhkan Roti kehidupan itulah sebabnya kita mengadakan adorasi
itulah sebabnya kita melakukan tobat.

Kita merumitkan doa sebagaimana hal kita merumitkan banyak hal.
Itulah mencintai Yesus dengan cinta yang tak terbagi untukmu, untuk
aku, untuk semua dari kita. Dan cinta yang tak terbagi itu
diwujudkan dalam perbuatan apabila kita melakukan seperti apa yang
dikatakan Yesus, Cintailah satu sama lain bagaimana Aku telah
mencintai kamu."
Cinta adalah buah segala musim, dan dapat dipetik oleh setiap orang.
Setiap orang dapat mengumpulkannya dan tidak ada batasannya.
Sebelum Yesus datang, Allah itu sudah agung dalam kemuliaan-Nya,
agung dalam ciptaan-Nya. Kemudian ketika Yesus datang, menjadi salah
satu di antara kita, karena betapa besar Bapa-Nya mencintai dunia
ini sehingga Dia mengaruniakan Putera-Nya kepada kita. Dan Yesus
mencintai Bapa-Nya dan menghendaki kita belajar berdoa dengan
mencintai satu sama lain sebagaimana Bapa mencintai-Nya
"Aku mencintai kamu," Dia terus-menerus mengatakan, "Sebagaimana
Bapa mencintai kamu, maka cintailah Dia." Dan cinta-Nya adalah
salib. Cinta-Nya adalah Roti Kehidupan. Dia menghendaki kita berdoa
dengan hati yang bersih, dengan hati yang murni, dengan hati yang
tulus. "Jika kamu tidak menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak
dapat belajar berdoa, kamu tidak masuk surga, kamu tidak dapat
melihat Allah." Menjadi anak kecil berarti menjadi satu dengan Bapa,
mencintai Bapa, berdamai dengan Bapa, Bapa kita.
Aku datang kepadamu, Yesus, untuk merasakan sentuhan-Mu sebelum aku
memulai hari hidupku Arahkanlah mata-Mu sebentar pada mataku
Izinkanlah aku membawa ke tempat kerjaku jaminan persahabatan-Mu
Isilah pikiranku sehingga dapat menempuh padang gurun kebisingan
Biarkanlah cahaya mentari-Mu yang terpuji memenuhi puncak-puncak
pikiranku Dan berilah aku kekuatan bagi mereka yang membutuhkan aku.


Sumber : Mutiara Cinta

Muder Teresa

Delapan Kebohongan Seorang Ibu Dalam Hidupnya


Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam penderitaan yang mendalam, tetapi kisah ini justru sebaliknya. Dengan adanya kebohongan ini, makna sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat membuka mata kita dan terbebas dari penderitaan, ibarat sebuah energi yang mampu mendorong mekarnya sekuntum bunga yang paling indah di dunia.
Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata :
“Makanlah nak, aku tidak lapar”
———-KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA
Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi untuk petumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk disamping ku dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan sumpitku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata :
“Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan”
———- KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA
Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu
membuahkan sedikit uang untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaannya menempel kotak korek api. Aku berkata :”Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus kerja.” Ibu tersenyum dan berkata :
“Cepatlah tidur nak, aku tidak capek”
———- KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA
Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah
selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata :
“Minumlah nak, aku tidak haus!”
———- KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT
Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai kebutuhan hidup sendiri.
Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat
kondisi keluarga yang semakin parah, ada paman yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di
sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk
menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, ibu berkata :
“Saya tidak butuh cinta”
———-KEBOHONGAN IBU YANG KELIMA
Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak mau, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan ibu, tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata :
“Saya punya duit”
———-KEBOHONGAN IBU YANG KEENAM
Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudian memperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di Amerika berkat sebuah beasiswa di sebuah perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud
membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia berkata kepadaku
“Aku tidak terbiasa”
———-KEBOHONGAN IBU YANG KETUJUH
Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanker lambung, harus dirawat di rumah sakit, aku yang berada jauh di seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani operasi. Ibu yang keliatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam kondisi ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata :
“Jangan menangis anakku,Aku tidak kesakitan”
———-KEBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.

Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya.
Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan : ” Terima kasih ibu ! ”
Coba dipikir-pikir teman, sudah berapa lamakah kita tidak menelepon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ayah ibu kita? Di tengah- tengah aktivitas kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu- alasan untuk
meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan dan ibu yang ada di rumah.

Jika dibandingkan dengan pacar kita, kita pasti lebih peduli dengan pacar kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar pacar kita, cemas apakah dia sudah makan atau belum, cemas apakah dia bahagia bila di samping kita.
Namun, apakah kita semua pernah mencemaskan kabar dari ortu kita? Cemas apakah ortu kita sudah makan atau belum? Cemas apakah ortu kita sudah bahagia atau belum? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi..
Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi ortu kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata “MENYESAL” kemudian hari.

Selasa, 02 Maret 2010

RENUNGAN TENTANG AYAH

Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan, yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya.....

Akan sering merasa kangen sekali dengan Mamanya.


Lalu bagaimana dengan Papa?


Mungkin karena Mama lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari,

tapi tahukah kamu, jika ternyata Papa-lah yang mengingatkan Mama untuk menelponmu?


Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Mama-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng,

tapi tahukah kamu, bahwa sepulang Papa bekerja dan dengan wajah lelah Papa selalu menanyakan pada Mama tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?



Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil......

Papa biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda.

Dan setelah Papa mengganggapmu bisa, Papa akan melepaskan roda bantu di sepedamu...

Kemudian Mama bilang : "Jangan dulu Papa, jangan dilepas dulu roda bantunya" ,
Mama takut putri manisnya terjatuh lalu terluka....

Tapi sadarkah kamu?
Bahwa Papa dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA.



Pada saat kamu menangis merengek meminta boneka atau mainan yang baru, Mama menatapmu iba.

Tetapi Papa akan mengatakan dengan tegas : "Boleh, kita beli nanti, tapi tidak sekarang"

Tahukah kamu, Papa melakukan itu karena Papa tidak ingin kamu menjadi anak yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dapat dipenuhi?
Saat kamu sakit pilek, Papa yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata :
"Sudah di bilang! kamu jangan minum air dingin!".

Berbeda dengan Mama yang memperhatikan dan menasihatimu dengan lembut.

Ketahuilah, saat itu Papa benar-benar mengkhawatirkan keadaanmu.



Ketika kamu sudah beranjak remaja....

Kamu mulai menuntut pada Papa untuk dapat izin keluar malam, dan Papa bersikap tegas dan mengatakan: "Tidak boleh!".

Tahukah kamu, bahwa Papa melakukan itu untuk menjagamu?

Karena bagi Papa, kamu adalah sesuatu yang sangat - sangat luar biasa berharga..



Setelah itu kamu marah pada Papa, dan masuk ke kamar sambil membanting pintu...

Dan yang datang mengetok pintu dan membujukmu agar tidak marah adalah Mama....

Tahukah kamu, bahwa saat itu Papa memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam batinnya,

Bahwa Papa sangat ingin mengikuti keinginanmu, Tapi lagi-lagi dia HARUS menjagamu?



Ketika saat seorang cowok mulai sering menelponmu, atau bahkan datang ke rumah untuk menemuimu, Papa akan memasang wajah paling cool sedunia.... :')

Papa sesekali menguping atau mengintip saat kamu sedang ngobrol berdua di ruang tamu..

Sadarkah kamu, kalau hati Papa merasa cemburu?



Saat kamu mulai lebih dipercaya, dan Papa melonggarkan sedikit peraturan untuk keluar rumah untukmu, kamu akan memaksa untuk melanggar jam malamnya.

Maka yang dilakukan Papa adalah duduk di ruang tamu, dan menunggumu pulang dengan hati yang sangat khawatir...

Dan setelah perasaan khawatir itu berlarut - larut...

Ketika melihat putri kecilnya pulang larut malam hati Papa akan mengeras dan Papa memarahimu.. .

Sadarkah kamu, bahwa ini karena hal yang di sangat ditakuti Papa akan segera datang?

"Bahwa putri kecilnya akan segera pergi meninggalkan Papa"



Setelah lulus SMA, Papa akan sedikit memaksamu untuk menjadi seorang Dokter atau Insinyur.

Ketahuilah, bahwa seluruh paksaan yang dilakukan Papa itu semata - mata hanya karena memikirkan masa depanmu nanti...

Tapi toh Papa tetap tersenyum dan mendukungmu saat pilihanmu tidak sesuai dengan keinginan Papa



Ketika kamu menjadi gadis dewasa....

Dan kamu harus pergi kuliah dikota lain...

Papa harus melepasmu di bandara.

Tahukah kamu bahwa badan Papa terasa kaku untuk memelukmu?

Papa hanya tersenyum sambil memberi nasehat ini - itu, dan menyuruhmu untuk berhati-hati. .

Padahal Papa ingin sekali menangis seperti Mama dan memelukmu erat-erat.

Yang Papa lakukan hanya menghapus sedikit air mata di sudut matanya, dan menepuk pundakmu berkata "Jaga dirimu baik-baik ya sayang".

Papa melakukan itu semua agar kamu KUAT...kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.



Disaat kamu butuh uang untuk membiayai uang semester dan kehidupanmu, orang pertama yang mengerutkan kening adalah Papa.

Papa pasti berusaha keras mencari jalan agar anaknya bisa merasa sama dengan teman-temannya yang lain.



Ketika permintaanmu bukan lagi sekedar meminta boneka baru, dan Papa tahu ia tidak bisa memberikan yang kamu inginkan...

Kata-kata yang keluar dari mulut Papa adalah : "Tidak.... Tidak bisa!"

Padahal dalam batin Papa, Ia sangat ingin mengatakan "Iya sayang, nanti Papa belikan untukmu".

Tahukah kamu bahwa pada saat itu Papa merasa gagal membuat anaknya tersenyum?



Saatnya kamu diwisuda sebagai seorang sarjana.

Papa adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukmu.

Papa akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat "putri kecilnya yang tidak manja berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang"



Sampai saat seorang teman Lelakimu datang ke rumah dan meminta izin pada Papa untuk mengambilmu darinya.

Papa akan sangat berhati-hati memberikan izin..

Karena Papa tahu.....
Bahwa lelaki itulah yang akan menggantikan posisinya nanti.



Dan akhirnya....

Saat Papa melihatmu duduk di Panggung Pelaminan bersama seseorang Lelaki yang di anggapnya pantas menggantikannya, Papa pun tersenyum bahagia....

Apakah kamu mengetahui, di hari yang bahagia itu Papa pergi kebelakang panggung sebentar, dan menangis?

Papa menangis karena papa sangat berbahagia, kemudian Papa berdoa....

Dalam lirih doanya kepada Tuhan, Papa berkata: "Ya Allah tugasku telah selesai dengan baik....

Putri kecilku yang lucu dan kucintai telah menjadi wanita yang cantik....

Bahagiakanlah ia bersama suaminya..."



Setelah itu Papa hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk...

Dengan rambut yang telah dan semakin memutih....

Dan badan serta lengan yang tak lagi kuat untuk menjagamu dari bahaya....

Papa telah menyelesaikan tugasnya....



Papa, Ayah, Bapak, atau Abah kita...

Adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat...

Bahkan ketika dia tidak kuat untuk tidak menangis...

Dia harus terlihat tegas bahkan saat dia ingin memanjakanmu. .

Dan dia adalah yang orang pertama yang selalu yakin bahwa "KAMU BISA" dalam segala hal..

BIARKAN TUHAN MENILAIMU



Terkadang orang berpikir secara tidak masuk akal dan bersikap egois.
Tetapi, bagaimanapun juga, terimalah mereka apa adanya.
Apabila engkau berbuat baik,
orang lain mungkin akan berprasangka
bahwa ada maksud-maksud buruk di balik perbuatan baik yang kau lakukan itu.
Tetapi, tetaplah berbuat baik selalu.

Apabila engkau sukses,
engkau mungkin akan mempunyai musuh
dan juga teman-teman yang iri hati atau cemburu.
Tetapi, teruskanlah kesuksesanmu itu.

Apabila engkau jujur dan terbuka,
orang lain mungkin akan menipumu.
Tetapi, tetaplah bersikap jujur dan terbuka setiap saat.

Apa yang telah engkau bangun bertahun-tahun lamanya,
dapat dihancurkan orang dalam satu malam saja.
Tetapi, janganlah berhenti dan tetaplah membangun.

Apabila engkau menemukan kedamaian dan kebahagiaan di dalam hati,
orang lain mungkin akan iri hati kepadamu.
Tetapi, tetaplah berbahagia.

Kebaikan yang kau lakukan hari ini,
mungkin besok akan dilupakan orang.
Tetapi, teruslah berbuat baik.

Berikan yang terbaik dari apa yang kau miliki,
dan itu mungkin tidak akan pernah cukup.
Tetapi, tetap berikanlah yang terbaik.

Sadarilah bahwa semuanya itu ada di antara engkau dan Tuhan.
Tidak akan pernah ada antara engkau dan orang lain.

Jangan pedulikan apa yang orang lain pikir atas perbuatan baik yang kau lakukan.
Tetapi, percayalah bahwa mata Tuhan tertuju pada orang-orang yang jujur,
dan Dia dapat melihat ketulusan hatimu.

(Mother Theresa)

Senin, 01 Maret 2010

KISAH NATAL

Suatu ketika, ada seorang pria yang menganggap Natal sebagai sebuah
takhayul belaka.
Dia bukanlah orang yang kikir. Dia adalah pria yang baik hati dan tulus,
setia kepada keluarganya dan bersih kelakuannya terhadap orang lain.
Tetapi ia tidak percaya pada kelahiran Kristus yang diceritakan setiap
gereja di hari Natal . Dia sunguh-sungguh tidak percaya.
"Saya benar-benar minta maaf jika saya membuat kamu sedih," kata pria itu
kepada istrinya yang rajin pergi ke gereja.
"Tapi saya tidak dapat mengerti mengapa Tuhan mau menjadi manusia.
Itu adalah hal yang tidak masuk akal bagi saya "

Pada malam Natal , istri dan anak-anaknya pergi menghadiri kebaktian
tengah malam di gereja.
Pria itu menolak untuk menemani mereka.
"Saya tidak mau menjadi munafik," jawabnya.
"Saya lebih baik tinggal di rumah. Saya akan menunggumu sampai pulang."

Tak lama setelah keluarganya berangkat, salju mulai turun.
Ia melihat keluar jendela dan melihat butiran-butiran salju itu
berjatuhan.
Lalu ia kembali ke kursinya di samping perapian dan mulai membaca surat
kabar.
Beberapa menit kemudian, ia dikejutkan oleh suara ketukan.
Bunyi itu terulang tiga kali.
Ia berpikir seseorang pasti sedang melemparkan bola salju ke arah
jendela rumahnya.
Ketika ia pergi ke pintu masuk untuk mengeceknya, ia menemukan
sekumpulan burung terbaring tak berdaya di salju yang dingin.
Mereka telah terjebak dalam badai salju dan mereka menabrak kaca jendela
ketika hendak mencari tempat berteduh.

Saya tidak dapat membiarkan makhluk kecil itu kedinginan di sini, pikir
pria itu.
Tapi bagaimana saya bisa menolong mereka?
Kemudian ia teringat akan kandang tempat kuda poni anak-anaknya.
Kandang itu pasti dapat memberikan tempat berlindung yang hangat.
Dengan segera pria itu mengambil jaketnya dan pergi ke kandang kuda
tersebut.
Ia membuka pintunya lebar-lebar dan menyalakan lampunya. Tapi
burung-burung itu tidak masuk ke dalam.
Makanan pasti dapat menuntun mereka masuk, pikirnya.
Jadi ia berlari kembali ke rumahnya untuk mengambil remah-remah roti dan
menebarkannya ke salju untuk membuat jejak ke arah kandang.
Tapi ia sungguh terkejut.
Burung-burung itu tidak menghiraukan remah roti tadi dan terus
melompat-lompat kedinginan di atas salju.

Pria itu mencoba menggiring mereka seperti anjing menggiring domba, tapi
justru burung-burung itu berpencaran kesana-kemari, malah menjauhi kandang
yang hangat itu.
"Mereka menganggap saya sebagai makhluk yang aneh dan menakutkan," kata
pria itu pada dirinya sendiri, "dan saya tidak dapat memikirkan cara lain
untuk memberitahu bahwa mereka dapat mempercayai saya.
Kalau saja saya dapat menjadi seekor burung selama beberapa menit,
mungkin saya dapat membawa mereka pada tempat yang aman."

Pada saat itu juga, lonceng gereja berbunyi.
Pria itu berdiri tertegun selama beberapa waktu, mendengarkan bunyi
lonceng itu menyambut Natal yang indah.
Kemudian dia terjatuh pada lututnya dan berkata, "Sekarang saya
mengerti," bisiknya dengan terisak.
"Sekarang saya mengerti mengapa KAU mau menjadi manusia."

Saudaraku, sering kita mengalami kejenuhan untuk pergi ke gereja dan
merasa tak ada gunanya, semoga cerita di atas ini bisa lebih meneguhkan
kita akan pentingnya ke gereja.

Segala Sesuatu Indah Pada Waktunya

Tuhan Turut Bekerja dalam Segala Hal

Ada seorang pengembara yang sangat ingin melihat pemandangan yang ada di balik suatu gunung yang amat tinggi. Maka disiapkanlah segala peralatannya dan berangkatlah ia. Karena begitu beratnya medan yang harus dia tempuh, segala perbekalan dan perlengkapannya pun habis. Akan tetapi, karena begitu besar keinginannya untuk melihat pemandangan yang ada di balik gunung itu, ia terus melanjutkan perjalannya.

Sampai suatu ketika, ia menjumpai semak belukar yang sangat lebat dan penuh duri. Tidak ada jalan lain selain ia harus melewati semak belukar itu.

Pikir pengembara itu " Wah, jika aku harus melewati semak ini, maka kulitku pasti akan robek dan penuh luka. Tapi aku harus melanjutkan perjalanan ini. "

Maka pengembara itupun mengambil ancang-ancang dan ia menerobos semak itu. Ajaib, pengembara itu tidak mengalami luka goresan sedikitpun.

Dengan penuh sukacita, ia kemudian melanjutkan perjalanan dan berkata dalam hati " Betapa hebatnya aku. Semak belukarpun tak mampu menghalangi aku . "

Selama hampir 1 jam lamanya ia berjalan, tampaklah di hadapannya kerikil-kerikil tajam berserakan. Dan tak ada jalan lain selain dia harus melewati jalan itu.

Pikir pengembara itu untuk kedua kalinya " Jika aku melewati kerikil ini, kakiku pasti akan berdarah dan terluka. Tapi aku tetap harus melewatinya."

Maka dengan segenap tekadnya, pengembara itu berjalan. Ajaib, ia tak mengalami luka tusukkan kerikil itu sedikitpun dan tampak kakinya dalam keadaan baik-baik saja.

Sekali lagi ia berkata dalam hati : " Betapa hebatnya aku. Kerikil tajampun tak mampu menghalangi jalanku. "

Pengembara itupun kembali melanjutkan perjalanannya. Saat hampir sampai di puncak gunung itu, ia kembali menjumpai rintangan. Batu-batu besar dan licin menghalangi jalannya, dan tak ada jalan lain selain dia harus melewatinya.

Pikir pengembara itu untuk yang ketiga kalinya : " Jika aku harus mendaki batu-batu ini, aku pasti akan tergelincir dan tangan serta kakiku akan patah. Tapi aku ingin sampai di puncak itu. Aku harus melewatinya. "

Maka pengembara itupun mulai mendaki batu itu dan ia...tergelincir. Aneh, setelah bangkit, pengembara itu tidak merasakan sakit di tubuhnya dan tak ada satupun tulangnya yang patah.

" Betapa hebatnya aku. Batu-batu terjal inipun tidak dapat menghalangi jalanku. "

Maka, iapun melanjutkan perjalanan dan sampailah ia di puncak gunung itu. Betapa sukacitanya ia meihat pemandangan yang sungguh indah dan tak pernah ia melihat yang seindah ini.

Akan tetapi, saat pengembara itu membalikkan badannya, tampaklah di hadapannya sosok manusia yang penuh luka sedang duduk memandanginya. Tubuhnya penuh luka goresan dan kakinya penuh luka tusukan dan darah. Ia tak dapat menggerakkan seluruh tubuhnya karena patah dan remuk tulangnya.

Berkatalah pengembara itu dengan penuh iba pada sosok penuh luka itu : " Mengapa tubuhmu penuh luka seperti itu? Apakah karena segala rintangan yang ada tadi? Tidak bisakah engkau sehebat aku karena aku bisa melewatinya tanpa luka sedikitpun? Siapakah engkau sebenarnya ? "

Jawab sosok penuh luka itu dengan tatapan penuh kasih : " Aku adalah Tuhanmu. Betapa hatiKu tak mampu menolak untuk menyertaimu dalam perjalanan ini, mengingat betapa inginnya engkau melihat keindahan ini.
Ketahuilah, saat engkau harus melewati semak belukar itu, Aku memelukmu erat supaya tak satupun duri merobek kulitmu.
Saat kau harus melewati kerikil tajam, maka Aku menggendongmu supaya kakimu tidak tertusuk.
Ketika kau memanjat batu licin dan terjatuh, Aku menopangmu dari bawah agar tak satupun tulangmu patah.
Ingatkah engkau kembali padaKU ?"

Pengembara itupun terduduk dan menangis tersedu-sedu. Untuk kedua kalinya, Tuhan harus menumpahkan darahNya untuk suatu kebahagiaan.

Kadang, kita lupa bahwa Tuhan selalu menyertai & melindungi kita. Kita lebih mudah ingat betapa hebatnya diri kita yang mampu melampaui segala rintangan tanpa menyadari bahwa Tuhan bekerja di sana.

Dan sekali lagi, Tuhan harus berkorban untuk keselamatan kita. Maka, seperti Tuhan yang tak mampu menolak untuk menyertai anakNya, dapatkah kita juga tak mampu menolak segala kasihNya dalam perjalanan hidup kita dan membiarkan tanganNya bekerja dalam hidup kita?

Harta Warisan

Dua bersaudara dari keluarga yang berkecukupan. Setelah kematian kedua orang tuanya, mereka kini harus membagi harta warisan yang ditinggalkan. Namun setelah harta tersebut dibagikan, kedua bersaudara ini tidak pernah hidup rukun dan damai. Sang kakak menuding bahwa adiknya mewarisi lebih banyak dari yang dimilikinya. Sang adik juga menuding hal yang sama terhadap kakaknya, bahwa sang kakak memiliki harta warisan lebih banyak dari yang diwarisinya. Keduanya saling menuding bahwa pembagian harta tersebut tidaklah adil dan seimbang.

Mereka sudah melewati berbagai proses hukum, namun tetap saja persoalan mereka tak dapat diatasi secara memuaskan. Semua nasihat tak pernah berhasil. Semua keputusan seakan tawar. Keduanya tak dapat menerima semua nasihat dan keputusan yang diberikan.

Setelah mencari dan mencari akhirnya mereka menemukan seorang guru yang bijak. Kedua bersaudara tersebut datang ke hadapannya dengan harapan bahwa duri yang selama ini menusuk daging dan menghancurkan hubungan persaudaraan mereka dapat dikeluarkan.

Sang bijak bertanya kepada sang kakak, "Anda yakin bahwa harta yang dimiliki adikmu melebihi warisan yang engkau terima?"
Sang kakak dengan penuh yakin menjawab, "Sungguh demikian!"

Sang bijak lalu berpaling kepada sang adik dan mengulangi pertanyaan yang sama;
"Anda yakin bahwa kakakmu mewarisi harta peninggalan orang tua lebih
dari pada yang anda peroleh?"
Dengan keyakinan yang sama sang adik menjawab, "Ya demikianlah!"

Sang bijak lalu memberikan sebuah perintah kepada keduanya, "Kumpulkan semua harta yang telah diterima masing-masing dan serahkan itu kepada yang lain." Sang kakak menyerahkan semua harta warisan yang diperolehnya kepada adiknya, demikian pula sang adik menyerahkan harta warisan yang diperolehnya kepada sang kakak. Dan sejak itu tak ada lagi pertentangan karena harta warisan di antara mereka berdua.
----------
Kita senantiasa mengira bahwa nasib orang lain selalu lebih baik dari diri sendiri, bahwa orang lain lebih diberkati Tuhan dari pada diri kita sendiri. Kita lupa bahwa Tuhan mencintai setiap insan dengan cinta yang sama. Kita mungkin hanya mampu melihat berkat yang kelihatan yang dimiliki orang lain, namun lupa untuk melihat berkat-berkat berlimpah yang diberikan Tuhan atas diri kita namun sulit dilihat oleh kasat mata. Lihatlah dirimu dari sudut pandangan yang lain, maka anda akan dipenuhi keharuan dan rasa syukur yang mendalam. Tuhan mencintaimu!

Tarsis Sigho - Taipei
Email: sighotarsi@yahoo.com